Ketergantungan Bansos Masih Mengunci Kemiskinan Warga Kota Tasikmalaya

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Kota Tasikmalaya masih menyandang beban besar terkait kemiskinan, di mana puluhan ribu warga masih menggantungkan hidup pada bantuan sosial (bansos) sebagai jalan bertahan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Maret 2025, persentase penduduk miskin mencapai 10,84 persen atau sekitar 75,22 ribu jiwa. Angka ini memang turun tipis dari tahun sebelumnya yang masih di 11,10 persen atau 76,71 ribu jiwa, tetapi penurunan tersebut belum cukup untuk mengubah realitas bahwa ketergantungan terhadap bansos masih mengakar kuat.

Fenomena ketergantungan ini justru berpotensi menciptakan lingkaran kemiskinan yang sulit diputus. Bansos yang seharusnya menjadi jaring pengaman sementara, perlahan berubah menjadi sandaran utama. Banyak penerima bansos tidak lagi memandang bantuan sebagai solusi jangka pendek, melainkan sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kondisi ini memunculkan risiko munculnya “candu sosial”, di mana warga kehilangan motivasi untuk mandiri dan terus mengandalkan bantuan negara.

Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial Kota Tasikmalaya, Indah Nali Hati SP, mengakui bahwa persoalan ini tidak mudah. Menurutnya, warga miskin ekstrem sangat sulit beranjak dari desil terbawah menuju kategori hidup layak. “Tidak mudah membawa warga dari desil satu naik ke desil yang lebih baik. Banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari kondisi kesehatan, pendidikan, hingga keterampilan ekonomi,” ujarnya pada Kamis, 18 Desember 2025.

Bansos memang memberikan dampak langsung dalam memenuhi kebutuhan dasar, tetapi tanpa diimbangi program pemberdayaan yang kuat dan terstruktur, bantuan ini berpotensi gagal mencapai tujuan akhirnya, yaitu melepaskan warga dari kemiskinan. Banyak keluarga penerima manfaat masih belum mampu mencapai tahap graduasi—berakhirnya kepesertaan bansos karena dianggap sudah mandiri secara ekonomi. Artinya, intervensi jangka panjang yang menyentuh aspek pendidikan, kesehatan, dan peningkatan kapasitas ekonomi menjadi sangat krusial.

Studi kasus terbaru dari program pemberdayaan masyarakat di wilayah Kecamatan Indihiang menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan kerajinan tangan yang dikombinasikan dengan pendampingan pemasaran daring berhasil meningkatkan pendapatan rata-rata peserta sebesar 35 persen dalam waktu enam bulan. Namun, program ini masih terbatas pada skala kecil dan belum merata di seluruh wilayah kota. Diperlukan pendekatan sistematis yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta untuk memperluas cakupan program serupa.

Infografis sederhana dari data BPS juga menunjukkan tren bahwa keluarga penerima manfaat yang memiliki anggota dengan pendidikan menengah ke atas cenderung lebih cepat keluar dari garis kemiskinan dibandingkan keluarga yang mayoritas anggotanya hanya tamatan SD. Hal ini menggarisbawahi pentingnya investasi dalam pendidikan sebagai fondasi jangka panjang dalam memutus kemiskinan.

Untuk mengatasi ketergantungan bansos, strategi yang lebih holistik perlu diterapkan. Program pemberdayaan berbasis komunitas, pelatihan vokasional yang relevan dengan kebutuhan pasar, serta akses terhadap modal usaha mikro menjadi kunci utama. Selain itu, perlu ada sistem evaluasi berkala yang tidak hanya mengukur aspek ekonomi, tetapi juga kemandirian sosial dan psikologis penerima manfaat.

Mendorong kemandirian bukan tentang menghentikan bantuan, tetapi tentang memberi kesempatan dan alat bagi warga untuk bangkit. Jika hari ini kita hanya memberi ikan, besok mereka akan kelaparan lagi. Tapi jika kita ajak mereka memancing dan berdaya, masa depan yang lebih berdaulat bisa dibangun bersama. Saatnya bansos tidak hanya menyelamatkan hari ini, tapi juga membuka jalan menuju kehidupan yang lebih berdignitas.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan