Banjir besar yang melanda sebagian wilayah Sumatera telah menewaskan dan membuat ratusan orang hilang, sekaligus mengganggu listrik, logistik, dan bahkan memicu penjarahan. Namun, pemerintah pusat terkesan lambat dan kurang serius dalam menangani bencana ini. Padahal, bencana ini tidak hanya murni akibat alam, tetapi juga dipicu oleh tata kelola sumber daya alam (SDA) yang buruk. Kebijakan dan regulasi seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, Program Strategis Nasional, hingga rencana deforestasi justru mengedepankan nilai ekonomi semata, sementara aspek lingkungan dan hak-hak masyarakat adat sering dianggap sebagai penghalang. Data Kementerian Kehutanan (2024) menunjukkan hutan tersisa tinggal 95,5 juta hektare, sementara catatan WALHI dan Auriga (2022) mencatat 92% lahan pernah diberikan kepada korporasi, bukan rakyat.
Untuk mengatasi krisis ini dan mencegah kejadian serupa di masa depan, tata kelola SDA harus segera dievaluasi secara mendasar. Langkah pertama yang perlu diambil adalah membangun neraca SDA terintegrasi yang tidak hanya mencatat keberadaan sumber daya, tetapi juga menjadi dasar pertimbangan lintas sektor dalam menentukan kapan dan di mana eksploitasi boleh dilakukan, serta bagaimana menjaga keberlanjutannya. Selain itu, pemerintah harus segera mengeluarkan landasan hukum seperti Instruksi Presiden untuk mempercepat bantuan darurat seperti logistik, alat berat, dan perbaikan infrastruktur. Lebih jauh lagi, pendekatan modernisasi ekologi dan ekologi politik perlu diterapkan untuk menyeimbangkan rasionalitas ekologi, ekonomi, moral, dan politik dalam pengelolaan SDA.
Dengan wilayah yang rawan bencana alam karena berada di Ring of Fire, wilayah ekuator, dan sebagian besar lautan, Indonesia tidak bisa lagi mengabaikan risiko dari eksploitasi SDA. Bencana di Sumatera harus menjadi momentum evaluasi besar-besaran terhadap tata kelola SDA yang selama ini bersifat sentralistik dan eksploitatif. Diperlukan solusi baik preventif maupun kuratif agar negara ini tidak lagi gagap, melainkan tanggap dalam menghadapi bencana.
Data Riset Terbaru (2025):
Studi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa kerusakan hutan di Sumatera mencapai 1,2 juta hektare per tahun selama dekade terakhir, dengan deforestasi paling parah terjadi di Aceh dan Sumatera Utara. Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat peningkatan frekuensi banjir di Sumatera sebesar 40% dalam lima tahun terakhir.
Analisis Unik dan Simplifikasi:
Bencana bukan sekadar takdir, melainkan cerminan dari kebijakan yang gagal menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam. Sistem tata kelola SDA yang ada saat ini ibarat “mesin penghancur hutan” yang dijalankan tanpa rem. Fokus semata pada pertumbuhan ekonomi menciptakan lingkaran setan: izin diberikan, hutan dibuka, tanah menjadi rentan, dan ketika hujan datang, banjir menjadi konsekuensinya. Padahal, hutan bukan hanya tempat mencari uang, tetapi juga “paru-paru” dan “penjaga air” yang vital bagi kehidupan. Solusinya bukan dengan menghentikan pembangunan, tetapi dengan membangun sistem yang adil dan berkelanjutan di mana keputusan tentang SDA diambil secara partisipatif, transparan, dan berbasis data ilmiah.
Studi Kasus:
Kabupaten Aceh Singkil, yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari hutan rawa gambut, menjadi salah satu daerah paling terdampak banjir. Kehadiran perusahaan sawit dan penambangan di sekitar kawasan hutan rawa gambut telah mengubah tata air alami. Saat hujan deras, air tidak lagi terserap oleh hutan, melainkan menggenangi permukiman. Masyarakat setempat yang bergantung pada hasil hutan dan perikanan tradisional kini kehilangan mata pencaharian.
Infografis (deskripsi):
Grafik menunjukkan tren deforestasi di Sumatera dari tahun 2014 hingga 2024, dengan penurunan luas hutan yang signifikan. Peta menunjukkan sebaran izin konsesi perusahaan di wilayah yang terdampak banjir, serta hubungannya dengan titik-titik banjir tahun 2024.
Pemerintah harus segera bangkit dari keterlambatan ini. Neraca SDA terintegrasi, instruksi presiden darurat, dan pendekatan ekologi modern bukanlah opsi, melainkan keharusan. Selamatkan hutan, selamatkan nyawa, dan selamatkan masa depan Indonesia. Jangan biarkan bencana menjadi guru yang kejam; jadikan sebagai momentum untuk berubah. Bergerak sekarang, bertindak tegas, dan wujudkan tata kelola SDA yang berkeadilan dan berkelanjutan demi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Baca juga Berita lainnya di News Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.