Akademisi Sebut Kepala Daerah Dipilih DPRD Lebih Efisien dan Minim Korupsi

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD yang kembali digulirkan oleh Presiden Prabowo Subianto dan Partai Golkar mendapat sorotan dari kalangan akademisi. Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG), Dr HN Suryana SH SSos MH, menilai mekanisme tersebut lebih rasional dan sesuai semangat konstitusi.

Suryana telah melakukan penelitian berjudul Preferensi Masyarakat Priangan Timur Terhadap Pemilihan Kepala Daerah Oleh DPRD: Pendekatan Kuantitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa sistem pemilihan langsung kepala daerah belum sepenuhnya memenuhi harapan para perumus demokrasi pascareformasi.

Dasar hukumnya jelas. Dalam Pancasila sila keempat diatur prinsip perwakilan. Artinya, kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui wakil-wakilnya, dalam hal ini DPRD. Pada awal reformasi, pemilihan langsung kepala daerah diharapkan melahirkan pemimpin yang aspiratif dan memahami persoalan masyarakat. Namun dalam praktiknya, harapan tersebut tidak berjalan sesuai kenyataan.

Yang terjadi justru masyarakat terbuai money politic. Segala sesuatu diukur dengan uang. Sejak 2004 hingga 2024 tercatat sebanyak 167 kepala daerah menjadi tersangka KPK. Jika dibandingkan dengan jumlah total daerah di Indonesia yang mencapai sekitar 650 wilayah, angka tersebut setara dengan 25 persen. Ini menunjukkan sistem pemilihan langsung jauh dari cita-cita awal.

Selain persoalan korupsi, Suryana juga menyoroti tingginya biaya Pilkada. Sebagai contoh, Pilkada Kabupaten Tasikmalaya menelan anggaran sekitar Rp160 miliar, ditambah PSU sebesar Rp60 miliar. Jika digabungkan dengan biaya kampanye para calon, total anggaran bisa mendekati Rp500 miliar. Bayangkan kalau anggaran sebesar itu digunakan untuk membangun jalan, jembatan, puskesmas, sekolah, atau mendukung UMKM. Dampaknya jauh lebih signifikan bagi masyarakat.

Dari sisi politik, pemilihan langsung juga dinilai memicu polarisasi dan perpecahan sosial yang dampaknya bisa berlangsung hingga bertahun-tahun. Sementara dari sisi hukum, biaya politik yang tinggi mendorong kepala daerah mencari cara mengembalikan modal ketika berkuasa.


Data Riset Terbaru:
Penelitian Suryana (2025) mengungkap bahwa 78% responden di Priangan Timur menganggap sistem pemilihan langsung kepala daerah tidak efektif. Mayoritas responden (65%) setuju bahwa pemilihan oleh DPRD dapat mengurangi praktik korupsi dan money politic. Selain itu, 72% responden menilai bahwa sistem perwakilan lebih sesuai dengan nilai-nilai demokrasi Pancasila.


Analisis Unik dan Simplifikasi:
Sistem pemilihan langsung yang diharapkan membawa perubahan positif justru menimbulkan masalah baru. Korupsi, biaya politik tinggi, dan polarisasi sosial menjadi tantangan besar. Pemilihan oleh DPRD dinilai sebagai solusi yang lebih rasional dan sesuai konstitusi. Dengan sistem ini, diharapkan pemimpin yang terpilih lebih berkualitas dan bertanggung jawab.


Studi Kasus:
Pilkada Kabupaten Tasikmalaya 2024 menjadi contoh nyata mahalnya biaya politik. Dengan total anggaran mencapai Rp500 miliar, dana tersebut bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Fakta ini menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemilihan kepala daerah.


Infografis:

  • Jumlah kepala daerah tersangka KPK (2004-2024): 167
  • Persentase terhadap total daerah di Indonesia: 25%
  • Biaya Pilkada Kabupaten Tasikmalaya: Rp160 miliar
  • Biaya PSU: Rp60 miliar
  • Total perkiraan biaya kampanye: Rp280 miliar

Pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukan sekadar wacana, tetapi kebutuhan mendesak untuk memperbaiki sistem demokrasi kita. Dengan mengedepankan prinsip perwakilan, diharapkan terlahir pemimpin yang benar-benar memahami dan mampu menyelesaikan persoalan rakyat. Saatnya kita beralih dari politik uang menuju politik gagasan dan kualitas. Mari dukung perubahan ini demi masa depan bangsa yang lebih baik.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan