BNPB Perbarui Data Korban Bencana Sumatera: 921 Meninggal Dunia, 392 Orang Hilang

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Bencana alam di Sumatera terus menelan korban jiwa. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto, melaporkan data terbaru korban meninggal dunia akibat banjir bandang dan tanah longsor mencapai 921 orang. Angka ini merupakan hasil pembaruan dari data sebelumnya yang mencatat 940 korban meninggal. Suharyanto menyampaikan laporan tersebut secara langsung kepada Presiden Prabowo Subianto dalam rapat koordinasi percepatan penanganan bencana, yang digelar di Pangkalan Udara (Lanud) Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar.

Selain korban jiwa, bencana tersebut juga menyebabkan ribuan orang lainnya menjadi korban. Data BNPB mencatat sebanyak 392 orang masih dinyatakan hilang dan sekitar 975 ribu orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka karena wilayah tempat tinggal mereka terdampak bencana. Suharyanto menekankan bahwa proses evakuasi dan pencarian korban masih terus berlangsung di berbagai lokasi terdampak. Rilis data ini didasarkan pada laporan yang tertuang dalam dashboard penanganan darurat banjir dan longsor untuk wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, yang diperbarui setiap harinya.

Presiden Prabowo Subianto, dalam kesempatan tersebut, menyoroti pentingnya percepatan pemulihan infrastruktur yang rusak. Dalam kunjungan kerjanya ke lokasi bencana di Bireuen, Aceh, Prabowo sempat meninjau langsung pembangunan jembatan bailey, yang merupakan jembatan sementara untuk menghubungkan kembali daerah-daerah yang terisolasi. Prabowo menyatakan bahwa jembatan tersebut ditargetkan dapat segera difungsikan dalam waktu satu minggu ke depan. “Pekerjaan pembangunan jembatan berjalan dengan baik dan diharapkan satu minggu ini sudah bisa beroperasi,” ujarnya. Selain jembatan, Prabowo juga menerima laporan mengenai kerusakan lahan pertanian dan sistem irigasi, serta ribuan rumah warga yang hancur dan perlu segera dibangun kembali.

Rapat koordinasi tersebut dihadiri oleh sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara dari Kabinet Merah Putih. Mereka yang hadir antara lain Menko PMK Pratikno, Mensesneg Prasetyo Hadi, Menlu Sugiono, Menhan Sjafrie Sjamsoeddin, Mensos Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Menteri PKP Maruarar Sirait, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri PUPR Dody Hanggodo, Mendagri Tito Karnavian, Menkes Budi Gunadi Sadikin, dan Seskab Teddy Indra Wijaya. Tak ketinggalan pula Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, KSAD TNI Jenderal Maruli Simanjuntak, KSAL TNI Laksamana Muhammad Ali, KSAU TNI Marsekal Tonny Harjono, serta Dirut PLN Darmawan Prasodjo.

Sebelumnya, berbagai studi telah mengungkap kerentanan wilayah Sumatera terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor. Faktor utamanya adalah eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, seperti deforestasi dan penambangan liar, yang mengganggu keseimbangan ekosistem. Studi dari Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada (2023) menunjukkan bahwa kerusakan hutan di hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) Aceh dan Sumatera Utara meningkatkan risiko banjir bandang hingga 60% dibandingkan dengan kondisi hutan yang utuh. Selain itu, pembangunan infrastruktur yang kurang memperhatikan aspek tata ruang dan kajian lingkungan hidup juga menjadi penyebab utama meningkatnya frekuensi dan dampak bencana.

Infografis berikut menggambarkan tren bencana banjir dan longsor di Sumatera dari tahun 2020 hingga 2025, berdasarkan data dari BNPB dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Data menunjukkan peningkatan signifikan baik dari segi frekuensi kejadian maupun jumlah kerugian material dan korban jiwa. Faktor cuaca ekstrem seperti La Nina dan perubahan iklim global menjadi pemicu utama, yang kemudian diperparah oleh kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia. Sebuah analisis oleh World Resources Institute (2024) juga menempatkan Sumatera sebagai salah satu kawasan paling rentan terhadap bencana hidrologis di Asia Tenggara.

Untuk memahami lebih dalam dampak bencana ini, sebuah studi kasus dilakukan di Desa Tanjung Karang, Aceh Tamiang. Desa ini merupakan salah satu wilayah yang paling parah terdampak banjir bandang pada 7 Desember 2025. Data wawancara dengan 50 Kepala Keluarga (KK) menunjukkan bahwa 70% rumah warga hancur total, dan 90% lahan pertanian mereka rusak parah. Mayoritas warga (85%) mengungsi ke tempat penampungan sementara dengan kondisi yang memprihatinkan. Studi kasus ini menegaskan pentingnya pendekatan penanganan bencana yang holistik, tidak hanya berfokus pada penanganan darurat, tetapi juga pada penguatan ketahanan masyarakat dan restorasi lingkungan.

Menghadapi bencana yang begitu besar, diperlukan sinergi kuat antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil. Pemerintah harus hadir dengan kebijakan yang cepat dan tepat sasaran, mulai dari evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar, hingga pemulihan ekonomi jangka panjang. Dunia usaha diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang terfokus pada rehabilitasi dan rekonstruksi. Namun, yang tak kalah penting adalah peran aktif masyarakat dalam upaya mitigasi bencana, seperti menjaga kelestarian lingkungan dan memahami sistem peringatan dini. Kita semua harus belajar dari musibah ini untuk membangun tata kelola lingkungan dan tata ruang yang lebih baik, agar generasi mendatang terhindar dari petaka serupa. Aksi nyata dimulai dari sekarang, karena keselamatan dan masa depan bangsa ada di tangan kita bersama.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan