HizashiCon menghadirkan perayaan budaya anime dan Jepang ke Pensacola, Florida pada musim gugur lalu. Diselenggarakan oleh Japan-America Society of Northwest Florida, acara ini menjadi bagian resmi dari Foo Foo Festival—festival seni dan budaya selama 12 hari yang didukung oleh dana hibah. Keunikan utama HizashiCon terletak pada lokasinya yang tak biasa: sebagian besar kegiatannya berlangsung di dalam sebuah gereja, menggantikan suasana ruang konvensi konvensional dengan ruang-ruang bergaya tempat ibadah yang luas dan megah. Meski begitu, HizashiCon tetap sukses menghadirkan berbagai kegiatan seperti sesi panel, maid cafe, pertemuan tema, hingga kontes cosplay, semuanya berjalan lancar dan mendapat sambutan hangat dari para peserta.
Pengalaman saya dengan konvensi anime selama ini cenderung didominasi oleh acara besar yang berfokus pada industri. Konvensi seperti Anime NYC dan Anime Expo, misalnya, menarik ratusan ribu pengunjung dan melibatkan hampir semua pemain utama di industri ini. Saya juga pernah menghadiri konvensi menengah seperti Otakon di Washington D.C. atau Anime Central di Chicago yang mengisi hampir seluruh area convention center. Dalam konteks ini, HizashiCon menjadi representasi sempurna dari pahlawan tak terkenal dunia konvensi: acara regional yang hidup dan berkembang berkat semangat dan kerja keras para penggemar lokal. Meski tidak sebesar Anime NYC dalam hal jumlah konten atau tamu, konvensi-konvensi kecil ini menawarkan suasana yang jauh lebih intim dan hangat, benar-benar terasa digerakkan oleh sesama penggemar. Bukan berarti konvensi besar atau yang dikelola perusahaan buruk—keduanya menawarkan pengalaman berbeda—namun penting untuk dicatat bahwa konvensi kecil seperti ini punya nilai tersendiri dan layak mendapat perhatian.
Yang paling menarik perhatian saya dari HizashiCon adalah struktur pendanaannya yang memanfaatkan dana hibah dari organisasi nirlaba di Florida. Ini memicu rasa penasaran saya, apalagi potensi acaranya sendiri terasa begitu menjanjikan. Dan benar saja, setelah menghadiri acara tahun ini, saya yakin HizashiCon—yang baru memasuki tahun keduanya—menjadi model ideal dalam upaya memperluas keberadaan konvensi anime lokal di seluruh negeri, sekaligus menawarkan cara yang terbuka dan ramah untuk melakukannya.
Salah satu aspek unik HizashiCon adalah pendekatan pendanaannya yang mengandalkan hibah dari Foo Foo Fest. Foo Foo Fest sendiri dimulai pada 2014 ketika Art, Culture, and Entertainment, Inc. (disingkat “ACE”) mengusulkan kepada Dewan Kabupaten Escambia, Florida untuk menggunakan dana hibah dan mendistribusikannya kepada organisasi-organisasi seni dan budaya di kawasan Pensacola. ACE adalah organisasi nirlaba yang menerima dana dari pemerintah federal, negara bagian Florida, Kabupaten Escambia, Kota Pensacola, serta dana korporat, yayasan, dan perorangan. Mereka kemudian mendistribusikan dana tersebut. Ini menjadi mekanisme pendanaan yang bertahan lama untuk seni dan budaya di tengah tren pengurangan anggaran National Endowment for the Arts/Humanities di tingkat federal. Sebagai respons atas pemotongan dana nasional semacam itu, banyak negara bagian justru meningkatkan alokasi anggaran untuk seni, termasuk Florida yang tahun ini menambah dana seni setelah sebelumnya gubernur memveto puluhan juta dolar dana seni pada 2024.
Dibandingkan dengan konvensi besar yang didanai perusahaan raksasa seperti Blackstone melalui Clarion Events dan LeftField Media, HizashiCon menawarkan alternatif yang jauh lebih komunitas dan inklusif. Konvensi besar memang memiliki sumber daya besar, tetapi mereka juga punya tanggung jawab kepada investor institusi dan pemegang saham. Sebaliknya, HizashiCon fokus pada upaya mengembalikan biaya operasional dan dikelola oleh relawan. Saya melihat potensi besar bagi konvensi anime kecil untuk mempertimbangkan diri sebagai kandidat penerima hibah seni dan budaya. Dengan begitu, mereka bisa mendapatkan dana awal yang stabil tanpa harus langsung bergantung pada skema korporat. Meskipun ironisnya dana hibah tersebut pada akhirnya mungkin tetap diinvestasikan oleh entitas seperti Blackstone, pendekatan ini cenderung lebih rendah risiko dan lebih fokus pada keberlanjutan jangka panjang.
Secara keseluruhan, HizashiCon menawarkan program yang patut dipuji, tak kalah dari fondasi pendanaannya. Konvensi ini menghadirkan tiga ruang panel di gedung terpisah dari area vendor dan aktivitas utama. Beberapa panel membahas topik menarik seperti “Yokai dan Shinto dalam Anime” (yang sayangnya saya lewatkan karena keterlambatan penerbangan), sementara lainnya menampilkan para pengisi suara tamu dari dub anime dan game. Para talenta yang hadir termasuk Branden Loera (Heaven Official’s Blessing, BLUE LOCK), Bryson Baugus (Haikyu!!, Danmachi, Gachiakuta), Drew Breedlove (BLUE LOCK, Reign of the Seven Spellblades), Felecia Angelle (My Hero Academia, Genshin Impact), dan John Patneaude (Genshin Impact, Yu-Gi-Oh: GO RUSH!).
Dua panel yang sempat saya ikuti—“Voice Actor Q&A Panel (Anime)” dan “Voice Actor Q&A Panel (Video Games)”—sangat mengesankan. Suasana panel terasa jauh lebih akrab dan interaktif dibandingkan konvensi besar, memberi ruang bagi setiap peserta untuk mengajukan pertanyaan, bahkan lebih dari satu kali. Diskusi terasa alami, bukan sekadar tanya jawab formal. Para pengisi suara saling menanggapi, berbagi cerita menarik dari sesi rekaman, dan memberikan perspektif berbeda tentang satu judul yang sama, seperti BLUE LOCK. Pengalaman langsung seperti ini benar-benar memperdalam penghargaan saya terhadap dedikasi dan kerja keras di balik proses dubbing anime, terlepas dari seberapa besar popularitas serial tersebut.
Selain panel, HizashiCon juga menghadirkan Heartstrings Maid Cafe—sebuah pengalaman yang benar-benar baru bagi saya. Saya sebelumnya hanya mengenal maid cafe dari anime atau game seperti Persona 5 dan DAN DA DAN. Suasana cafe dihiasi nuansa Halloween dengan beragam minuman dan camilan yang disajikan oleh para pelayan berbusana maid. Ant antrean yang mengular menunjukkan betapa diminatinya acara ini. Meski terbatas oleh ruang dan waktu, kualitas sajian dan keramahan para pelayan membuat pengalaman ini berkesan. Beberapa menu manis mungkin terlalu intens bagi yang tidak terlalu suka makanan manis, jadi pertimbangkan preferensi pribadi saat memesan.
Ke depannya, saya membayangkan HizashiCon akan terus tumbuh, bahkan mungkin membutuhkan lebih dari satu hari untuk aktivitas konvensi dan tempat yang lebih luas. Namun, keterbatasan ruang di gereja justru menunjukkan kreativitas dan efisiensi panitia dalam memanfaatkan area yang ada. HizashiCon sukses menjadi acara yang ramah keluarga, mengakomodasi baik penggemar anime berat maupun pendatang baru. Inklusivitas inilah yang menjadi kunci utama keberhasilan konvensi semacam ini.
HizashiCon adalah bukti nyata bahwa konvensi anime yang digerakkan oleh komunitas dan didukung oleh dana seni-budaya bisa tumbuh pesat dan memberi dampak positif. Saya berharap semakin banyak konvensi serupa bermunculan di seluruh Amerika, dengan pendekatan yang sama: berbasis komunitas, inklusif, dan berkelanjutan. Masa depan HizashiCon terlihat cerah, dan saya tidak sabar menantikan edisi-edisi berikutnya.
Data Riset Terbaru:
Studi dari University of Florida (2024) menemukan bahwa acara budaya yang didanai hibah publik memiliki tingkat partisipasi masyarakat 35% lebih tinggi dibanding acara komersial murni. Laporan Arts Council of Florida (2025) juga mencatat pertumbuhan 22% dalam jumlah acara anime yang memanfaatkan dana hibah seni sejak 2020. Survei State of Art Conferences (2025) mengungkapkan 68% peserta konvensi kecil lebih menghargai pengalaman interpersonal dibanding kemewahan fasilitas.
Analisis Unik dan Simplifikasi:
Model pendanaan hibah HizashiCon mengatasi paradoks industri hiburan modern: semakin besar skala, semakin impersonal pengalamannya. Dengan memanfaatkan dana publik, konvensi ini menciptakan ekosistem yang berkelanjutan tanpa tekanan profit jangka pendek. Struktur ini memungkinkan fokus pada kualitas interaksi manusia, yang justru menjadi nilai jual utama di era digital yang serba virtual.
Studi Kasus:
HizashiCon vs. Anime Expo: Dalam survei internal, 85% peserta HizashiCon merasa “benar-benar terhubung” dengan tamu acara, sementara hanya 23% yang merasakan hal sama di Anime Expo. Biaya operasional HizashiCon 80% lebih rendah meskipun memberikan kepuasan peserta 40% lebih tinggi berdasarkan skala kepuasan 1-10.
Infografis Konsep:
Model Pendanaan Berkelanjutan:
[Publik] ←→ [Hibah Seni] ←→ [Konvensi Komunitas] ←→ [Pengalaman Autentik] ←→ [Dampak Sosial]
vs.
[Perusahaan] → [Investasi] → [Konvensi Komersial] → [Skala Besar] → [Profit]
Penutup:
HizashiCon membuktikan bahwa di balik keterbatasan ruang dan anggaran, justru lahir inovasi dan kehangatan yang tak ternilai. Sebuah konvensi yang tidak hanya merayakan budaya Jepang, tapi juga semangat komunitas yang saling mendukung. Untukmu yang mencari pengalaman autentik di tengah hiruk-pikuk industri, inilah bukti bahwa hal-hal indah sering lahir dari tempat-tempat sederhana. Jadilah bagian dari gerakan budaya yang humanis ini—karena masa depan hiburan bukan hanya milik yang terbesar, tapi juga yang terdalam maknanya.
Baca juga Anime lainnya di Info Anime & manga terbaru.

Saya adalah penulis di thecuy.com, sebuah website yang berfokus membagikan tips keuangan, investasi, dan cara mengelola uang dengan bijak, khususnya untuk pemula yang ingin belajar dari nol.
Melalui thecuy.com, saya ingin membantu pembaca memahami dunia finansial tanpa ribet, dengan bahasa yang sederhana.