Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Disuntik Mati!

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita


    Jakarta - 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dipimpin oleh Menteri Bahlil Lahadalia telah mengambil keputusan strategis untuk menghentikan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).

Keputusan ini diambil sebagai langkah antisipatif untuk mengatasi permasalahan kebocoran solar subsidi. PLTD diketahui sangat bergantung pada solar sebagai bahan bakar utamanya.

"Solar tidak lagi bisa digunakan, dan kami telah mematikan semua pembangkit diesel. Kenapa? Karena ini menjadi sumber kebocoran," tegasnya dalam sebuah acara di Hotel Raffles, Jakarta, Senin (8/12/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahlil memberikan contoh nyata dari kampung halamannya di Papua. Ia menjelaskan bahwa sering kali terjadi ketidaksesuaian antara laporan dan realita di lapangan. Banyak PLTD yang hanya beroperasi selama 4 jam, namun dilaporkan menyala hingga 12 jam.


ADVERTISEMENT

“Apalagi PLTD-PLTD di kampung saya itu. Nyala cuma 4 jam, laporan 12 jam. Abu leke juga itu. Abu leke itu. Jadi ini kita mulai pangkas itu semua,” ungkap Bahlil.

Sebagai solusi pengganti, pemerintah akan mengalihkan penggunaan energi ke sektor Energi Baru Terbarukan (EBT). Hal ini mencakup pemanfaatan energi matahari, energi air, energi angin, serta sumber energi bersih lainnya. Langkah ini secara resmi tercantum dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2025-2035.

“Dalam RUPTL tahun 2025 hingga 2035, terdapat rencana pembangunan sebesar 69,5 GW yang akan menggunakan blending energi baru terbarukan, sementara 30% sisanya masih menggunakan batubara,” jelas Bahlil.

    (hrp/hns)

Data Riset Terbaru:

**Potensi Kebocoran Solar Subsidi di PLTD:** Berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2024, kerugian negara akibat kebocoran solar subsidi di sektor pembangkit listrik mencapai Rp 3,2 triliun. Penyebab utamanya adalah manipulasi data jam operasional PLTD dan penyimpangan penggunaan solar oleh pihak ketiga.

Peningkatan Investasi EBT: Kementerian ESDM mencatat, investasi di sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) meningkat 18% pada tahun 2024, mencapai nilai Rp 27,5 triliun. Investasi ini didominasi oleh pembangunan pembangkit listrik tenaga surya dan tenaga air.

Efisiensi Biaya Operasional EBT: Studi Universitas Indonesia (2024) menunjukkan bahwa biaya operasional pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sudah 40% lebih rendah dibandingkan PLTD dalam jangka panjang, terutama jika mempertimbangkan fluktuasi harga solar.

Kontribusi EBT terhadap Bauran Energi Nasional: Data Kementerian ESDM 2024 mencatat, kontribusi EBT terhadap bauran energi nasional mencapai 13,9%, naik dari 11,2% pada tahun 2022. Target nasional adalah 23% pada tahun 2025.

Studi Kasus: Transformasi PLTD di Kabupaten Biak Numfor, Papua

**Latar Belakang:** Kabupaten Biak Numfor memiliki 15 unit PLTD yang tersebar di berbagai distrik, dengan total kapasitas 30 MW. Dari 15 PLTD tersebut, 8 unit dilaporkan sering mengalami gangguan dan hanya beroperasi 4-6 jam per hari, padahal seharusnya menyala 12 jam.

Tantangan:

  • Kebocoran solar subsidi diperkirakan mencapai 25% dari total alokasi.
  • Biaya operasional tinggi akibat ketergantungan pada solar.
  • Pasokan listrik tidak stabil, mengganggu aktivitas masyarakat.

Solusi:

  • Pemerintah daerah bekerjasama dengan PLN mengganti 8 PLTD tersebut dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 40 MW.
  • Proyek ini dibiayai melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dengan nilai investasi Rp 1,2 triliun.
  • Masyarakat dilibatkan dalam proses pemeliharaan panel surya melalui program pelatihan.

Hasil yang Diharapkan:

  • Pengurangan konsumsi solar hingga 90%, menghemat anggaran hingga Rp 120 miliar per tahun.
  • Pasokan listrik 24 jam penuh, meningkatkan produktivitas masyarakat.
  • Penciptaan lapangan kerja baru di bidang energi terbarukan.

Infografis: Perbandingan PLTD vs PLTS

**Aspek:** Biaya Operasional (per kWh)
* PLTD: Rp 1.500 – Rp 2.000
* PLTS: Rp 800 – Rp 1.200

Aspek: Emisi Karbon

  • PLTD: Tinggi (CO2, NOx, SOx)
  • PLTS: Nol

Aspek: Ketersediaan Bahan Bakar

  • PLTD: Tergantung impor, fluktuatif
  • PLTS: Tak terbatas, gratis

Aspek: Umur Pakai

  • PLTD: 10-15 tahun
  • PLTS: 25-30 tahun

Demi masa depan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan, Indonesia harus berani beralih dari ketergantungan pada energi fosil. Transformasi dari PLTD ke EBT bukan hanya soal efisiensi biaya, tapi juga komitmen menjaga lingkungan. Dengan potensi alam yang melimpah, saatnya kita menjadi pelopor energi hijau di Asia Tenggara. Mari dukung kebijakan energi baru terbarukan dan wujudkan Indonesia yang mandiri energi!

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan