Kuwait Cabut Kewarganegaraan Ulama Kondang Tariq al-Suwaidan, Ini Penyebabnya

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pemerintah Kuwait telah mengambil langkah kontroversial dengan mencabut kewarganegaraan sebanyak 24 orang, termasuk salah satu tokoh ulama paling terkenal di dunia Islam, Tariq al-Suwaidan. Keputusan ini dikeluarkan melalui dekrit resmi yang diterbitkan dalam buletin pemerintah Kuwait Today dan ditandatangani langsung oleh Emir Sheikh Mishal Al-Ahmad Al-Jaber Al-Sabah. Proses ini dilakukan atas rekomendasi Menteri Dalam Negeri dan persetujuan Dewan Menteri.

Dekrit nomor 227 tahun 2025 secara tegas mencabut status kewarganegaraan Kuwait dari Tariq Mohammed al-Saleh al-Suwaidan beserta semua pihak yang memperoleh kewarganegaraan melalui ketergantungan darinya. Namun demikian, tidak ada penjelasan rinci mengenai alasan di balik keputusan ini. Tidak disebutkan dasar hukum maupun motif spesifik yang mendasari pencabutan tersebut.

Tariq al-Suwaidan dikenal luas sebagai salah satu pendakwah Islam paling berpengaruh di kawasan Teluk. Selain sebagai ulama, ia juga aktif sebagai penulis produktif dan pengusaha, dengan puluhan buku yang telah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris serta Prancis. Namanya masuk dalam daftar 500 Muslim paling berpengaruh di dunia selama tiga tahun berturut-turut (2022, 2023, 2024). Pengaruhnya sangat besar di bidang media dan pendidikan keagamaan.

Namun, popularitasnya juga membawa konsekuensi. Pada 2013, ia dipecat dari stasiun televisi Al-Resalah setelah secara terbuka menyatakan afiliasinya dengan Ikhwanul Muslimin. Sejak itu, ia kerap kali menghadapi tekanan hukum dan politik. Tahun lalu, jaksa penuntut Kuwait pernah mendakwanya dengan tuduhan menghina negara Teluk dan negara Arab lainnya melalui media sosial. Meskipun sempat dibebaskan dengan jaminan, ia akhirnya dibebaskan oleh pengadilan pada Juli 2024.

Pencabutan kewarganegaraan di Kuwait bukanlah hal baru. Sejak berdirinya Komite Tinggi Investigasi Kewarganegaraan, lebih dari 60.000 orang telah kehilangan status kewarganegaraan mereka. Alasannya bervariasi, mulai dari kepemilikan kewarganegaraan ganda, perolehan kewarganegaraan melalui penipuan atau pemalsuan, hingga tuduhan yang berkaitan dengan keamanan nasional dan “kepentingan tertinggi negara”. Dalam beberapa kasus, pemerintah menggunakan alasan bahwa individu tersebut berupaya melemahkan rezim pemerintahan.

Kasus al-Suwaidan menimbulkan kekhawatiran luas mengenai kebebasan berekspresi di Kuwait. Banyak pihak melihat keputusan ini sebagai indikasi meningkatnya tekanan terhadap suara-suara kritis, terutama yang berkaitan dengan isu politik dan keagamaan. Sebagai tokoh yang kerap mengkritik kebijakan negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, langkah pencabutan kewarganegaraan ini bisa jadi merupakan bentuk pembungkaman terhadap perbedaan pendapat.

Keputusan ini juga berdampak pada status hukum dan hak-hak dasar al-Suwaidan serta keluarganya. Dengan hilangnya kewarganegaraan, mereka berisiko kehilangan akses terhadap pelayanan publik, hak bepergian, dan bahkan bisa berpotensi menjadi stateless. Dalam konteks regional yang penuh ketegangan politik, langkah Kuwait ini bisa memicu reaksi dari kelompok-kelompok hak asasi manusia dan masyarakat internasional.

Di tengah meningkatnya ketegangan politik di kawasan Teluk, pencabutan kewarganegaraan terhadap tokoh sekaliber Tariq al-Suwaidan menjadi cerminan betapa otoritas negara bisa menggunakan instrumen hukum untuk mengendalikan ruang publik. Sementara itu, masyarakat sipil dan para pendukung kebebasan berekspresi di seluruh dunia semakin waspada terhadap tren pembatasan kebebasan berpendapat yang mengatasnamakan stabilitas dan keamanan nasional.

Untuk menjaga keseimbangan antara keamanan negara dan kebebasan individu, penting bagi pemerintah Kuwait untuk memberikan transparansi yang lebih besar terhadap proses hukum yang melibatkan pencabutan kewarganegaraan. Selain itu, perlu ada jaminan bahwa keputusan semacam ini tidak digunakan secara sewenang-wenang terhadap suara-suara kritis yang sebenarnya berkontribusi pada diskusi publik yang sehat. Di era digital saat ini, di mana informasi menyebar begitu cepat, upaya membungkam perbedaan pendapat justru bisa memicu reaksi yang lebih luas dan kontraproduktif. Maka dari itu, dialog terbuka dan penegakan hukum yang adil menjadi kunci utama dalam membangun kepercayaan antara pemerintah dan rakyatnya.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan