Masjid Menjadi Saksi Bisu: Desa Sekumur Aceh Tamiang Lenyap Diterjang Banjir

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pagi itu, di ujung timur Sumatera, hanya sebuah masjid yang masih berdiri tegak di tengah puing-puing Desa Sekumur. Tidak ada lagi rumah, warung, atau pepohonan rindang yang biasa menaungi warga. Yang tersisa hanyalah tumpukan kayu berserakan dan air yang kini mulai surut, menyisakan luka mendalam bagi Aceh Tamiang.

Banjir bandang yang datang tanpa ampun pada Kamis, 27 November lalu, mengubah segalanya. Air setinggi hampir mencapai atap masjid itu bukan hanya merendam, tapi menghanyutkan seluruh kehidupan yang pernah ada di desa kecil ini. Sekitar 280 rumah yang sehari-hari menjadi tempat tinggal warga, lenyap dalam sekejap. Gambaran banjir yang datang dengan ketinggian antara 7 hingga 10 meter itu seolah menjadi mimpi buruk yang nyata.

Hendra, salah seorang warga yang selamat, menggambarkan betapa dahsyatnya kejadian tersebut. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana tempat tinggalnya dan tetangganya terbawa arus deras. Kini, bersama ratusan warga lainnya, mereka harus mengungsi ke daerah yang lebih tinggi, hidup dalam keterbatasan dan menanti bantuan yang sangat dibutuhkan.

Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang, melalui juru bicaranya Agusliayana Devita atau yang akrab disapa Devi, mengonfirmasi telah menerima laporan mengenai hilangnya Desa Sekumur. Menurutnya, baru satu desa yang dilaporkan hilang di wilayah tersebut, namun dampaknya sangat besar bagi kehidupan masyarakat.

Di balik dinding masjid yang masih kokoh berdiri, tersimpan kisah ketahanan dan harapan. Bangunan ini bukan sekadar tempat ibadah, tapi juga menjadi simbol semangat warga untuk bangkit kembali. Meski harta benda telah tiada, semangat gotong royong dan keimanan mereka kepada Sang Pencipta menjadi kekuatan utama dalam menghadapi cobaan ini.

Kejadian di Desa Sekumur menjadi pengingat betapa rentannya daerah pesisir terhadap bencana hidrometeorologi. Perubahan iklim, deforestasi, dan pembangunan yang tidak memperhatikan tata ruang bisa menjadi pemicu terjadinya banjir bandang yang makin sering terjadi di berbagai penjuru negeri.

Data Riset Terbaru: Studi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (Pusair) Kementerian PUPR tahun 2025 menunjukkan peningkatan frekuensi banjir bandang di kawasan pesisir timur Sumatera sebesar 40% dalam dekade terakhir. Faktor utama penyebabnya adalah perubahan tata guna lahan hutan menjadi area pertanian dan permukiman tanpa memperhatikan daerah resapan air. Studi ini juga mencatat bahwa desa-desa yang berada di dataran rendah dekat aliran sungai besar seperti di Aceh Tamiang memiliki risiko sangat tinggi terkena banjir bandang.

Analisis Unik dan Simplifikasi: Bencana di Desa Sekumur bukan sekadar musibah alam, tapi juga cerminan dari hubungan tidak seimbang antara manusia dan alam. Dengan memahami ekosistem setempat dan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan, kita bisa mencegah terulangnya tragedi serupa. Solusi jangka panjang harus mencakup reboisasi hutan di hulu sungai, penataan kembali permukiman di daerah rawan bencana, serta penguatan sistem peringatan dini yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Studi Kasus: Desa Sekumur menjadi studi kasus penting bagi penanganan bencana banjir bandang di wilayah pesisir. Dari sini kita belajar bahwa ketahanan bencana tidak hanya soal infrastruktur, tapi juga tentang kesadaran kolektif dan kesiapsiagaan sejak dini. Komunitas yang tangguh adalah yang mampu membaca tanda-tanda alam dan mengambil tindakan preventif sebelum bencana datang.

Mari jadikan musibah di Aceh Tamiang sebagai momentum refleksi bersama. Lindungi alam, hargai ekosistem, dan bangun ketahanan komunitas. Dari reruntuhan Desa Sekumur, tumbuh harapan baru: Indonesia yang lebih siap, lebih tangguh, dan lebih peduli terhadap lingkungannya. Aksi kita hari ini menentukan keselamatan generasi mendatang.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan