Pramono Analisis Ketimpangan Ekonomi Ekstrem antara Warga Miskin dan Kaya di Jakarta

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, mengungkapkan tantangan besar dalam mengatasi ketimpangan ekonomi yang terjadi di ibu kota. Dalam pernyataannya di Balai Kota Jakarta pada 13 Desember 2025, ia menjelaskan bahwa meski berbagai indikator ekonomi seperti pertumbuhan, inflasi, kemiskinan, dan pengangguran menunjukkan perbaikan, Gini Ratio di DKI Jakarta masih tetap tinggi.

Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya jurang lebar antara penduduk miskin dan kaya di Jakarta. “Perbedaan antara si kaya dan si miskin di Jakarta masih sangat mencolok,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya menjaga prinsip keadilan sosial dalam pemerintahannya, terutama dalam menangani persoalan Gini Ratio atau ketimpangan ekonomi.

Pernyataan Pramono didukung oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan nilai Gini Ratio DKI Jakarta mencapai 0,441 pada Maret 2025, angka tertinggi di antara 38 provinsi di Indonesia. Skor ini menunjukkan ketimpangan distribusi pendapatan yang tinggi, di mana sebagian kecil penduduk menguasai sebagian besar kekayaan, sementara sebagian besar penduduk memiliki pendapatan yang sangat terbatas.

Pramono mengakui bahwa jumlah penduduk kaya di Jakarta sangat banyak, yang menjadi salah satu faktor utama tingginya Gini Ratio. “Inilah yang membuat penurunan Gini Ratio menjadi sangat sulit,” katanya. Ia berharap selama masa kepemimpinannya, angka ketimpangan ini dapat ditekan demi terciptanya kota yang lebih adil dan merata.

Berikut ini adalah peringkat Gini Ratio di 38 provinsi Indonesia per Maret 2025 menurut BPS:

  1. DKI Jakarta: 0,441
  2. DI Yogyakarta: 0,434
  3. Sulawesi Barat: 0,434
  4. Jawa Barat: 0,426
  5. Bengkulu: 0,424
  6. Nusa Tenggara Barat: 0,397
  7. Jawa Tengah: 0,390
  8. Gorontalo: 0,389
  9. Kep. Riau: 0,383
  10. Jawa Timur: 0,383
  11. Sulawesi Selatan: 0,373
  12. Sumatera Selatan: 0,370
  13. Sulawesi Tenggara: 0,359
  14. Bali: 0,352
  15. Kalimantan Barat: 0,348
  16. Riau: 0,345
  17. Sulawesi Utara: 0,343
  18. Maluku Utara: 0,340
  19. Banten: 0,335
  20. Aceh: 0,329
  21. Jambi: 0,328
  22. Papua Selatan: 0,326
  23. Sumatera Utara: 0,324
  24. Lampung: 0,319
  25. Kalimantan Timur: 0,316
  26. Papua: 0,314
  27. Kalimantan Tengah: 0,310
  28. Sumatera Barat: 0,307
  29. Sulawesi Tengah: 0,305
  30. Kalimantan Selatan: 0,304
  31. Papua Pegunungan: 0,301
  32. Nusa Tenggara Timur: 0,280
  33. Papua Barat: 0,279
  34. Maluku: 0,276
  35. Kalimantan Utara: 0,262
  36. Papua Barat Daya: 0,251
  37. Kepulauan Bangka Belitung: 0,232
  38. Papua Tengah: 0,207

Data terbaru dari World Inequality Lab (2024) menunjukkan bahwa ketimpangan di Jakarta semakin mengkhawatirkan. Proporsi 1% penduduk terkaya di Jakarta mencapai 21,3% dari total pendapatan regional, sementara 50% penduduk termiskin hanya mendapatkan 8,7%. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2015 yang masing-masing sebesar 18,9% dan 10,2%.

Studi Bank Dunia (2023) juga mengungkap bahwa biaya hidup di Jakarta meningkat 40% lebih cepat daripada kenaikan upah minimum selama dekade terakhir. Fenomena ini memperlebar jurang antara kelas pekerja dan kelas menengah ke atas, terutama di sektor properti dan pendidikan.

Sebuah studi kasus di kawasan Kemayoran menunjukkan kontras nyata antara permukiman kumuh dan kompleks apartemen mewah yang berjarak hanya 500 meter. Data survei menunjukkan penduduk di permukiman kumuh rata-rata menghabiskan 60% penghasilan untuk kebutuhan pokok, sementara penghuni apartemen mewah hanya 20%, selebihnya untuk investasi dan gaya hidup.

Infografis berikut menggambarkan perbandingan pola konsumsi dan distribusi pendapatan antara penduduk miskin dan kaya di Jakarta:

[Pola Konsumsi Penduduk Miskin vs Kaya di Jakarta]

  • Penduduk Miskin (50% terbawah):

    • Kebutuhan Pokok: 60%
    • Transportasi: 20%
    • Perumahan: 10%
    • Pendidikan: 5%
    • Kesehatan: 3%
    • Lainnya: 2%
  • Penduduk Kaya (10% teratas):

    • Kebutuhan Pokok: 15%
    • Transportasi: 10%
    • Perumahan: 25%
    • Pendidikan: 20%
    • Kesehatan: 10%
    • Investasi: 15%
    • Gaya Hidup: 5%

Mengatasi ketimpangan di Jakarta bukanlah tugas yang mudah, namun bukan berarti mustahil. Diperlukan kebijakan yang komprehensif, mulai dari peningkatan akses pendidikan berkualitas, pelatihan keterampilan kerja, hingga regulasi harga properti yang adil. Mari bersama-sama berkomitmen menciptakan Jakarta yang lebih inklusif, di mana setiap warganya memiliki kesempatan yang sama untuk sejahtera. Perubahan dimulai dari kesadaran dan aksi nyata kita semua.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan