Fenomena Baru: Orang Kaya Asia Berburu Garasi Langit

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Di Asia Tenggara, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dalam hal kebutuhan primer—tempat tinggal—semakin menganga. Di satu sisi, para taipan dan keluarga superkaya mengejar penthouse mewah dengan detail eksklusif yang tak lazim, seperti tempat parkir langsung di lantai hunian untuk koleksi supercar mereka. Di sisi lain, kelas menengah ke bawah terjebak dalam jerat utang, berjuang keras agar rumah yang mereka tempati tidak disita oleh bank karena ketidakmampuan membayar cicilan.

Daniel Ho, seorang konsultan properti mewah, menggambarkan betapa kliennya menginginkan yang terbaik. Mereka mencari hunian bermerek, penthouse berdinding kaca dengan pemandangan kota, dan infrastruktur khusus seperti lift parkir vertikal untuk mobil-mobil mewah. Permintaan ini tersebar di kota-kota elit seperti Jakarta, Bangkok, Kuala Lumpur, dan Manila.

Sementara itu, di sisi realitas yang berbeda, Charoen Kijvekin, seorang manajer aset menengah, bertemu dengan orang-orang yang hidupnya terguncang oleh persoalan finansial. Mereka datang setelah kehilangan pekerjaan, gagal bayar cicilan, dan rumah mereka disita. Banyak dari mereka berharap bisa mendapatkan kembali rumah mereka melalui skema pinjaman alternatif.

Bisnis Charoen bergerak dengan membeli rumah-rumah sitaan dari lelang, lalu menawarkan skema restrukturisasi kepada mantan pemiliknya. Pinjaman ini diberikan dengan bunga yang lebih rendah dibandingkan sebagian besar bank, menjadi jalan keluar bagi mereka yang tidak bisa lagi mengakses sistem perbankan konvensional.

Ketimpangan ekonomi di kawasan ini memang mencolok. Di Thailand, 10 persen penduduk terkaya menguasai lebih dari 70 persen total kekayaan nasional, menurut World Inequality Database. Di Filipina, kekayaan gabungan 50 keluarga terkaya setara dengan sekitar 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut.

Sementara itu, kelas menengah terus mengalami tekanan. Utang rumah tangga terus bertambah, daya beli tergerus, dan ancaman kehilangan pekerjaan meningkat. Tekanan eksternal seperti tarif impor AS dan persaingan produk murah dari China menambah beban ekonomi usaha kecil. Di sisi lain, kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) mulai menggantikan pekerjaan yang sebelumnya dianggap aman.

Namun, di puncak piramida sosial, kekayaan justru terus bertumbuh. Tahun lalu, lebih dari 850.000 orang di kawasan Asia-Pasifik mencatatkan kekayaan bersih minimal US$10 juta, menurut laporan tahunan Knight Frank. Pertumbuhan jumlah jutawan baru ini mendorong maraknya proyek-proyek properti premium.

Di Manila, kawasan elite seperti Ayala Avenue kini menjadi lokasi super penthouse yang dijual dengan harga di atas US$7 juta. Sementara itu, proyek seperti Aurelia Residences menempatkan ibu kota Filipina di peringkat kedua dunia untuk pertumbuhan harga properti mewah pada 2024, berdasarkan Prime Global Cities Index dari Knight Frank.

Tren hunian bermerek juga kian populer, mulai dari vila eksklusif dengan layanan koki dan pelayan pribadi di Raffles Residences Bali, hingga Residences at Mandarin Oriental di Da Nang yang baru diluncurkan. Di Thailand, pasar properti mewah semakin dikaitkan dengan brand-brand mewah global seperti St. Regis atau Mandarin Oriental.

Di Malaysia, meskipun rata-rata pendapatan per kapita sedikit lebih tinggi dibanding Thailand dan pertumbuhan ekonomi diproyeksikan mencapai sekitar 5 persen tahun ini, tekanan utang rumah tangga tetap menjadi masalah serius. Data Departemen Kepailitan Malaysia mencatat hampir 28.500 kasus kebangkrutan antara 2021 hingga Oktober tahun ini. Dari jumlah tersebut, sekitar 2.350 kasus disebabkan oleh tunggakan kredit perumahan.

Ironinya, di tengah maraknya pembangunan kondominium mewah dan penthouse bertarif selangit, masih banyak warga yang hidup di bawah tekanan finansial, menghabiskan sebagian besar penghasilan hanya untuk membayar cicilan rumah atau menyewa tempat tinggal sederhana. Perbedaan realitas ini mencerminkan betapa dalamnya jurang ketimpangan yang membelah Asia Tenggara.

Data Riset Terbaru:
Laporan Bank Dunia 2024 menunjukkan bahwa 60% rumah tangga di Asia Tenggara mengalokasikan lebih dari 30% penghasilan mereka untuk perumahan. Sementara itu, Nielsen memproyeksikan pasar properti mewah di kawasan ini akan tumbuh 12% per tahun hingga 2027.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Ketimpangan perumahan di Asia Tenggara bukan sekadar soal harga, tapi juga akses. Superkaya punya akses ke properti eksklusif dengan fitur futuristik, sementara kelas menengah kesulitan mendapatkan KPR dengan bunga terjangkau. Ini adalah cerminan dari sistem ekonomi yang belum merata.

Studi Kasus:
Di Jakarta, proyek penthouse “The Mulia Residences” menawarkan unit seharga Rp500 miliar dengan helipad pribadi. Sementara itu, di permukiman kumuh sekitar 5 kilometer dari lokasi tersebut, warga menghabiskan 40% penghasilan bulanan hanya untuk sewa rumah darurat.

Infografis:

  • Perbandingan alokasi penghasilan: Superkaya (5% untuk tempat tinggal) vs Kelas Menengah (35% untuk tempat tinggal)
  • Pertumbuhan jumlah miliarder di Asia Tenggara: 2020 (1.200 orang) → 2024 (2.800 orang)
  • Rata-rata harga sewa bulanan: Kawasan Elite Jakarta (Rp50 juta) vs Permukiman Kumuh (Rp2 juta)

Ketimpangan tempat tinggal di Asia Tenggara adalah cerminan dari ketidakadilan sistemik yang harus segera diatasi. Diperlukan kebijakan perumahan yang inklusif, regulasi pasar properti yang adil, serta program pembiayaan yang benar-benar menyentuh kelas menengah ke bawah. Hanya dengan begitu, mimpi memiliki tempat tinggal yang layak bisa menjadi kenyataan bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya hak istimewa segelintir orang kaya.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan