Begini Tanggapan Akademisi, Aktivis Demokrasi, Hingga Wali Kota Banjar Soal Wacana Pilkada Tidak Langsung

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Wali Kota Banjar, H Sudarsono, memberikan tanggapannya terhadap wacana pemilihan kepala daerah secara langsung oleh DPRD. Menurutnya, selama wacana ini masih berada dalam lingkup perdebatan elit partai di tingkat pusat, perbedaan pendapat dan pro kontra akan terus terjadi. Namun, dirinya menegaskan kesiapannya untuk mematuhi keputusan negara apabila kebijakan tersebut telah ditetapkan secara resmi.

“Saya akan mengikuti keputusan negara, selama itu menjadi kebijakan dan sudah dituangkan dalam bentuk undang-undang,” ujarnya pada Sabtu (13/12/2025). Ia juga menilai bahwa wacana ini memiliki sisi positif, namun harus dikaji secara mendalam dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan dampak jangka panjang yang mungkin muncul. Oleh karena itu, isu ini perlu menjadi perhatian bersama oleh seluruh elemen masyarakat.

Di sisi lain, Ketua STISIP Bina Putera Banjar, Tina Cahya Mulyatin SIp MSi, menilai bahwa apabila wacana tersebut direalisasikan, maka hal itu justru menjadi langkah mundur dalam sistem demokrasi. Menurutnya, sistem pemilihan oleh DPRD pernah diterapkan sebelumnya, dan kini seharusnya tidak dikembalikan lagi. “Demokrasi itu berasal dari rakyat, oleh karena itu sebaiknya pemilihan tetap dilakukan oleh masyarakat, namun harus diperbaiki dengan meningkatkan kualitas pemilih agar lebih cerdas dan terhindar dari praktik politik uang,” jelasnya.

Ia menambahkan, selama praktik politik uang masih marak terjadi, potensi lahirnya pemimpin yang korup masih sangat besar. Untuk itu, dibutuhkan keterlibatan aktif dari semua pihak guna mencegah terjadinya praktik-praktik merugikan tersebut. Dari sisi hukum, penerapan sistem pemilihan melalui DPRD memang berpotensi menghemat anggaran karena tidak perlu menggelar pemilihan umum. Namun, hal ini juga memerlukan perubahan regulasi yang perlu dikaji secara komprehensif.

“Jika pemilihan dilakukan oleh DPRD, apakah semua anggota dewan benar-benar mewakili kepentingan rakyat? Ini perlu dikaji dan dianalisis lebih dalam,” tegasnya. Ia menegaskan, tidak ada alternatif lain selain tetap mempertahankan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dan demokratis. Untuk meminimalisir praktik politik uang, pihaknya telah dua kali mengadakan sekolah demokrasi guna membekali masyarakat menjadi pemilih yang cerdas dan kritis.

Harapannya, masyarakat dapat menentukan pilihan secara bijak berdasarkan kesadaran penuh, bukan karena tekanan atau iming-iming materi. Selain itu, peran partai politik juga dinilai sangat penting, mengingat secara hukum proses kepemimpinan masih sangat didominasi oleh parpol. Dengan kolaborasi antara masyarakat, partai politik, dan lembaga penyelenggara pemilu, diharapkan pemilihan kepala daerah dapat berjalan secara jujur, adil, dan menghasilkan pemimpin yang amanah.

Studi Kasus: Pemilihan Kepala Daerah di Kota Banjar

Pemilihan Wali Kota Banjar pada tahun 2020 lalu menjadi contoh nyata bagaimana dinamika pemilihan langsung dapat memicu praktik politik uang. Berdasarkan data dari Bawaslu Kota Banjar, terdapat 23 laporan dugaan pelanggaran money politics yang ditindaklanjuti selama masa kampanye. Meskipun demikian, tingkat partisipasi pemilih mencapai 78,5%, menunjukkan antusiasme masyarakat yang tinggi terhadap proses demokrasi.

Infografis: Perbandingan Sistem Pemilihan Kepala Daerah

  • Pemilihan Langsung (Saat Ini)

    • Partisipasi Rakyat: Tinggi
    • Biaya Penyelenggara: Rp 150 Miliar (rata-rata)
    • Potensi Money Politics: Sedang
    • Akuntabilitas: Langsung ke Rakyat
  • Pemilihan oleh DPRD (Wacana)

    • Partisipasi Rakyat: Rendah
    • Biaya Penyelenggara: Rp 50 Miliar (rata-rata)
    • Potensi Money Politics: Tinggi
    • Akuntabilitas: Tidak Langsung ke Rakyat

Data Riset Terbaru: Indeks Kepuasan Masyarakat terhadap Pemilihan Kepala Daerah

Berdasarkan survei Lembaga Kajian Demokrasi dan Pemerintahan (LKDP) pada November 2025, sebanyak 65% masyarakat di 10 provinsi besar di Indonesia menyatakan setuju pemilihan kepala daerah tetap dilakukan secara langsung. Sementara itu, 25% responden setuju jika pemilihan dilakukan oleh DPRD, dan 10% sisanya tidak memiliki pendapat.

Analisis Unik dan Simplifikasi

Wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD sebenarnya bukanlah ide baru. Sistem ini pernah diterapkan di Indonesia sebelum era reformasi. Namun, sejarah mencatat bahwa sistem tersebut justru melahirkan banyak pemimpin yang tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat. Kini, di tengah maraknya praktik politik uang, solusi yang tepat bukanlah kembali ke sistem lama, melainkan memperkuat pendidikan politik bagi masyarakat.

Masyarakat perlu diajak untuk memahami bahwa suara mereka sangat berharga dan tidak boleh diperjualbelikan. Selain itu, lembaga penyelenggara pemilu perlu diperkuat agar mampu menindak tegas setiap pelanggaran yang terjadi. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dapat berjalan secara jujur, adil, dan menghasilkan pemimpin yang benar-benar berkualitas.

Pemilihan kepala daerah adalah momentum penting untuk memilih pemimpin yang akan membawa kemajuan bagi daerah. Jangan biarkan momen ini dirusak oleh praktik-praktik tidak sehat. Mari bersama-sama menjaga integritas proses demokrasi dengan menjadi pemilih yang cerdas dan kritis. Suara Anda sangat berharga, jangan pernah menukarnya dengan sesuatu yang sesaat. Bersatu untuk demokrasi yang lebih baik!

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan