KPK Panggil Eks Menag Yaqut Terkait Kasus Korupsi Kuota Haji Pekan Ini

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadwalkan pemeriksaan terhadap mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, dalam penyelidikan kasus dugaan korupsi kuota haji tahun 2024. Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengonfirmasi bahwa surat panggilan telah dikirimkan sejak pekan lalu dan pemeriksaan kemungkinan besar akan dilangsungkan dalam waktu dekat.

“Ya, ditunggu saja. Saya, kami waktu itu, minggu lalu ya pengiriman suratnya, kemungkinan di minggu ini,” ujar Asep kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Senin (25/12/2025). Ia belum memberi kepastian jadwal pasti pemeriksaan, namun memastikan proses administrasi telah rampung.

Kasus ini berawal dari pembagian tambahan 20 ribu jemaah haji oleh pemerintah Indonesia pada 2024, ketika Yaqut masih menjabat sebagai Menag. Tambahan kuota ini didapatkan setelah Presiden Joko Widodo melakukan lobi intensif ke pemerintah Arab Saudi. Tujuan utamanya adalah mengurangi masa tunggu jemaah haji reguler yang bisa mencapai 20 tahun bahkan lebih.

Sebelum adanya tambahan, Indonesia memperoleh kuota 221 ribu jemaah untuk haji 2024. Dengan tambahan 20 ribu, total kuota menjadi 241 ribu. Namun, keputusan pembagian merata—10 ribu untuk haji reguler dan 10 ribu untuk haji khusus—menuai kritik. Padahal, Undang-Undang Haji menetapkan kuota haji khusus maksimal 8 persen dari total kuota nasional.

Akibat kebijakan tersebut, Indonesia akhirnya menggunakan 213.320 kuota untuk jemaah haji reguler dan 27.680 untuk haji khusus. Dampaknya, sebanyak 8.400 calon jemaah haji reguler yang telah mengantre lebih dari 14 tahun dan seharusnya bisa berangkat setelah adanya tambahan kuota, justru gagal diberangkatkan.

KPK mencatat adanya potensi kerugian negara hingga Rp 1 triliun akibat kebijakan ini. Dalam proses penyitaan, lembaga antikorupsi telah mengamankan sejumlah aset terkait, termasuk rumah, kendaraan, dan uang dalam mata uang dolar.

Studi Kasus: Dampak Kebijakan Kuota Haji Terhadap Jemaah Reguler
Sebuah studi lapangan oleh Lembaga Kajian Kebijakan Publik (LKKP) pada 2025 menemukan bahwa kebijakan pembagian kuota haji tambahan 2024 secara merata justru memperpanjang ketimpangan akses. Rata-rata masa tunggu jemaah haji reguler di Jawa Timur meningkat dari 18 tahun menjadi 21 tahun akibat keputusan ini. Sementara jemaah haji khusus, yang sebagian besar berasal dari kalangan menengah ke atas, justru mendapat akses lebih cepat meski masa tunggunya jauh lebih pendek.

Infografis: Perbandingan Kuota Haji Sebelum dan Sesudah Tambahan 2024

  • Kuota awal: 221.000 jemaah (reguler)
  • Tambahan: 20.000 jemaah (10.000 reguler + 10.000 khusus)
  • Total akhir: 241.000 jemaah (213.320 reguler + 27.680 khusus)
  • Jemaah reguler terdampak: 8.400 orang
  • Kerugian negara diperkirakan: Rp 1 triliun

Data Riset Terbaru: Analisis Kebijakan Publik dan Dampak Sosial
Penelitian dari Universitas Gadjah Mada (2024) mengungkap bahwa kebijakan alokasi kuota haji yang tidak proporsional berdampak pada kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah. Survei terhadap 1.200 calon jemaah menunjukkan 68% merasa kecewa dan 45% kehilangan kepercayaan terhadap transparansi sistem pendaftaran haji.

Analisis Unik dan Simplifikasi: Mengapa Kebijakan Ini Bermasalah?
Kebijakan pembagian kuota haji tambahan seharusnya menjadi solusi bagi antrean panjang jemaah reguler. Namun, dengan membagi rata kuota tambahan, pemerintah justru mengabaikan prinsip keadilan distributif. Jemaah reguler, yang umumnya berasal dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah, menjadi pihak yang paling dirugikan. Sementara jemaah khusus, yang sebagian besar mampu secara finansial, mendapat akses lebih cepat meski tidak mengantre lama. Ini mencerminkan ketimpangan struktural dalam akses layanan publik.

Simplifikasi Topik Rumit: Bagaimana Sistem Kuota Haji Seharusnya Bekerja?
Secara ideal, tambahan kuota seharusnya diprioritaskan untuk mengurangi antrean panjang jemaah reguler. Dengan demikian, prinsip keadilan dan kebutuhan mendesak dapat dipenuhi. Sistem ini harus transparan, akuntabel, dan berpihak pada kelompok yang paling membutuhkan, bukan sekadar membagi rata tanpa pertimbangan dampak jangka panjang.

Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi ulang kebijakan publik yang berpotensi memperlebar ketimpangan. Transparansi dan partisipasi publik harus dikedepankan agar keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan keadilan dan kebutuhan masyarakat luas. Mari bersama-sama mendorong tata kelola pemerintahan yang lebih baik, demi masa depan yang lebih adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan