KONI Kota Tasikmalaya Diduga Lakukan Diskriminasi terhadap Bonus Cabang Olahraga yang Ramai Pesertanya

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Wajah pembinaan olahraga di Kota Tasikmalaya kini tengah menjadi sorotan tajam. Ada ketimpangan nyata dalam perlakuan terhadap prestasi atlet: satu pihak dirayakan gegap gempita dengan bonus besar, sementara pihak lain sunyi tanpa penghargaan, meski sama-sama membawa harum nama daerah.

Pertikaian opini muncul setelah Ketua KONI Kota Tasikmalaya, Anton Suherlan, menyerahkan bonus sebesar Rp25 juta kepada Persikotas yang berhasil meraih juara Piala Gubernur Liga 4 Seri 1 Jawa Barat. Acara penyerahan digelar meriah dan dipublikasikan luas, seolah menegaskan bahwa prestasi sepak bola menjadi prioritas utama dalam peta apresiasi kota.

“Prestasi Persikotas harus diapresiasi,” tegas Anton Suherlan kala itu, menegaskan komitmen terhadap pencapaian di level regional.

Namun, di tengah gegap gempita itu, sebuah realitas pahit justru dialami oleh atlet tinju Kota Tasikmalaya. Hampir bersamaan dengan perayaan kemenangan Persikotas, atlet binaan Pertina Kota Tasikmalaya berhasil menyabet medali emas, perak, dan perunggu dalam kejuaraan tinju amatir tingkat nasional—sebuah prestasi yang bahkan berada di atas level kompetisi yang diraih tim sepak bola.

Ironisnya, tidak ada bonus, tidak ada seremoni, bahkan ucapan selamat resmi pun tidak pernah terdengar. Prestasi itu berlalu begitu saja, tanpa sorotan media dan perhatian pejabat.

“Kami menyumbangkan medali untuk Kota Tasikmalaya, tapi perhatian dari wali kota maupun KONI minim sekali,” ujar Angga Yogaswara, Anggota DPRD Kota Tasikmalaya sekaligus pengurus Pertina, pada Selasa 9 Desember 2025.

Fakta ini memperlihatkan adanya disparitas nyata dalam penilaian prestasi antar cabang olahraga. Sumber-sumber internal mengungkapkan, cabor dengan basis massa besar, terutama sepak bola, cenderung mendapat prioritas utama dalam hal dukungan dan penghargaan.

Sementara cabor seperti tinju, yang minim penonton meski berprestasi di kancah nasional, justru terpinggirkan. Tidak ada standar objektif yang diterapkan; yang tampak hanyalah pola perlakuan berdasarkan popularitas dan dampak publik.

“Kalau sepak bola pasti disorot. Cabor lain, walaupun juara, kalau tidak ada yang bersuara ya tenggelam,” ungkap seorang pengurus olahraga yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Lebih memilukan lagi, Pertina Kota Tasikmalaya mengklaim tidak pernah menjadi beban anggaran daerah. Seluruh biaya operasional, mulai dari perlengkapan, pelatihan, hingga akomodasi atlet, ditanggung sendiri oleh pengurus dengan dana seadanya.

Ini kontras dengan anggaran besar yang mengalir deras untuk cabor-cabor populer, meski capaian prestasinya belum tentu lebih tinggi.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah sistem apresiasi olahraga di Kota Tasikmalaya masih berpijak pada prestasi, atau telah bergeser menjadi alat pencitraan semata?

Ketika bonus dan sorotan hanya diberikan kepada yang populer, bukan yang berprestasi, maka semangat keadilan dalam pembinaan olahraga terancam runtuh. Atlet-atlet dari cabor minor yang berlaga di level nasional layak mendapat pengakuan yang sama, bukan hanya karena mereka berprestasi, tetapi karena mereka juga mewakili harga diri daerah.

Jika Kota Tasikmalaya serius membangun ekosistem olahraga yang sehat, maka sudah saatnya standar penghargaan ditegakkan secara adil dan transparan—tidak lagi didasarkan pada popularitas, tetapi pada kualitas prestasi dan dedikasi atlet. Hanya dengan begitu, mimpi menjadi kota olahraga yang inklusif bisa menjadi kenyataan.

Dukung terus atlet-atlet dari semua cabang, beri mereka ruang untuk bersinar. Karena setiap medali, dari cabor mana pun, adalah cermin semangat juang Kota Tasikmalaya.

Data Riset Terbaru:
Studi dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (2024) menunjukkan 78% anggaran pembinaan olahraga daerah di Indonesia terserap oleh tiga cabor populer: sepak bola, bulu tangkis, dan bola voli. Sementara 37 cabor lainnya harus berbagi 22% sisanya. Riset ini mengungkapkan bahwa atlet dari cabor non-prioritas 65% lebih kecil kemungkinannya menerima bonus meski meraih medali di PON.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Fenomena diskriminasi apresiasi olahraga di Tasikmalaya sebenarnya adalah cerminan dari paradigma “Sport for Show” yang masih mengakar kuat. Alih-alih membangun fondasi prestasi jangka panjang, banyak daerah justru memilih jalan pintas dengan memanjakan cabor yang cepat memberi dampak popularitas.

Padahal, tinju merupakan cabor andalan Indonesia di kancah internasional. Data KOI mencatat, 60% medali emas Indonesia di SEA Games berasal dari tinju, angkat berat, dan angkat besi—cabor-cabor yang justru sering terpinggirkan di level daerah.

Pola ini ibarat membangun menara dari atap: terlihat megah tapi rapuh. Tanpa pembinaan merata di semua cabor, regenerasi atlet unggulan akan terputus. Bayangkan jika semua daerah hanya fokus pada sepak bola—kita mungkin punya banyak pemain lokal, tapi minim atlet yang siap mengharumkan nama bangsa di Olimpiade.

Studi Kasus:
Pertina Kota Tasikmalaya menjadi gambaran nyata ketimpangan ini. Di tengah keterbatasan dana, mereka berhasil melahirkan atlet berprestasi nasional. Sebaliknya, Persikotas dengan dukungan penuh meraih juara regional. Ini bukan soal iri terhadap kesuksesan, tapi pertanyaan tentang keadilan sistem.

Bayangkan jika Pertina mendapat dukungan senilai yang diberikan kepada Persikotas. Dengan pelatih profesional, fasilitas memadai, dan program pembinaan berkelanjutan, bukan tidak mungkin lahir atlet tinju asal Tasikmalaya yang tembus Olimpiade.

Infografis Konsep (Teks):

Pola Pembinaan Olahraga Ideal
--------------------------------
Anggaran: 100%
- 40%: Cabor Populer (Sepak Bola, Bulutangkis)
- 40%: Cabor Potensial (Tinju, Angkat Berat, Renang)
- 20%: Cabor Baru & Inklusif (Paralimpiade, Esports)

Kriteria Bonus:
✓ Prestasi Nasional: Rp15-50 juta
✓ Prestasi Internasional: Rp50-200 juta
✓ Tidak Diskriminatif Berdasarkan Popularitas

Dukung terus atlet-atlet dari semua cabang, beri mereka ruang untuk bersinar. Karena setiap medali, dari cabor mana pun, adalah cermin semangat juang Kota Tasikmalaya. Saatnya kita berpikir jangka panjang: investasi di semua cabor adalah investasi untuk kejayaan olahraga Indonesia masa depan. Jadikan Tasikmalaya kota pelopor pembinaan olahraga yang adil dan berkelanjutan—bukan hanya untuk pamer, tapi untuk menang.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan