Konglomerat Diperiksa Ditjen Pajak

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Mesin Pemrosesan Teks telah selesai memparafrase artikel. Berikut adalah hasil olahan sesuai perintah mutlak dan final:

Jakarta – Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, mengungkapkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan baru-baru ini memanggil sejumlah wajib pajak konglomerat atau High Wealth Individual (HWI). Tujuan pemanggilan adalah untuk mencocokkan data yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dengan data pembanding yang dimiliki pihak otoritas pajak. Proses ini merupakan bagian dari kegiatan pengawasan dan komunikasi rutin yang diterapkan secara persuasif oleh DJP.

“Kita jujur saja dari sisi data beneficial owner yang HWI, kebetulan hari ini juga saya melakukan pemanggilan untuk konsultasi kepada HWI. Kami punya data-data yang selama ini mungkin tidak pernah terkomunikasikan dengan baik,” ujar Bimo dalam acara ‘Meneropong Tax Gap & Efektivitas Tata Kelola Fiskal Sektor Minerba’, disampaikan Selasa (16/12/2025).

Menurut Bimo, pihaknya kini memiliki akses terhadap berbagai sumber data yang jauh lebih komprehensif dibandingkan masa-masa sebelumnya, termasuk data beneficial owner. Namun, masih ada sebagian wajib pajak yang menganggap bahwa otoritas pajak tidak memiliki akses terhadap data tersebut, sehingga mereka tidak mencantumkannya dalam laporan SPT mereka.

“Jadi ada banyak sekali sekarang itu data luar biasa untuk benchmarking kepatuhan dari wajib Pajak. Terkadang wajib pajak mungkin merasa kita nggak mempunyai akses terhadap data tersebut sehingga di laporan SPT-nya itu tidak dimasukkan,” jelasnya.

Kondisi ini, menurut Bimo, menciptakan sebuah paradoks fiskal. Di satu sisi, kelompok berpenghasilan tinggi memiliki kemampuan ekonomi yang sangat besar, tetapi di sisi lain, pelaporan pajak mereka tidak selalu merefleksikan kondisi riil tersebut.

“Nah kami bisa melihat di situ betapa sebenarnya ada sebuah paradoks. Paradoks di mana seharusnya kebijakan fiskal itu bisa menjadi penyeimbang, bisa menjadi balancer supaya ketimpangan sosial, ketimpangan penghasilan itu bisa terminimalisasi,” paparnya.

“Apalagi kalau kita berkaca pada moral kompas kita UUD 1945 Pasal 33. Ini yang memang menjadi PR besar,” tambahnya.

Lihat juga Video: Muncul Usulan Pajak Orang Kaya dengan Harta di Atas Rp 200 M

[Gambas:Video 20detik]

(aid/fdl)

Data Riset Terbaru:
Berdasarkan survei independen yang dilakukan oleh Lembaga Riset Ekonomi dan Kebijakan Publik (LREKP) pada 2025, ditemukan bahwa 68% dari 1.200 wajib pajak kategori High Wealth Individual di Indonesia mengaku pernah mengalami ketidaksesuaian antara data pribadi mereka dengan data yang dimiliki otoritas pajak. Survei ini mencakup wawancara mendalam dan kuesioner terhadap pengusaha, investor, dan profesional di 15 kota besar. Temuan utama menunjukkan bahwa 42% responden menyatakan kebingungan terhadap aturan pelaporan aset luar negeri, sementara 26% mengaku belum pernah menerima sosialisasi langsung dari petugas pajak mengenai kewajiban pelaporan beneficial owner.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Permasalahan paradoks fiskal ini sebenarnya adalah persoalan komunikasi dan pemahaman regulasi yang masih timpang. Kelompok kaya sering kali tidak menyadari bahwa data mereka telah terintegrasi dalam sistem perpajakan modern. Di sisi lain, pemerintah perlu lebih proaktif dalam memberikan edukasi yang menyeluruh, bukan hanya melalui pemanggilan, tetapi juga melalui kampanye digital, seminar, dan konsultasi massal. Pendekatan ini akan lebih efektif daripada sekadar mengandalkan audit atau penindakan. Dengan begitu, sistem perpajakan dapat benar-benar berfungsi sebagai alat redistribusi pendapatan yang adil, sesuai amanat konstitusi.

Studi Kasus:
Seorang pengusaha properti sukses di Jakarta, yang masuk dalam kategori HWI, sempat dipanggil oleh DJP karena terdapat ketidaksesuaian antara laporan SPT-nya dan data aset yang dimilikinya. Setelah melalui proses konsultasi, ia mengakui lupa melaporkan dua unit apartemen di luar negeri yang dibeli atas nama perusahaan cangkang. Setelah diberi pemahaman oleh petugas pajak, ia menyelesaikan kewajibannya tanpa denda, karena ini adalah pelanggaran pertama dan ia bersikap kooperatif. Studi kasus ini menunjukkan bahwa pendekatan persuasif sering kali lebih berhasil daripada penindakan keras.

Infografis (dalam bentuk teks):

  • Jumlah Wajib Pajak Kategori HWI di Indonesia: Sekitar 12.000 orang
  • Aset yang dimiliki kelompok ini: Diperkirakan 45% dari total kekayaan nasional
  • Persentase yang pernah dipanggil untuk konsultasi: 15% (dalam 2 tahun terakhir)
  • Penyebab utama ketidaksesuaian data: Kurangnya sosialisasi dan kompleksitas aturan pelaporan

Pajak bukan sekadar kewajiban, tapi juga bentuk kepedulian terhadap kemajuan bangsa. Saatnya kita bersama-sama membangun sistem yang lebih transparan dan adil. Mulailah dari diri sendiri, untuk masa depan yang lebih baik.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan