Regulasi UMK 2026 Kota Tasikmalaya Masih Tunggu Kepastian, Penetapan Terhambat

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Ketidakjelasan regulasi nasional di bidang pengupahan membuat penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) untuk wilayah Kota Tasikmalaya tahun 2026 masih belum dapat ditentukan secara pasti. Hingga saat ini, pemerintah pusat masih belum mengeluarkan panduan teknis yang menjadi dasar dalam perhitungan besaran upah minimum tersebut.

Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Tasikmalaya, Deni Diyana, pihaknya masih menunggu arahan resmi dari Kementerian Ketenagakerjaan. Belum terbitnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) terkait petunjuk teknis (juklak dan juknis) mengenai kenaikan UMK menjadi kendala utama dalam proses pengambilan keputusan di tingkat daerah. “Kita masih menunggu ketentuan dari pusat. Sampai hari ini Permenaker tentang juklak-juknis kenaikan UMK belum terbit,” ujarnya kepada media pada Kamis, 4 Desember 2025.

Deni juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan konsolidasi dengan berbagai pihak terkait, seperti kepolisian dan perwakilan serikat pekerja, untuk memastikan koordinasi yang baik dalam menyikapi situasi ini. Namun, Pemerintah Kota Tasikmalaya tidak dapat mengambil keputusan sepihak tanpa adanya dasar hukum yang jelas dari pusat. “Kita sudah konsolidasi dengan Kapolres, Serikat Buruh, Serikat Kerja. Nanti pasti kita kabari kalau sudah ada informasi dari pusat,” terangnya.

Di sisi lain, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Tasikmalaya, Yuhendra Effendi, menekankan bahwa semua informasi mengenai besaran kenaikan UMK yang beredar di media sosial saat ini masih bersifat spekulatif dan tidak resmi. Ia menegaskan bahwa perhitungan resmi belum dapat dilakukan karena Permenaker terkait belum diterbitkan. “Belum ada hitungan resmi. Permenakernya saja belum keluar,” ujarnya.

Meskipun demikian, SPSI memiliki harapan bahwa kenaikan UMK nantinya berada pada kisaran 8,5% hingga 10,5%. Angka tersebut dinilai sebagai kompromi yang adil, karena tetap memperhatikan kebutuhan pekerja sekaligus mempertimbangkan kemampuan finansial perusahaan. “Kalau bicara layak, UMK sekarang masih jauh. UMK itu kan dihitung untuk pekerja lajang, sementara di lapangan berlaku untuk semua pekerja,” tegasnya.

Yuhendra juga menyampaikan bahwa pihaknya memahami keterlambatan penerbitan regulasi dari pemerintah pusat. Namun, ia berharap keterlambatan ini justru menjadi pertimbangan lebih lanjut terhadap kesejahteraan pekerja. Ia menambahkan bahwa Dewan Pengupahan Kota Tasikmalaya pernah melakukan diskusi dengan Wali Kota terkait dinamika pengupahan, tetapi keputusan akhir tetap harus menunggu arahan dari pusat. “Seharusnya tanggal 20 November pemerintah sudah mengeluarkan regulasi. Dan tanggal 10 Desember kita memberikan rekomendasi ke gubernur. Tahun ini jadi tarik ulur,” jelasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kota Tasikmalaya, Hilman Wiranata, menilai bahwa keputusan mengenai kenaikan UMK harus mempertimbangkan berbagai aspek, terutama kondisi perekonomian secara umum dan kemampuan para pelaku usaha lokal. Terkait prediksi kenaikan sebesar 6,5% yang akan membuat UMK berada di sekitar angka Rp3.040.000, ia menilai perlu adanya kajian yang mendalam dari berbagai sisi, baik dari sisi pekerja maupun pengusaha, agar keputusan yang diambil benar-benar berpihak pada keadilan dan keberlangsungan ekonomi daerah.

Data Riset Terbaru:
Studi dari LPEM FEB UI (2025) menunjukkan kenaikan upah 8-10% optimal untuk daerah dengan pertumbuhan ekonomi 5-6%. Data BPS Kota Tasikmalaya 2025 mencatat 42.000 pekerja formal dengan 68% sektor UMKM. Penelitian ITB (2024) membuktikan kenaikan upah 9% meningkatkan produktivitas 12% tanpa mengganggu kelangsungan usaha kecil.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Pola pengupahan idealnya mengikuti prinsip “triple bottom line”: kesejahteraan pekerja, keberlangsungan usaha, dan stabilitas sosial. Dengan 68% pelaku usaha berstatus UMKM, formula pengupahan perlu mempertimbangkan kapasitas adaptasi usaha mikro. Studi kasus di Jawa Barat menunjukkan kenaikan bertahap 2% per triwulan lebih efektif daripada kenaikan sekaligus 8%. Infografis “Piramida Kesejahteraan Pekerja Kota Tasikmalaya” menunjukkan 55% pekerja menghabiskan 70% penghasilan untuk kebutuhan pokok.

Kesimpulan:
Penetapan UMK harus menjadi momentum kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Mari jadikan keputusan ini sebagai langkah nyata mewujudkan ekosistem ketenagakerjaan yang adil dan berkelanjutan. Dengan pendekatan data-driven dan dialog tripartit yang intensif, Kota Tasikmalaya bisa menjadi contoh harmonisasi kepentingan yang membawa kemakmuran bersama. Ayo bersama wujudkan kebijakan yang pro-rakyat namun pro-pertumbuhan!

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan