Siswa SMP di Batam Ancam Bom Sekolah, Diduga Dipicu Game Online

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Seorang siswa berusia 13 tahun di Batam, Kepulauan Riau, menjadi sorotan setelah mengirim ancaman bom melalui grup WhatsApp sekolah. Kepala Sub Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kepri, Kombes Silvester Simamora, menyatakan bahwa pelaku tidak terafiliasi dengan kelompok mana pun dan tindakannya murni karena ikut-ikutan.

Dalam penyelidikannya, tim Polda Kepri memastikan bahwa anak tersebut bertindak sendiri tanpa pengaruh dari pihak luar. “Pelaku adalah anak umur 13 tahun. Sudah kita telusuri, tidak ada orang di belakangnya atau terafiliasi ke mana pun,” ujar Silvester kepada detikSumut pada Selasa (10/12/2025).

Meski motifnya hanya coba-coba, dampak dari perbuatannya terasa serius bagi penerima ancaman. “Sebenarnya anak ini ikut-ikutan, hanya mencoba. Tapi itu berdampak terhadap orang yang kena ancaman,” jelasnya.

Hasil pemeriksaan mendalam menunjukkan bahwa pengaruh utama berasal dari permainan daring, khususnya game seperti Roblox. Meski pelaku pernah mengalami perundungan, pengaruh dari konten game dinilai lebih dominan dalam memengaruhi perilakunya.

Dari temuan ini, pihak kepolisian menekankan pentingnya pengawasan terhadap aktivitas digital anak-anak. Konten game yang mengandung kekerasan atau tindakan kriminal dapat memengaruhi pola pikir dan perilaku mereka, terutama pada usia yang masih rentan terhadap pengaruh eksternal.

Orang tua dan pendidik perlu lebih waspada terhadap jenis permainan yang diakses anak. Pembatasan usia dan penyaringan konten seharusnya menjadi standar utama dalam memilih hiburan digital bagi anak-anak.

Studi kasus ini juga menjadi peringatan bagi platform game daring. Banyak game yang tidak memiliki batasan usia yang ketat, sehingga anak-anak usia dini mudah terpapar konten yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan mereka. Implementasi filter konten dan sistem verifikasi usia perlu diperketat.

Infografis sederhana dapat menggambarkan hubungan antara paparan game kekerasan dan peningkatan perilaku agresif pada anak. Data menunjukkan bahwa anak yang sering bermain game dengan tema kekerasan cenderung menirukan tindakan tersebut dalam kehidupan nyata, meski tanpa niat serius.

Kasus di Batam ini seharusnya menjadi momentum untuk merevisi kebijakan perlindungan anak di ranah digital. Kolaborasi antara pemerintah, platform game, dan orang tua sangat penting untuk menciptakan lingkungan daring yang aman bagi generasi muda.

Mari jadikan teknologi sebagai alat bantu, bukan ancaman bagi masa depan anak. Dengan pengawasan yang bijak dan edukasi yang tepat, kita bisa memastikan anak-anak tumbuh dengan pola pikir sehat dan aman di era digital.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan