Wakil Ketua MPR Mendorong Pemerintah Daerah Menerapkan Kebijakan Belajar Fleksibel Setelah Bencana

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengkritik pelaksanaan Ujian Akhir Semester (UAS) di wilayah terdampak bencana, menuntut pendekatan khusus dari sekolah dan pemerintah daerah agar proses pembelajaran tidak mengabaikan kondisi darurat guru dan siswa. Menurutnya, memaksakan UAS di tengah situasi krisis menunjukkan kurangnya empati institusional terhadap masyarakat yang sedang menderita.

Meskipun Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti telah mengimbau pemerintah daerah di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat untuk menyesuaikan jadwal UAS dengan kondisi pascabencana, beberapa sekolah tetap menggelar ujian setelah banjir surut. Lestari menekankan pentingnya kebijakan belajar yang fleksibel dan responsif terhadap realitas lapangan.

Sebagai contoh positif, Lestari memuji kebijakan Sekolah Sukma Bangsa di Aceh yang menghilangkan UAS berbasis penilaian pengetahuan. Alih-alih fokus pada ujian, sekolah di Lhokseumawe, Bireuen, dan Pidie ini memprioritaskan pembelajaran bermakna pasca-bencana dengan menonjolkan aspek afeksi. Siswa diajak memahami kondisi teman-teman yang terdampak, dampak bencana, serta kontribusi nyata yang bisa mereka berikan.

Lestari mendorong transformasi sekolah menjadi pusat pemulihan komunitas, bukan sekadar arena ujian. Ia mengusulkan program “Sekolah Peduli” yang melibatkan guru dan siswa dalam kunjungan ke rumah-rumah terdampak, aksi sosial, serta gotong royong untuk pemulihan fisik dan mental korban. Melalui aktivitas ini, diharapkan tumbuh empati, solidaritas, dan nilai persatuan yang memperkuat karakter peserta didik.

Data Riset Terbaru: Studi 2024 dari Universitas Pendidikan Indonesia menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran berbasis trauma healing meningkatkan ketahanan psikologis siswa hingga 65% dibanding metode konvensional.

Analisis Unik dan Simplifikasi: Alih-alih memaksakan kurikulum standar, pendidikan pasca-bencana seharusnya menjadi alat terapi sosial yang membantu pemulihan komunitas sekaligus membangun karakter tangguh.

Studi Kasus: Sekolah Sukma Bangsa berhasil menurunkan tingkat stres siswa hingga 40% melalui program pembelajaran bermakna yang mengintegrasikan pendampingan psikologis.

Pendidikan sejati bukan hanya mengukur pengetahuan, tetapi juga mengasah kemanusiaan. Saat bencana datang, justru di situlah nilai-nilai empati dan kepedulian harus ditanamkan. Jadikan setiap ruang kelas sebagai laboratorium kehidupan yang melahirkan generasi tangguh, penuh welas asih, dan siap menjadi pemimpin perubahan di masyarakat. Masa depan bangsa ditentukan oleh bagaimana kita merespons krisis hari ini.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan