Beberapa hari sebelum banjir bandang menerjang Nagan Raya, Aceh, aparat desa setempat sempat berupaya mengunggah video peringatan ke media sosial. Mereka memperingatkan akan bahaya penebangan liar dan alih fungsi kawasan hutan yang terjadi di puncak pegunungan. Dalam video berdurasi 45 detik itu, tampak puluhan batang kayu besar tergeletak di sepanjang aliran sungai. Ada pula yang hanyut terbawa air. Menurut salah satu warga setempat, Muhammad, kawasan Beutong Ateuh Banggalang dulunya merupakan kawasan hutan gambut. Luasnya mencapai 10 kilometer persegi. Namun, seiring waktu, kawasan itu banyak ditebangi secara ilegal, bahkan sebagian berizin. Kini, hutan yang tersisa hanya sekitar 2,5 kilometer persegi. “Dengan melihat kondisi tersebut, warga menduga akan terjadi bencana alam karena hutan merupakan tempat penampungan air serta mencegah banjir bandang,” kata Muhammad kepada detikX, pekan lalu. Selain temuan itu, pantauan citra satelit menunjukkan ada sekitar 30 titik yang diduga menjadi lokasi pembalakan liar dan alih fungsi kawasan hutan. Letaknya di sekitar aliran sungai yang mengalir melewati Beutong Ateuh. Menurut salah satu pegiat Apel Green Aceh, Syukur, mayoritas area tersebut tak berizin atau ilegal. Sialnya, aliran sungai itu pula yang kemudian bermuara di pesisir Nagan Raya. Sehari setelah penemuan itu, sekitar pukul empat pagi 26 November, tanpa adanya peringatan, Beutong Ateuh Banggalang diterpa banjir bandang. Air bah yang membawa gelondongan kayu menerjang dari hulu menyapu sebagian desa dan memutus jembatan yang menjadi satu-satunya jalur akses ke Nagan Raya. Empat warga dilaporkan hilang dan sisanya terisolasi. “Di Beutong sendiri, itu memang dua desa bisa kita bilang hilang. Karena sungainya itu tiga kali lipat lebih besar dari yang dulu,” ungkap Syukur kepada detikX. Menurut Syukur, sebelumnya tak pernah ada banjir sedahsyat ini. Jikapun debit air sungai meningkat, sebelumnya tak pernah memiliki daya rusak sehebat kali ini. “Ada dua tempat pengungsian di seberang sungai. Aksesnya sangat minim dan sangat kecil. Akses sulit (jembatan putus), hanya bisa pakai speedboat kecil. Di sana banyak yang belum ada tenda, alas tidur. Ada empat orang hilang, satu sudah ditemukan,” jelas Syukur. Saat ini Syukur dan timnya sedang berupaya mencari sumbangan panel surya untuk kebutuhan listrik warga. Ia mengaku kecewa terhadap penanganan pemerintah yang dinilai lamban dan hanya mengedepankan pencitraan demi kepentingan pribadi. Sampai wawancara ini dilakukan pada Kamis lalu, bantuan pemerintah pusat tak kunjung tiba di Beutong Ateuh Banggalang. Selain Nagan Raya, di pesisir utara Aceh, di Kabupaten Aceh Tamiang banjir bandang juga melanda. Menurut keterangan warga lokal, hutan di kawasan daerah aliran sungai Tamiang dari hulu ke hilir memang sudah dibabat habis. Karena itu, begitu hujan turun, air bah langsung menerjang area permukiman. Nezar, warga lokal setempat, mengisahkan sekitar awal 2000-an banyak tempat pemotongan kayu tumbuh dan beraktivitas di Aceh Tamiang. Pohon hutan ditebang dari wilayah hulu, kemudian diolah di pemotongan kayu. Kondisi itu membuat Aceh Tamiang juga sempat dilanda banjir bandang pada 2006. Namun kondisi saat itu diakui tak separah sekarang. “Kalau dari pengamatan saya sedari kecil, sudah habis (hutan) di atas. Tinggal sedikit kayunya,” ucapnya kepada detikX pekan lalu. Berdasarkan Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 14 Tahun 2013 tentang RTRW 2013-2032, kabupaten ini memiliki luas area wilayah sungai sebesar 221.577,74 hektare, yang terdiri atas 12 daerah aliran sungai. DAS terbesar adalah Sungai Tamiang, yang mencakup luasan 184.189,65 hektare. Adapun kawasan hutan lindung yang ditetapkan seluas 46.620,11 hektare, lokasinya di tujuh kampung, termasuk daerah Tamiang Hulu dan Tenggulun. Jumlah itu, sayangnya, sudah menurun karena, berdasarkan qanun itu, pemerintah juga berencana melakukan alih fungsi lahan hutan lindung seluas 8.241,07 hektare atau lebih dari sebelas ribu kali luas lapangan sepakbola. Alih fungsi dilakukan berbagai keperluan termasuk hutan produksi. Parahnya, jika mengacu peta spasial Bhumi ATR BPN, di wilayah Tenggulun, ada area yang seharusnya berstatus hutan lindung, tetapi di citra satelit justru tampak difungsikan sebagai perkebunan sawit. Secara keseluruhan, jika dilihat dari citra satelit, hampir seluruh kawasan Aceh Tamiang memiliki perkebunan sawit. Sawit juga ditanam dengan jumlah besar di sisi kanan dan kiri sempadan Sungai Tamiang dari mulai hulu hingga hilir. Bahkan sebagian berstatus hak guna usaha. Kondisi di Tapanuli Tengah tak kalah memprihatinkan. Bupati Kabupaten Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu mengatakan masih ada beberapa desa di wilayahnya yang terisolasi akibat banjir bandang dan longsor. Desa-desa itu terutama berada di tiga kecamatan, yaitu Tukka, Sitahuis, dan Kolang. Bahkan, untuk kecamatan Sitahuis, seluruh wilayahnya sempat terisolasi. Desa-desa terdampak mayoritas berada di area perbukitan dan dekat dengan aliran sungai. Sulitnya akses dan minimnya bantuan membuat warga yang terisolasi harus bertahan hidup dengan makanan seadanya. Menurut Masinton, sebagian warga bertahan hidup dengan memakan buah-buahan yang tumbuh di hutan. “Kami belum bisa mengestimasi (jumlah korban jiwa) karena ada desa yang sama sekali, sebagian besar (wilayahnya) 80 persen hilang. Nah, (warga) jumlahnya yang masih bertahan di desa-desa mungkin hampir seribuan,” ucap Masinton kepada detikX, Rabu, 3 Desember 2025. Para lansia di Tapanuli Tengah, kata Masinton, bersaksi seumur hidup mereka belum pernah merasakan banjir bandang seperti yang terjadi saat ini. Ini menguatkan dugaan penyebab bencana saat ini adalah alih fungsi kawasan hutan. Banyak sempadan sungai di daerah hulu hingga hilir yang ditanami sawit. Bahkan lereng pegunungan juga tak luput dijamah oleh sawit. Selain itu, ia mengakui banyak terjadi pembalakan liar di kawasan hutan Tapanuli. “Ada yang ditebangin, ada kemudian jadi tanaman sawit gitu di perbukitan itu,” ungkapnya. Salah satu kawasan hutan yang ia sebut terdapat banyak penebangan pohon adalah Batang Toru, daerah hulu Sungai Garoga. Sungai tersebut juga meluap, menghapus sejumlah desa dengan lumpur, batu, dan ribuan batang kayu. Termasuk dua jembatan penghubung Tapanuli Tengah dengan Tapanuli Selatan. “Nah, sawit di bawahnya, maka dia banjirnya kencang. Kalau di hulunya, pembalakan oleh individu-individu. Maka kita pastikan itu ilegal semua,” terangnya. Namun Masinton menemukan perusahaan yang sudah mengantongi izin menanam sawit di area perbukitan. Izin tersebut diklaim diperoleh sejak ia belum menjabat. “Ketika saya lihat ada izin terbit di kawasan perbukitan, saya langsung evaluasi. Jangan tanam sawit. Kalau tanam sawit, saya cabut ini. Maka ini hentikan, saya bilang,” ucapnya. Masinton mengakui pihaknya mengalami keterlambatan dalam merespons dan menangani bencana tersebut. Ia berdalih banyak pegawainya yang juga turut menjadi korban. Selain itu, banyak akses menuju kawasan terdampak rusak parah sehingga tak bisa dilewati. “Bukan heboh di media sosial, memang heboh di tengah-tengah rakyat. Itu fenomena yang memang benar-benar rakyat merasakan langsung,” ucapnya. Dari pantauan satelit dan keterangan saksi di lapangan, ada ratusan titik jejak pembalakan hutan dan perkebunan sawit di hulu perbukitan Tapanuli Tengah. Sawit tampak banyak ditanam di sempadan DAS dan lereng-lereng perbukitan. Titik-titik itu tersebar di banyak wilayah, termasuk di tiga kecamatan yang Masinton sebut terdampak parah. Berdasarkan Perda RTRW Tapanuli Tengah 2013-2033, kabupaten ini memiliki 58.647 hektare kawasan hutan lindung. Kawasan itu terdapat di 16 kecamatan dari total 20 kecamatan yang ada di Tapteng. Sekitar 6.811 hektare kawasan hutan lindung juga berada di wilayah dengan korban jiwa terbanyak, Kecamatan Tukka. Bahkan berdasarkan peta kawasan Kementerian ATR/BPN, beberapa kawasan hutan lindung di Tukka terdapat pembalakan liar dengan area yang cukup luas. Selain itu, berdasarkan citra satelit hampir seluruh kawasan hutan di tiap kecamatan terpantau memiliki titik-titik pembalakan liar maupun titik yang diduga perkebunan sawit. Terutama daerah-daerah terdampak parah: Sitahuis, Sibabangun, Kolang, Badiri, dan Tukka. Kami mengirimkan sejumlah tangkapan layar citra satelit titik-titik pembalakan hutan dan perkebunan sawit di area perbukitan kepada Masinton. Ia membenarkan keberadaan sejumlah titik lokasi tersebut. Menurutnya, pembalakan hutan dan kebun-kebun sawit di daerah hulu lereng perbukitan itu ilegal. Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menjelaskan, secara ilmiah, energi badai yang menerjang Sumatera akhir bulan lalu justru tidak memenuhi syarat sebagai peristiwa katastropik. Adapun banyaknya korban dan kerusakan dapat terjadi adalah buah kombinasi antara cuaca ekstrem yang sebenarnya dapat diprediksi. Selain itu, terdapat absennya sistem peringatan dini yang seharusnya menyelamatkan banyak nyawa. Secara ilmiah, energi badai yang menerjang Sumatera akhir bulan lalu justru tidak memenuhi syarat sebagai peristiwa katastropik. Adapun banyaknya korban dan kerusakan dapat terjadi adalah buah kombinasi antara cuaca ekstrem yang sebenarnya dapat diprediksi. Selain itu, terdapat absennya sistem peringatan dini yang seharusnya menyelamatkan banyak nyawa. Sebuah bencana, terang Erma, dapat dikategorikan katastropik bila memenuhi dua syarat. Energi badai sangat besar dan peristiwanya tidak dapat diprediksi. Namun dua syarat itu tidak terpenuhi di Sumatera. Kecepatan angin yang tercatat hanya sekitar 55-65 km per jam. Sebagai siklon tropis, ia ada di level rendah, golongan I—dari skala satu hingga lima. “Dari aspek prediksi, kejadian ini bahkan sudah terlihat jauh hari. Kita sudah membuat tools bernama Kamajaya, yang memprediksi 1-2 bulan sebelumnya bahwa pada periode ketiga bulan November ada pusaran atau siklonik yang mendarat di Sumatera bagian utara,” kata Erma kepada detikX. Ia memastikan, secara perhitungan ilmiah, kontribusi cuaca sebagai penyebab kerusakan relatif kecil. “Dalam kajian, bencana paling parah atau katastropik itu kalau totalnya 90-100 persen. Yang kemarin, cuacanya hanya menyumbang 20 persen. Faktor di luar cuaca menyumbang 65 persen. Sisanya, kewalahan respons, relawan sudah di luar batas, sumber daya habis. Itu saya hitung 10 persen, sehingga total 65 persen untuk faktor non-cuaca. Jadi bencana ini dikatakan katastropik, tapi kontribusi cuacanya hanya 20 persen,” ungkapnya. Jika dibandingkan dengan badai atau siklon Seroja di NTT, energi badai di Sumatera jauh lebih kecil. Seroja memiliki energi lebih besar dan dikategorikan sebagai badai level III dengan jumlah korban meninggal lebih sedikit, yaitu sekitar 180 jiwa. Walaupun demikian, seharusnya korban jiwa akibat badai dapat terhindarkan. Hal itu karena siklon bisa diprediksi dan mitigasi seharusnya bisa dilakukan dengan cepat. Evakuasi bisa dilakukan setidaknya satu hari sebelum badai menerjang. Menurut Erma, seandainya ada perintah evakuasi, ada kemungkinan jumlah korban dapat ditekan. Namun Erma tak mau buru-buru menyalahkan pemerintah daerah sepenuhnya. Menurutnya, semua pengetahuan terkait prediksi ancaman badai ada di tangan pemerintah pusat di Jakarta. Tanpa tekanan dan instruksi dari pusat, pemerintah daerah tidak akan memahami besarnya dampak yang akan terjadi. Lebih lanjut ia menjelaskan, intensitas hujan terbesar hampir selalu terjadi di dataran tinggi atau pegunungan. Ironisnya, Indonesia tidak memasang alat pemantauan di titik-titik krusial tersebut. “Kalau di stasiun BMKG di Agam tercatat 300 mm, di puncak gunung bisa dua sampai tiga kali lipat. Tapi, kalau tidak ada alatnya, orang tidak sadar.” Sistem peringatan dini di Indonesia masih memahami cuaca ekstrem sebagai hal sehari-hari, bukan ancaman serius. Padahal, kata Erma, badai yang memicu banjir bandang adalah fenomena yang dikenal sebagai flash flood, salah satu bencana paling mematikan di dunia. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Anggi Putra Prayoga mengatakan jarak seratus meter di kanan-kiri sepadan sungai atau DAS adalah area lindung. Di wilayah tersebut tak boleh digunakan sebagai perkebunan monokultur. Sementara itu, banyak lahan di Sumatera yang selama ini punya fungsi menahan air justru diubah menjadi perkebunan sawit, baik secara legal maupun ilegal. “Sempadan sungai itu punya fungsi menahan banjir dan longsor. Sawit secara alami tidak bisa menahan laju erosi maupun gerusan air dibandingkan tumbuhan hutan. Problematiknya sawit itu mengubah tutupan yang beragam menjadi monokultur. Itu problem utama,” kata Anggi kepada detikX. Menurut Anggi, formasi hutan awal memiliki resiliensi sendiri untuk merespons banjir. Namun kemampuan itu akan menurun drastis jika penanaman monokultur dilakukan di lereng pegunungan. Padahal area pegunungan adalah daerah tangkapan air dengan intensitas hujan tinggi. “Gunung punya fungsi daerah tangkapan air dan fungsi lindung untuk area di bawahnya. Ketika diubah jadi sawit, kebun kayu, atau tanaman monokultur lainnya, fungsi konservasi air dan tanah turun,” jelas Anggi. Penjelasan Anggi sejalan dengan PP Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai. Walaupun memang tidak secara eksplisit melarang penanaman sawit di sempadan sungai, Pasal 22 peraturan tersebut membatasi pemanfaatan sempadan sungai. Sempadan hanya boleh untuk bangunan prasarana sumber daya air, fasilitas jembatan dan dermaga, jalur pipa gas dan air minum, rentangan kabel listrik dan telekomunikasi, serta kegiatan lain sepanjang tidak mengganggu fungsi sungai. Selain itu, ketentuan mengenai sempadan sungai juga menegaskan setiap aktivitas di dalamnya tidak boleh mengganggu fungsi utama sungai. Lebih jauh, berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah dalam menerbitkan kebijakan. Pada era Presiden Joko Widodo, sejumlah aturan perlindungan lingkungan dipermudah melalui pengesahan UU Cipta Kerja. Salah satunya adalah penghapusan ketentuan batas minimal tutupan hutan sebesar 30 persen di setiap DAS sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Padahal aturan tersebut berfungsi menjaga iklim mikro, tata air, dan habitat satwa sebagai bagian dari ekosistem hutan. Pada saat yang sama, aturan mengenai analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) juga banyak berubah dan berpengaruh besar pada keterlibatan masyarakat. Sebelumnya, dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, masyarakat memiliki ruang yang luas untuk mengawasi proses perizinan lingkungan. Mereka dapat ikut dalam penyusunan amdal. Mereka juga dapat mengajukan keberatan apabila terdapat masalah dalam dokumen amdal. Selain itu, masyarakat dapat terlibat dalam proses penilaian amdal dengan menjadi bagian dari Komisi Penilai Amdal. Setelah UU Cipta Kerja diberlakukan, ruang partisipasi tersebut menyempit secara signifikan. Masyarakat yang dapat terlibat kini dibatasi hanya pada mereka yang terdampak langsung. Kelompok pemerhati lingkungan dilibatkan sebatas pada uji kelayakan.
Data Riset Terbaru (Update 2024-2025)
Berdasarkan data terbaru dari Global Forest Watch (2024) dan pemantauan citra satelit Sentinel-2, tren deforestasi di Sumatera masih menjadi perhatian serius. Riset terbaru oleh World Resources Institute (WRI) 2024 menunjukkan bahwa Sumatera kehilangan lebih dari 100.000 hektar tutupan hutan primer pada tahun 2023 saja. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun telah dilakukan berbagai upaya konservasi, tekanan terhadap hutan, terutama karena perluasan perkebunan kelapa sawit dan aktivitas pertambangan, masih sangat tinggi.
Studi oleh Pusat Penelitian Konservasi Alam (PPKA) Indonesia tahun 2024 juga mengungkapkan korelasi yang sangat kuat antara kerusakan DAS dan peningkatan frekuensi bencana hidrometeorologi. Studi ini menganalisis 50 DAS di Sumatera dan menemukan bahwa DAS dengan tutupan hutan kurang dari 40% memiliki risiko banjir bandang dan tanah longsor yang 3 hingga 5 kali lebih tinggi dibandingkan DAS dengan tutupan hutan di atas 70%.
Studi Kasus: DAS Batang Toru, Tapanuli Tengah
DAS Batang Toru menjadi studi kasus yang sangat representatif. Pemantauan citra satelit oleh LSM lokal selama periode 2015-2025 menunjukkan penurunan drastis tutupan hutan dari 65% menjadi hanya 35%. Hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap dan penahan air ini secara langsung berkontribusi terhadap banjir bandang besar yang terjadi di Desember 2025, yang mengakibatkan ratusan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang luas. Studi ini juga menemukan bahwa pembalakan liar masih marak terjadi di kawasan hutan lindung, meskipun telah diterapkan moratorium penebangan kayu.
Infografis: “Dampak Deforestasi terhadap Bencana Hidrometeorologi di Sumatera”
Bayangkan sebuah infografis yang memvisualisasikan data berikut:
- Grafik 1: Tren kehilangan hutan primer di Sumatera (2015-2024), dengan data tahunan dari Global Forest Watch.
- Peta 2: Persebaran perkebunan kelapa sawit dan area deforestasi di Sumatera, di-overlay dengan peta DAS yang terdegradasi.
- Diagram 3: Perbandingan kemampuan resapan air antara hutan alam, perkebunan sawit, dan lahan terbuka, disajikan dalam bentuk ilustrasi visual.
- Grafik 4: Korelasi antara tingkat deforestasi di suatu DAS dengan frekuensi kejadian banjir/longsor di wilayah hilirnya.
Analisis Unik dan Simplifikasi
Bencana di Sumatera bukanlah sekadar “musibah alam”. Ini adalah bencana antropogenik, yang penyebab utamanya adalah ulah manusia. Kerusakan hutan, terutama di daerah hulu DAS dan lereng gunung, telah mengubah ekosistem yang dulunya mampu menyerap dan menyimpan air menjadi lahan yang justru mempercepat aliran permukaan. Ketika hujan deras turun, air tidak lagi tertahan oleh akar-akar pohon dan lapisan humus yang tebal, melainkan langsung mengalir deras ke hilir, membawa material tanah dan batu, serta menghancurkan segala yang dilaluinya. Sistem peringatan dini yang lemah dan tata kelola lingkungan yang buruk memperparah situasi. Singkatnya, kita sedang menuai konsekuensi dari pola pembangunan yang eksploitatif terhadap alam.
Kesimpulan
Bencana di Sumatera adalah alarm keras bagi kita semua. Kerusakan hutan dan degradasi ekosistem bukanlah isu lingkungan yang jauh dari kehidupan, tapi langsung berdampak pada keselamatan dan kehidupan masyarakat. Upaya rehabilitasi hutan, penegakan hukum terhadap perusakan lingkungan, serta penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan harus menjadi prioritas utama. Kita perlu segera mengubah pola pikir dari eksploitasi menjadi konservasi, sebelum bencana serupa terulang kembali dengan korban yang lebih besar. Lindungi hutan, lindungi masa depan.
Baca juga Berita lainnya di News Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.