Parkir di Kota Tasikmalaya Harusnya Digratiskan! Perwalkot yang Keliru Tidak Layak Diterapkan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pada tahun 2025, Dishub dan Pemkot Tasikmalaya kembali diminta untuk segera memperbaiki aturan teknis pelayanan parkir yang selama ini menjadi polemik. Permasalahan utamanya terletak pada Perwalkot Tasikmalaya nomor 84 Tahun 2011 yang ternyata memasukkan tiga ruas jalan nasional sebagai area parkir berbayar. Padahal menurut ketentuan UU, jalan nasional tidak boleh dijadikan tempat parkir komersial. Hal ini menimbulkan kerancuan regulasi yang harus segera diselesaikan.

Tatang Pahat, seorang budayawan sekaligus Ketua Terpilih Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Tasikmalaya, menilai bahwa Perwalkot tersebut sudah tidak layak pakai. Ia menyatakan bahwa kesalahan administratif dalam dokumen peraturan tidak boleh ditoleransi, apalagi jika dibiarkan terus menerus. “Masa peraturan yang jelas-jelas salah dibiarkan bertahun-tahun? Atau jangan-jangan memang sengaja dipertahankan untuk pembenaran?” tanyanya retoris.

Dalam perspektif birokrasi, setiap dokumen administrasi harus memiliki dasar hukum yang kuat tanpa celah. Jika terdapat kesalahan, maka dokumen tersebut tidak bisa dijalankan sebelum diperbaiki. Analogi sederhananya, ketika masyarakat mengajukan izin apa pun ke pemerintah dan terdapat kesalahan dalam berkasnya, maka prosesnya tidak akan dilanjutkan sampai semua berkas diperbaiki. “Kalau sudah jelas Perwalkotnya cacat hukum, aneh kalau masih bisa diterapkan,” tandasnya.

Oleh karena itu, Tatang menegaskan bahwa Dishub harus segera menghentikan pungutan retribusi parkir di badan jalan sampai ditemukan solusi hukum yang benar. Bukan karena tidak ada karcis, tapi karena dasar hukumnya memang bermasalah. “Warga tidak perlu membayar parkir sampai aturan teknisnya diperbaiki,” tegasnya.

Mengenai potensi kerugian PAD akibat penggratisan parkir, Tatang menganggap itu adalah konsekuensi logis dari sebuah kesalahan administrasi. Jika aturan yang cacat tetap dipaksakan, maka akan menjadi preseden buruk bahwa pejabat bisa seenaknya membuat aturan seenaknya. “Nanti bisa-bisa dibuat aturan yang membolehkan pejabat pungli, tinggal minta maaf karena ada kesalahan, tapi aturannya tetap berjalan,” sindirnya.

Studi kasus sejenis di beberapa kota besar menunjukkan bahwa ketika terjadi kekeliruan regulasi, solusi terbaik adalah menghentikan sementara pungutan sampai ditemukan dasar hukum yang sah. Di Surabaya, sempat terjadi kasus serupa ketika Perda Retribusi Parkir memasukkan area jalan tol sebagai zona parkir berbayar. Setelah dikoreksi, Dishub setempat langsung menghentikan pungutan dan memperbaiki Perda tersebut. Hasilnya, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum justru meningkat.

Infografis sederhana menunjukkan bahwa dari 50 kota di Indonesia, 15 di antaranya pernah mengalami masalah serupa terkait aturan parkir yang cacat hukum. Mayoritas kasus diselesaikan dengan penghentian sementara pungutan dan revisi peraturan. Kota-kota yang cepat merespons masalah ini justru mengalami peningkatan PAD karena kepercayaan masyarakat terhadap sistem pelayanan publik meningkat.

Masyarakat modern menginginkan pelayanan publik yang transparan dan berdasarkan hukum yang jelas. Ketika ada celah hukum, bukan berarti harus dimanfaatkan, melainkan segera diperbaiki. Kepercayaan publik adalah aset berharga yang harus dijaga. Mari bersama-sama mendorong pemerintah daerah untuk segera memperbaiki regulasi yang bermasalah dan mewujudkan pelayanan publik yang adil serta transparan. Keadilan hukum dimulai dari hal-hal kecil seperti ini.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan