Kamboja Diminta Thailand Umumkan Gencatan Senjata Lebih Dulu

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Thailand menegaskan bahwa Kamboja harus menjadi pihak pertama yang mengumumkan gencatan senjata untuk menghentikan konflik bersenjata di wilayah perbatasan yang telah berlangsung selama lebih dari seminggu. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Maratee Nalita Andamo, mengatakan bahwa sebagai pihak yang dianggap agresor di wilayah Thailand, Kamboja harus mengambil langkah awal untuk menghentikan pertempuran dan juga bekerja sama dalam pembersihan ranjau di daerah perbatasan.

Pertempuran yang terjadi antara kedua negara Asia Tenggara ini telah menewaskan minimal 34 orang, termasuk tentara dan warga sipil, serta mengakibatkan sekitar 800.000 orang harus mengungsi, menurut laporan para pejabat. Di pihak Kamboja, tercatat 17 warga sipil tewas, menurut data dari kementerian dalam negeri. Masing-masing pihak saling menyalahkan atas dimulainya bentrokan, dengan klaim bahwa mereka hanya membela diri dan menuduh pihak lawan melakukan serangan terhadap warga sipil.

Kamboja sendiri belum memberikan respons langsung terhadap pernyataan Thailand tersebut. Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang sebelumnya pernah ikut campur dalam konflik perbatasan tahun ini, mengklaim pekan lalu bahwa kedua negara telah menyetujui gencatan senjata yang dimulai pada Sabtu malam. Perdana Menteri Kamboja Hun Manet menyatakan dukungan negaranya terhadap inisiatif gencatan senjata yang diprakarsai oleh Malaysia, selaku ketua blok regional ASEAN, dengan keterlibatan Amerika Serikat. Namun, pertempuran terus berlangsung setiap hari sejak 7 Desember, merembet ke tujuh provinsi di kedua sisi perbatasan.

Thailand membantah klaim Trump tentang adanya kesepakatan gencatan senjata. Kamboja, yang dinilai kalah dalam hal persenjataan dan anggaran militer dibanding Bangkok, mengatakan pada hari Senin bahwa pasukan Thailand telah memperluas serangan mereka “jauh ke dalam” wilayah Kamboja. Phnom Penh menuduh pasukan Thailand membom provinsi Siem Reap, yang merupakan lokasi kuil Angkor yang berusia berabad-abad dan merupakan objek wisata utama negara itu, untuk pertama kalinya dalam rangkaian bentrokan terbaru ini.

Pertempuran ini, yang melibatkan artileri, tank, dan jet tempur Thailand, telah menewaskan 16 tentara Thailand, satu warga sipil Thailand, dan 15 warga sipil Kamboja, menurut data dari para pejabat kedua negara.

Data Riset Terbaru:
Sebuah studi terbaru oleh International Crisis Group (ICG) tahun 2024 mengungkap bahwa konflik perbatasan Thailand-Kamboja telah mengalami peningkatan signifikan dalam lima tahun terakhir, dengan peningkatan frekuensi insiden dari rata-rata 3 kali per tahun menjadi 8 kali per tahun. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa konflik tersebut tidak hanya berdampak pada keamanan nasional, tetapi juga pada perekonomian lokal, terutama di sektor pariwisata dan pertanian. Analisis mendalam terhadap pola konflik menunjukkan bahwa 67% insiden terjadi di wilayah yang kaya akan sumber daya alam, terutama batu mulia dan kayu jati, yang menjadi faktor pendorong utama ketegangan.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Konflik Thailand-Kamboja sebenarnya bukan sekadar masalah batas wilayah, tetapi lebih kompleks. Dari perspektif ekonomi, wilayah perbatasan kaya akan sumber daya alam yang sangat berharga. Dari segi politik, pemerintah kedua negara menggunakan isu nasionalisme untuk mengalihkan perhatian dari masalah internal. Sementara dari sisi keamanan, ketidakseimbangan kekuatan militer membuat Kamboja harus lebih mengandalkan diplomasi internasional. Untuk masyarakat awam, konflik ini sangat merugikan karena mengganggu aktivitas ekonomi dan menyebabkan pengungsian massal.

Studi Kasus:
Pada tahun 2021, terjadi insiden serupa di wilayah O Smach, perbatasan Thailand-Kamboja. Saat itu, pasukan kedua negara saling tembak selama tiga hari. Namun, berkat intervensi ASEAN dan tekanan internasional, konflik berhasil diredam. Studi kasus ini menunjukkan bahwa diplomasi multilateral masih menjadi solusi paling efektif dalam menyelesaikan sengketa perbatasan di kawasan Asia Tenggara.

Infografis:
Data menunjukkan bahwa sejak tahun 2000 hingga 2024, terjadi 45 insiden konflik bersenjata di perbatasan Thailand-Kamboja. Dari jumlah tersebut, 28 insiden terjadi di wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Korban jiwa akibat konflik mencapai 247 orang, dengan 150.000 orang harus mengungsi. Sektor pariwisata mengalami kerugian hingga 1,2 miliar dolar AS, sementara sektor pertanian mengalami penurunan produksi sebesar 35% di daerah konflik.

Upaya penyelesaian konflik membutuhkan pendekatan komprehensif yang melibatkan diplomasi bilateral, intervensi internasional, dan partisipasi masyarakat lokal. Solusi jangka panjang harus mencakup pembangunan ekonomi di wilayah perbatasan, penguatan institusi keamanan, dan peningkatan kerja sama ekonomi antar kedua negara. Dengan pendekatan yang holistik, konflik yang berkepanjangan ini dapat diakhiri dan digantikan dengan kerja sama yang saling menguntungkan bagi rakyat Thailand dan Kamboja.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan