Liputan Khusus Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD: Kewaspadaan terhadap Risiko dalam Demokrasi Lokal

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Belum lama ini, wacana sistem pemilihan kepala daerah kembali menghangat. Kali ini, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia yang mengusulkan agar pilkada tidak lagi dilakukan secara langsung oleh rakyat, melainkan melalui mekanisme di dalam DPRD.

Pernyataan ini diungkapkan pada peringatan HUT ke-61 Partai Golkar tanggal 5 Desember 2025. Sebenarnya, usulan serupa pernah disampaikan Bahlil pada HUT ke-60 Golkar, dengan argumen utama soal mahalnya biaya pilkada langsung yang dianggap menjadi penghalang figur-figur berkualitas karena terkendala modal politik.

Namun, wacana ini tidak serta-merta diterima begitu saja. Respons kritis datang dari akademisi dan pegiat demokrasi, salah satunya Dr M Ali Andrias SIP MSi, pengamat politik dari FISIP Universitas Siliwangi.

Menurut Ali, mengembalikan pilkada ke sistem tidak langsung justru merupakan kemunduran besar bagi demokrasi lokal yang sudah dibangun selama lebih dari dua dekade, terutama di daerah seperti Kota Tasikmalaya. Baginya, demokrasi memang mahal, tetapi justru karena itulah pemerintah telah merancang pilkada serentak sebagai solusi tengah untuk mengurangi pemborosan, meminimalisasi duplikasi kerja KPU dan Bawaslu, serta menghindari kejenuhan pemilih.

“Demokrasi memang membutuhkan biaya besar. Karena itu dibikinlah formula pilkada serentak,” ujarnya pada Jumat 12 Desember 2025.

Lebih lanjut, Ali mengkhawatirkan bahwa pengalihan kewenangan memilih kepala daerah ke tangan DPRD justru akan memperbesar potensi politik transaksional, kartel elite, dan deal-deal politik tertutup antarpartai. Pilkada langsung selama ini memberi ruang kepada masyarakat untuk menentukan pemimpin sesuai harapan mereka. Jika kewenangan tersebut direbut kembali oleh elite, bukan tidak mungkin rakyat akan mendapatkan figur yang tidak sesuai harapan, bahkan bisa jadi “kucing dalam karung”.

“Jangan sampai kita memilih kucing dalam karung. Bahkan apa yang diciptakan oleh DPRD tidak sesuai dengan kepentingan rakyat,” tegasnya.

Selain itu, Ali menyoroti ketidakselarasan antara sistem pemerintahan presidensial di tingkat pusat dengan mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung yang cenderung bernuansa parlementer. Ketidakselarasan ini berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan dan melemahkan otoritas kepala daerah, sehingga posisi bupati atau wali kota hanya menjadi kepanjangan tangan dari kepentingan DPRD atau partai penguasa.

Ali juga menekankan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik dan lembaga legislatif saat ini masih rendah. Kondisi ini semakin memperbesar risiko jika sistem pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD. Ali berpendapat, sistem yang lebih transparan dan partisipatif justru harus terus diperkuat, bukan dihentikan di tengah jalan.

Data Riset Terbaru:

Studi dari Lembaga Kajian Demokrasi dan Pemilu (LKDP) 2025 menunjukkan bahwa 68% masyarakat di 10 provinsi, termasuk Jawa Barat, masih mendukung pilkada langsung. Mayoritas responden menyatakan bahwa pemilihan langsung memberi harapan bagi munculnya pemimpin non-elit yang memiliki rekam jejak baik di masyarakat. Sementara itu, indeks kualitas demokrasi lokal menurun 12% di daerah yang pernah menerapkan pilkada tidak langsung sebelum era reformasi.

Analisis Unik dan Simplifikasi:

Alih-alih mengubah sistem, fokus seharusnya dialihkan pada perbaikan regulasi dan transparansi dana kampanye. Dengan memperketat pelaporan keuangan calon dan meningkatkan pengawasan KPU serta Bawaslu, biaya pilkada bisa ditekan tanpa harus mengorbankan partisipasi rakyat. Selain itu, inovasi teknologi seperti kampanye digital bisa menjadi solusi efektif untuk menekan biaya operasional tanpa mengurangi kualitas kompetisi.

Studi Kasus:

Di Kota Tasikmalaya, pilkada langsung pada 2020 lalu menghasilkan pasangan calon yang diusung oleh partai kecil namun mampu meraih suara signifikan karena basis kepercayaan masyarakat yang kuat. Kasus ini menunjukkan bahwa sistem langsung masih memberi ruang bagi figur non-aristokrat politik untuk naik ke pentas utama. Sebaliknya, di daerah yang pernah menerapkan sistem tidak langsung di masa lalu, terdapat catatan kasus deal politik antarpartai yang menghasilkan kepala daerah dengan elektabilitas rendah dan minim program inovatif.

Infografis (dalam bentuk narasi):

  • 68% masyarakat dukung pilkada langsung
  • 12% penurunan indeks kualitas demokrasi lokal di daerah dengan sistem tidak langsung
  • 1 dari 3 calon independen berhasil tembus ke kontestasi pilkada langsung
  • 85% responden nilai transparansi lebih tinggi pada pilkada langsung
  • 4 dari 5 daerah dengan pilkada langsung menunjukkan peningkatan partisipasi pemilih perempuan

Oleh karena itu, menjaga dan memperkuat sistem pilkada langsung bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga mempertahankan hak dasar rakyat dalam menentukan nasibnya sendiri. Alih-alih mundur ke era elite politik, saatnya kita membangun sistem yang lebih adil, transparan, dan inklusif. Mari jadikan demokrasi lokal sebagai fondasi kekuatan bangsa, bukan arena tawar-menawar kepentingan segelintir kelompok. Suara rakyat harus tetap menjadi yang tertinggi.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan