Perang Saudara di Myanmar Picu Ledakan Produksi Narkoba

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Data terbaru PBB mengungkap Myanmar kini menjadi pusat perdagangan narkoba ilegal terbesar di Asia. Survei UNODC menunjukkan budidaya opium di negara itu melonjak 17% menjadi lebih dari 53.000 hektare, angka tertinggi dalam satu dekade. Yang paling mengejutkan, Myanmar kini menggeser Afganistan sebagai produsen opium terbesar dunia, sebuah posisi yang direbut setelah Taliban memberantas sebagian besar ladang opium di negaranya.

Fenomena ini terjadi di tengah perang saudara yang kacau setelah kudeta militer 2021. Konflik bersenjata menciptakan kondisi ideal bagi pertumbuhan industri narkoba. Ekonomi resmi runtuh, penegakan hukum melemah, dan para panglima perang membutuhkan dana besar untuk membiayai pasukan pribadi mereka. “Budidaya opium menjadi salah satu dampak dari konflik yang mengacaukan ekonomi,” ujar Inshik Sim, peneliti narkoba ilegal UNODC.

Di wilayah negara bagian Shan, kartel kriminal yang sebagian besar berasal dari Cina beroperasi di bawah perlindungan para panglima perang. Mereka memanfaatkan wilayah perbatasan yang terjal dan minim pengawasan pemerintah. Produksi metamfetamin pun meledak, dengan penyitaan di Asia Tenggara mencapai rekor 236 ton pada 2024. Kombinasi peningkatan produksi dan penurunan harga di pasar gelap menunjukkan bahwa industri ini terus berkembang pesat.

Bagi para petani, opium menjadi pilihan utama karena para penyelundup datang langsung ke desa-desa mereka dengan tawaran harga tinggi. Khun Oo dari Organisasi Pemuda Pa-O menjelaskan bahwa petani kini tidak punya pilihan lain selain menanam poppy, terutama setelah perang mengganggu akses pasar untuk hasil pertanian lainnya. Harga opium mentah mencapai USD 500 per kilogram, dua kali lipat dari harga sebelum kudeta.

Produk dari laboratorium dan ladang Myanmar tidak hanya membanjiri Asia Tenggara, tetapi juga menyebar ke pasar internasional. Australia memperkirakan 70% metamfetamin kristal yang dikonsumsi berasal dari Myanmar. Yang lebih mengkhawatirkan, penyitaan heroin di Nigeria dan Eropa menunjukkan upaya kartel untuk memperluas pasar ke benua-benua baru, sebuah pergeseran dari pola perdagangan tradisional yang selama ini terbatas di kawasan Asia Timur dan Tenggara.

Thailand menjadi negara yang paling merasakan dampak langsung dari ledakan produksi narkoba Myanmar. Pejabat Thailand menyita rekor 1 miliar tablet metamfetamin tahun lalu. “Angka-angka ini adalah peringatan jelas bahwa masalah narkoba tidak hanya berlanjut tetapi kini berkembang sangat cepat,” tegas Thanapon Thanikkun dari Kantor Dewan Pengawas Narkotika Thailand. Ia memperingatkan bahwa para penyelundup memanfaatkan infrastruktur transportasi Thailand yang maju untuk mendistribusikan barang haram melalui darat, udara, dan laut.

Fenomena ini mencerminkan kompleksitas konflik di Myanmar yang tidak hanya berdampak pada stabilitas keamanan regional, tetapi juga menciptakan krisis kesehatan masyarakat yang meluas. Perang saudara yang seharusnya menjadi masalah internal kini berdampak pada jutaan orang di luar perbatasan Myanmar melalui gelombang narkoba ilegal.

Data riset terbaru dari UNODC tahun 2024 menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan: produksi opium dunia naik 32% dibandingkan 2022, dengan Myanmar menyumbang 59% dari total produksi global. Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan peningkatan 45% kasus overdosis metamfetamin di negara-negara Asia Tenggara sepanjang 2023-2024. Studi dari Chulalongkorn University, Thailand, mengungkap bahwa 68% pengguna narkoba di kawasan perbatasan berasal dari kalangan pekerja migran yang terpapar narkoba murah dari Myanmar.

Infografis: Perbandingan Produksi Narkoba Myanmar vs Dunia (2024)

  • Opium: Myanmar 59% (produksi global), Afganistan 15%
  • Metamfetamin: Myanmar 72% (penyitaan Asia Tenggara), Cina 18%
  • Harga di pasar gelap: Turun 25% sejak 2021 (karena suplai berlebihan)

Di balik angka-angka statistik ini, tersembunyi kisah manusia yang kompleks. Di satu sisi, ada petani miskin yang terpaksa menanam poppy untuk bertahan hidup. Di sisi lain, ada jutaan nyawa yang hancur karena kecanduan. Solusi jangka panjang harus menyentuh akar permasalahan: konflik bersenjata, kemiskinan, dan ketidakstabilan politik. Namun, tindakan jangka pendek juga mendesak: memperkuat kerja sama keamanan regional, meningkatkan kapasitas penegakan hukum, dan memperluas program rehabilitasi. Dunia tidak bisa lagi menganggap perang narkoba Myanmar sebagai masalah lokal. Ini adalah krisis kemanusiaan transnasional yang membutuhkan respons kolektif dan komprehensif dari komunitas internasional.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan