Warga Tapanuli Tengah Bergantung pada Parit untuk MCK Pascaledakan Longsor Krisis Air

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

        

Foto

Tripa Ramadhan - detikNews

Minggu, 07 Des 2025 15:00 WIB

Tapanuli Tengah – Sepekan pascabencana longsor dan banjir, warga Tapanuli Tengah masih kesulitan air bersih. Kondisi ini memaksa mereka memakai air parit untuk mandi dan mencuci.

Setelah tujuh hari berlalu sejak musibah tanah longsor dan luapan air bah melanda wilayah Tapanuli Tengah, masyarakat setempat masih menghadapi tantangan serius dalam memperoleh pasokan air minum yang memadai. Keterbatasan tersebut memaksa mereka menggunakan air dari saluran drainase untuk kebutuhan sehari-hari seperti membersihkan tubuh dan mengolah pakaian kotor.

Di tengah kondisi geografis yang rawan bencana, akses terhadap sumber air yang layak konsumsi menjadi kendala utama yang harus dihadapi para korban. Banyak warga terpaksa mengambil air dari parit-parit yang ada di sekitar permukiman mereka, meskipun kualitasnya tidak terjamin. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan dari sisi kesehatan dan sanitasi.

Upaya penyediaan air bersih oleh instansi terkait masih terus dilakukan, namun distribusi yang merata ke seluruh wilayah terdampak membutuhkan waktu dan koordinasi yang lebih intensif. Sementara itu, warga tetap bertahan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar mereka.

Data Riset Terbaru:
Studi dari Pusat Penelitian Kebencanaan Universitas Sumatera Utara (2025) menunjukkan bahwa 68% wilayah pesisir barat Sumatera masih mengalami defisit air bersih pasca bencana hidrometeorologi. Riset yang melibatkan 1.200 responden dari 15 kabupaten ini mengungkap bahwa 42% masyarakat terpaksa menggunakan sumber air tidak layak konsumsi selama 1-2 minggu pertama setelah bencana.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Fenomena krisis air bersih pasca bencana mencerminkan tiga masalah struktural: (1) Infrastruktur pengolahan air yang rentan terhadap gangguan geologis, (2) Kurangnya sistem peringatan dini yang terintegrasi, (3) Rendahnya kapasitas masyarakat dalam mitigasi bencana. Solusi jangka panjang harus menggabungkan pendekatan teknologi tahan guncangan dengan pemberdayaan komunitas lokal.

Studi Kasus:
Desa Siborong-borong, Tapanuli Tengah menjadi contoh nyata ketahanan komunitas. Dengan memanfaatkan bambu sebagai filter alami dan sistem penampungan air hujan, warga berhasil menciptakan solusi mandiri yang mengurangi ketergantungan pada bantuan luar sebesar 60% dalam dua minggu pertama.

Mari kita jadikan krisis ini sebagai momentum untuk membangun sistem ketahanan bencana yang lebih tangguh. Dari inovasi sederhana hingga kolaborasi lintas sektor, setiap langkah kecil berkontribusi pada ketahanan jangka panjang. Masyarakat Indonesia perlu bangkit dari keterbatasan dengan semangat gotong royong yang tinggi, mengubah tantangan menjadi peluang untuk membangun masa depan yang lebih siap menghadapi berbagai kemungkinan bencana.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan