Kemenkes Tepis Kekhawatiran Over Supply Dokter Meski Banyak Kampus Buka Fakultas Kedokteran

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Jakarta –
Menteri Kesehatan Republik Indonesia melalui Direktur Jenderal Sumber Daya Manusia Kesehatan, dr Yuli Farianti, M.Epid, mengatakan Indonesia tidak perlu khawatir akan terjadi kelebihan pasokan dokter umum meskipun banyak perguruan tinggi yang membuka program studi kedokteran. “Jangan takut over supply,” tegas dr Yuli dalam pertemuan di kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, Selasa (9/12/2025).

Lebih lanjut, dr Yuli menegaskan bahwa isu kelebihan pasokan dokter masih jauh dari kenyataan. Menurutnya, Indonesia saat ini masih kekurangan sekitar 70.000 dokter spesialis. “Belum apa-apa kita udah bicara over supply. Kenyataannya kita masih 70 ribu kurangnya (dokter spesialis, red). Jangan bicara dulu over supply,” lanjutnya.

Meskipun begitu, Kemenkes tetap menerapkan kebijakan “rem-gas” dalam memproduksi tenaga dokter umum dari berbagai universitas. Sebagai contoh, dr Yuli menjelaskan bahwa meskipun Fakultas Kedokteran (FK) di wilayah DKI Jakarta atau Jawa sangat banyak, namun produksi dokter tetap diperbolehkan dengan syarat dokter-dokter tersebut tidak ditempatkan di wilayah yang sudah terlalu padat, melainkan dialihkan ke daerah lain seperti Kalimantan.

“Jadi over supply strateginya menjawab adalah bagaimana kita me-review perencanaannya dengan baik. Pastinya ada kebijakan saat tenaga itu memang sudah banyak,” tambahnya.

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Iwan Ariawan, MSPH, seorang akademisi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia. Menurutnya, Indonesia belum memasuki tahap di mana kelebihan jumlah dokter menjadi ancaman. Iwan mengambil contoh dari program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang menunjukkan peningkatan prevalensi penyakit seperti hipertensi dan diabetes melitus. “Contoh kalau kita lihat dari program sekarang cek kesehatan gratis (CKG) itu kasus hipertensi dan diabetes melitus naik dua kali. Biasanya hipertensi sekitar 10 persen, itu dengan CKG 20 persen. Diabetes yang biasanya 3 persen naik 6 persen,” kata Iwan.

Iwan menekankan bahwa peningkatan penyakit kronis ini menunjukkan bahwa masyarakat akan semakin membutuhkan layanan dokter, baik dokter umum, dokter gigi umum, maupun dokter spesialis.

Prof dr Titi Savitri Prihatiningsih, M.Med.Ed, yang juga merupakan perwakilan executive council World Federation for Medical Education (WFME), menambahkan bahwa terdapat sekitar 140.000 dokter umum yang saat ini bekerja di bidang pelayanan primer. Menurut Prof Titi, dari jumlah tersebut, sekitar 70.000 dokter umum akan direkrut menjadi dokter spesialis. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat kebutuhan besar terhadap dokter umum, terutama di layanan primer.

Selain itu, Prof Titi juga menekankan pentingnya peran dokter umum di bidang non-klinis, seperti menjadi dosen di bidang ilmu biomedis. Menurutnya, saat ini sangat sulit mencari dokter yang bersedia mendalami bidang ilmu kedokteran dasar. “Selain itu juga dibutuhkan dokter umum untuk bidang yang non-klinis, seperti misalnya menjadi dosen-dosen untuk ilmu biomedis. Karena saat ini sangat sulit mencari dokter yang mau mendalami bidang ilmu kedokteran dasar,” tutupnya.

Dengan demikian, meskipun banyak perguruan tinggi membuka program studi kedokteran, pemerintah melalui Kemenkes terus memastikan bahwa distribusi dan perencanaan tenaga dokter dilakukan secara bijak agar tidak terjadi ketimpangan antara kebutuhan dan pasokan di masa depan. Penerapan kebijakan yang tepat serta pengawasan yang ketat menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan antara ketersediaan tenaga medis dan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat.

Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Kesehatan pada 2025, Indonesia memiliki rasio dokter umum sekitar 1:3.400 penduduk, sedangkan rasio dokter spesialis bahkan lebih rendah, yaitu 1:25.000 penduduk. Meskipun terdapat peningkatan jumlah dokter lulusan baru sekitar 10% per tahun dari 80 perguruan tinggi penyelenggara FK, distribusi mereka masih terkonsentrasi di pulau Jawa (62%) dan wilayah perkotaan (75%). Sementara itu, beban penyakit di Indonesia mengalami transisi epidemiologis yang masif, dengan prevalensi penyakit tidak menular seperti diabetes melitus meningkat dari 8,5% menjadi 11,9% dalam lima tahun terakhir, dan hipertensi mencapai 34% pada kelompok usia di atas 15 tahun. Kondisi ini diperparah oleh defisit tenaga pengajar di bidang biomedis, di mana hanya 12% dari lulusan dokter memilih jalur akademik di institusi kesehatan.

Studi kasus dari Universitas Airlangga menunjukkan terobosan strategis melalui program “Dokter Peduli Desa” yang mengintegrasikan kurikulum pelayanan primer dan kesehatan lingkungan. Program ini berhasil menempatkan 87% lulusannya di daerah tertinggal selama tiga tahun terakhir, sementara Infografis “Peta Kesehatan Indonesia 2025” menggambarkan secara visual ketimpangan distribusi dokter antara wilayah barat dan timur Indonesia yang mencapai 1:5. Upaya kolaboratif antara pemerintah, institusi pendidikan, dan organisasi profesi menjadi krusial dalam menciptakan ekosistem kesehatan yang berkelanjutan.

Untuk masa depan kesehatan Indonesia, diperlukan sinergi antara perencanaan strategis, distribusi merata, dan peningkatan kapasitas SDM medis. Dengan komitmen kolektif, tantangan demografis dan epidemiologis dapat diubah menjadi peluang untuk membangun sistem kesehatan yang inklusif dan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca Berita dan Info Kesehatan lainnya di Seputar Kesehatan Page

Tinggalkan Balasan