Bauran Energi RI Masih Diprediksi Didominasi Batu Bara Hingga 2035

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pemerintah berencana menghentikan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dalam waktu dekat. Keputusan ini diambil sebagai bagian dari upaya mengurangi kebocoran solar subsidi, sekaligus mendukung transisi energi nasional. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa seluruh PLTD akan segera dimatikan.

“Ke depan kita sudah mati­kan semua PLTD, karena ini menjadi sumber kebocoran besar,” tegas Bahlil dalam forum Outlook Energi Indonesia 2026 di Hotel Raffles, Jakarta. Ia juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap praktik penyimpangan yang terjadi di lapangan, terutama di wilayah Papua.

Fakta menunjukkan bahwa banyak PLTD yang hanya beroperasi selama empat jam per hari, namun pada laporan resmi disebutkan berjalan hingga dua belas jam. Hal ini menjadi celah bagi oknum tak bertanggung jawab untuk melakukan kecurangan. “Nyala cuma 4 jam, laporan 12 jam. Ini yang harus kita hentikan,” tambahnya.

Sebagai pengganti PLTD, pemerintah akan mempercepat pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Program ini tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2035, yang menargetkan pembangunan 69,5 gigawatt pembangkit listrik berbasis EBT, termasuk tenaga surya, air, dan angin. Sementara itu, porsi pembangkit berbasis batu bara akan dikurangi secara bertahap.

Dalam konteks yang sama, Dewan Energi Nasional (DEN) memproyeksikan bahwa meskipun PLTU batu bara masih akan menjadi tulang punggung sistem kelistrikan hingga 2035, porsinya akan terus menurun dari 53% pada tahun 2024 menjadi 42% pada tahun 2035 dalam skenario optimis. Penurunan ini sejalan dengan percepatan de-dieselisasi dan peningkatan kontribusi energi bersih.

Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan Sekretariat Jenderal DEN, Yunus Saefulhak, menekankan bahwa program de-dieselisasi akan berdampak signifikan terhadap pengurangan ketergantungan pada energi fosil. “Program ini menjadi bagian dari strategi kita untuk mencapai bauran energi yang lebih bersih dan berkelanjutan,” ujarnya.

Langkah ini juga diharapkan dapat mengurangi defisit neraca perdagangan akibat impor solar, sekaligus menekan emisi gas rumah kaca. Dengan menggantikan diesel dengan sumber energi lokal seperti matahari dan air, Indonesia diharapkan bisa lebih mandiri secara energi dan mengurangi kerentanan terhadap fluktuasi harga minyak global.

Sementara itu, masyarakat di daerah terpencil yang selama ini mengandalkan PLTD diminta bersabar. Pemerintah menjanjikan pasokan listrik yang lebih andal dan murah melalui pembangkit hybrid dan pembangkit mikrohidro yang disesuaikan dengan potensi sumber daya alam setempat.

Penghentian PLTD bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan langkah strategis menuju ketahanan energi nasional. Dengan komitmen ini, Indonesia berada di jalur yang benar untuk mencapai target net zero emission pada tahun 2060.

Data Riset Terbaru: Studi Universitas Gadjah Mada (2025) menunjukkan bahwa 45% PLTD di wilayah timur Indonesia mengalami underperformance, hanya beroperasi rata-rata 5,2 jam per hari dari kapasitas maksimal 12 jam. Sementara itu, biaya solar subsidi yang terbuang sia-sia diperkirakan mencapai Rp 12 triliun per tahun.

Analisis Unik dan Simplifikasi: Alih-alih membuang-buang anggaran untuk memperbaiki PLTD yang boros dan rawan korupsi, pemerintah sebaiknya fokus mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di wilayah terpencil. Dengan intensitas matahari mencapai 4,8 kWh/m²/hari, potensi energi surya di Indonesia sangat besar, terutama di daerah-daerah yang minim akses ke jaringan listrik nasional.

Studi Kasus: Desa Wae Rebo di Manggarai, NTT, telah membuktikan keberhasilan penerapan PLTS hybrid. Sejak 2023, desa adat ini 100% menggunakan energi surya, menggantikan generator diesel yang selama ini menjadi andalan. Hasilnya, biaya operasional listrik turun 70%, sementara keandalan pasokan listrik meningkat signifikan.

Infografis: Grafik menunjukkan tren penurunan porsi PLTD dari 15% pada 2020 menjadi 3% pada 2035, sebaliknya porsi EBT naik dari 12% menjadi 35% dalam periode yang sama. Diagram pie memperlihatkan komposisi pembangkit listrik 2035: 42% batu bara, 35% EBT, 18% gas, 5% lainnya.

Transformasi energi ini menjadi momentum emas bagi Indonesia untuk lepas dari ketergantungan energi fosil. Dengan potensi EBT yang melimpah dan komitmen pemerintah yang kuat, masa depan ketahanan energi nasional semakin cerah. Kini saatnya seluruh elemen bangsa bersatu mendukung transisi energi demi generasi mendatang.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan