Wacana mengenai pengembalian sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui mekanisme DPRD kembali mencuatkan berbagai reaksi keras di Kota Tasikmalaya. Isu ini tidak hanya memicu perdebatan di kalangan aktivis dan akademisi, tetapi juga menyentuh masyarakat umum yang merasa kebijakan ini berpotensi menggerus hak dasar dalam proses demokratisasi.
M Jausan Kamil, Sekretaris Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Barat, mengkritik wacana tersebut sebagai bentuk kemunduran demokrasi dan pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. Ia menekankan bahwa pemilihan langsung kepala daerah bukanlah kebijakan yang lahir begitu saja, melainkan hasil dari perjuangan panjang reformasi. Bagi Jausan, sistem ini merupakan manifestasi dari prinsip one vote, one people yang tidak boleh dikompromikan hanya demi dalih efisiensi atau stabilitas politik. Ia menilai bahwa mengembalikan mekanisme pilkada ke DPRD sama saja dengan memutar ulang sejarah demokrasi ke arah yang kelam.
Dalam pandangannya, demokrasi di Indonesia dibangun melalui perjuangan dan pengorbanan besar, bahkan nyawa menjadi taruhannya. Karenanya, hak rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung tidak sepatutnya dikorbankan. Ia juga membantah argumen mengenai mahalnya biaya politik yang dijadikan alasan utama pengembalian sistem. Menurutnya, biaya politik yang tinggi bukan disebabkan oleh sistem pemilihan langsung, melainkan oleh lemahnya tata kelola partai politik serta sistem penyelenggaraan pemilu yang masih rapuh. Alih-alih memperbaiki sistem, mengalihkan pemilihan ke DPRD justru dinilai akan mempersempit ruang partisipasi rakyat dan membuka celah transaksi politik yang lebih tidak transparan.
Jausan menawarkan solusi berupa reformasi menyeluruh terhadap sistem pemilu, termasuk transparansi pendanaan kampanye dan penguatan pendidikan politik bagi masyarakat. Ia menegaskan bahwa evaluasi seharusnya difokuskan pada elit politik, bukan pada hak rakyat. Menurutnya, kedaulatan rakyat tidak bisa diwakilkan, karena rakyat adalah pemilik mandat tertinggi dalam tatanan negara.
Di sisi lain, masyarakat akar rumput juga turut angkat bicara. Azmi Kholifiah, seorang ibu rumah tangga dari Kecamatan Bungursari, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak sosial pilkada yang kerap memicu konflik antarwarga hanya karena perbedaan pilihan politik. Ia mengaku sering kali hanya melihat figur dan pencitraan para calon, tanpa memahami program yang ditawarkan. Setelah pemilihan selesai, menurutnya, kehidupan nyata tidak banyak berubah; masyarakat tetap harus bekerja keras, membayar pajak, dan menjalani rutinitas seperti biasa. Meski demikian, Azmi tampak apatis terhadap sistem mana yang lebih baik, karena baginya, keseharian rakyat kecil tetap berjalan tanpa terlalu dipengaruhi oleh siapa yang berkuasa.
Pandangan berbeda juga datang dari kalangan mahasiswa dan akademisi. Beberapa di antaranya justru melihat potensi efisiensi dan minimnya praktik korupsi dalam sistem pemilihan oleh DPRD. Mereka berargumen bahwa sistem ini dapat mengurangi biaya politik yang membengkak serta mempersempit ruang transaksi politik yang kerap terjadi dalam pilkada langsung. Namun, tidak sedikit pula yang menilai bahwa sistem ini memiliki kelebihan dan kekurangan, tergantung pada bagaimana tata kelola dan integritas para wakil rakyat di DPRD itu sendiri.
Dalam konteks yang lebih luas, wacana ini sebenarnya mencerminkan dilema antara efisiensi dan partisipasi. Di satu sisi, sistem pemilihan langsung memberikan ruang partisipasi luas bagi rakyat, tetapi di sisi lain, biaya politik yang tinggi dan potensi konflik sosial menjadi tantangan serius. Sementara itu, sistem pemilihan oleh DPRD dinilai lebih efisien, tetapi berisiko menggerus hak rakyat dan membuka celah transaksi politik yang tidak transparan.
Menyikapi dinamika ini, penting bagi seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan kajian mendalam dan komprehensif. Evaluasi terhadap sistem pemilu tidak boleh dilakukan secara sporadis atau berdasarkan kepentingan sesaat. Reformasi sistem politik harus dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas, sekaligus memastikan bahwa hak rakyat untuk memilih pemimpin tidak tergerus begitu saja.
Pilihan antara efisiensi dan kedaulatan rakyat bukanlah perkara sederhana. Namun, satu hal yang harus dipegang teguh: demokrasi sejati bukanlah tentang siapa yang berkuasa, melainkan tentang bagaimana rakyat dapat terlibat secara bermakna dalam menentukan arah kebijakan publik. Jika hak dasar ini dikompromikan, maka esensi demokrasi itu sendiri berada dalam ancaman serius. Mari jaga semangat reformasi, perkuat partisipasi rakyat, dan wujudkan tata kelola politik yang transparan serta bertanggung jawab. Masa depan demokrasi kita ada di tangan kita bersama.
Baca juga Berita lainnya di News Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.