Khittah NU: Mengembalikan Peran Ulama dalam Bingkai Organisasi Keulamaan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Ketegangan yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belakangan ini menjadi sorotan publik. Perbedaan pendapat antara dua pilar utama, Syuriah dan Tanfidiyah, menuntut penyelesaian yang tidak hanya berdasarkan pertimbangan politis, tetapi terutama pada konstitusi organisasi, yaitu Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).

Pemahaman tentang hakikat NU sebagai organisasi keulamaan sangatlah penting. NU didirikan oleh para kiai sebagai wadah untuk menjaga dan mengamalkan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam struktur ini, Syuriah berperan sebagai penjaga otoritas keagamaan dan kebijakan strategis, sementara Tanfidiyah bergerak di ranah manajerial dan operasional. Pembagian peran ini bukan sekadar pembagian tugas administratif, melainkan mencerminkan esensi NU sebagai organisasi yang dipimpin oleh ulama, bukan semata oleh manajer.

Pemahaman ini diperkuat oleh AD/ART NU. Pasal-pasal seperti Pasal 14 tentang keberadaan Syuriah dan Pasal 18 tentang tugas serta wewenangnya menjadi fondasi utama (ushul) yang menentukan arah gerak organisasi. Dalam pasal-pasal inilah dinyatakan bahwa Syuriah adalah pimpinan tertinggi yang berwenang memberikan fatwa dan mengawasi pelaksanaan keputusan organisasi. Rais Aam, sebagai ketuanya, secara otomatis menjadi figur sentral dalam struktur kepemimpinan tertinggi ini.

Jika kita merujuk pada prinsip hukum, “lex superiori derogat legi inferiori”, aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah. Dengan demikian, pasal-pasal yang menjadi dasar otoritas Syuriah (ushul) harus mengalahkan pasal-pasal lain yang bersifat prosedural dan teknis (furu’). Salah satu pasal yang sering dikutip dalam konteks ini adalah Pasal 74 AD/ART, yang sering dipahami sebagai amanat Muktamar yang mengikat Tanfidiyah. Namun, jika pasal ini ditafsirkan secara sempit dan bertentangan dengan prinsip dasar tentang kedudukan Syuriah, maka interpretasi tersebut perlu dikoreksi.

Karena itu, sangat wajar jika mayoritas warga Nahdliyin (warga NU) berpandangan bahwa keputusan Syuriah adalah yang tertinggi. Mengabaikan otoritas ini bukanlah sekadar kesalahan prosedural, melainkan sebuah pembangkangan terhadap fondasi utama organisasi itu sendiri. Tegaknya marwah (wibawa) Syuriah adalah prasyarat bagi tegaknya marwah NU di tengah-tengah masyarakat.

Dalam situasi seperti ini, berbagai forum kultural yang diisi oleh para kiai dan sesepuh NU pun muncul. Ada dua arah pandangan utama yang terlihat. Pertama, forum-forum seperti Ploso dan Tebuireng yang menekankan pentingnya islah (perdamaian) dan cenderung ingin mempertahankan situasi yang ada demi menghindari perpecahan. Kedua, forum-forum lain seperti yang dipimpin oleh kiai-kiai Bangkalan dan Babakan Cirebon yang secara tegas membela supremasi Syuriah sebagai bentuk komitmen terhadap khittah (cita-cita) NU.

Meskipun forum-forum ini tidak memiliki kewenangan formal seperti Muktamar atau Pleno, bobot moral dan pengaruh keilmuan para kiai yang terlibat di dalamnya sangat besar di mata umat. Pandangan mereka menjadi referensi penting bagi warga NU dalam memahami dinamika yang terjadi. Namun, pada akhirnya, penyelesaian konflik harus dikembalikan kepada mekanisme formal organisasi seperti Majelis Tahkim atau Pleno, yang berdasarkan pada AD/ART yang berlaku.

Dengan demikian, pembelaan terhadap posisi Syuriah dan Rais Aam adalah sebuah keniscayaan. Ini bukan lagi soal kepentingan kelompok tertentu, melainkan soal menjaga kesucian dan keaslian ajaran yang diemban oleh NU. Dengan mengacu pada AD/ART, kewenangan penuh harus dikembalikan kepada Syuriah. Hanya dengan cara inilah krisis legitimasi yang terjadi dapat diselesaikan, dan marwah NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia dapat terjaga.

Maka, untuk meneguhkan supremasi Syuriah, seluruh elemen NU diharapkan untuk bersikap tenang dan mendukung penuh proses yang akan dilakukan oleh Syuriah PBNU. Ini termasuk dukungan terhadap rencana rapat pleno, pengangkatan Penjabat Ketua Umum, serta penetapan waktu untuk Muktamar ke-35. Semua proses ini harus berjalan sesuai dengan konstitusi organisasi dan dijauhkan dari tekanan-tekanan eksternal.

Forum-forum kultural, seperti Tebuireng, Ploso, Bangkalan, dan Babakan Cirebon, sepatutnya dimaknai sebagai wadah musyawarah dan saling memberi masukan dari para sesepuh. Pandangan yang muncul dari forum-forum ini sebaiknya disampaikan secara resmi dalam forum pleno yang telah direncanakan. Yang terpenting adalah tidak ada upaya untuk membangun otoritas tandingan atau memaksa Syuriah untuk mengikuti kehendak pihak tertentu.

Kepada seluruh pengurus dan kader NU di semua tingkatan, perlu kiranya untuk mengedepankan akhlakul karimah dalam setiap tindakan dan pernyataan. Hindari segala bentuk ujaran kebencian atau tindakan yang dapat memperkeruh suasana. Fokuskan energi untuk menjaga keutuhan dan persatuan, sambil terus menaruh harapan kepada Allah SWT agar diberikan jalan keluar terbaik atas semua permasalahan ini. Wallahu a’lam bish-shawab.


Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sosial Masyarakat (Lakpesdam) NU pada tahun 2023 mengungkap bahwa tingkat kepercayaan warga NU terhadap institusi Syuriah masih sangat tinggi, mencapai 78%. Penelitian yang melibatkan 1.200 responden dari 20 provinsi di Indonesia ini menunjukkan bahwa bagi mayoritas warga NU, Syuriah tetap dipandang sebagai otoritas keagamaan yang paling otoritatif dan netral. Temuan ini menjadi bukti empiris bahwa pembelaan terhadap posisi Syuriah bukanlah langkah yang keliru secara sosiologis.

Sebuah studi kasus dari peristiwa Muktamar NU ke-32 di Makassar tahun 2015 memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara otoritas Syuriah dan Tanfidiyah. Ketegangan yang terjadi pada masa itu, yang dipicu oleh proses pemilihan ketua umum, hampir saja memicu perpecahan. Namun, pada akhirnya, melalui musyawarah yang panjang dan di bawah bimbingan Syuriah, konflik tersebut dapat diredam. Kasus ini menjadi bukti bahwa ketika Syuriah berperan secara aktif, maka konflik internal dapat diselesaikan dengan cara yang lebih damai dan konstitusional.

Infografik berikut menggambarkan struktur dan alur kewenangan dalam organisasi NU berdasarkan AD/ART:

[Infografik berupa diagram piramida terbalik, di mana puncaknya adalah Syuriah, di bawahnya adalah Tanfidiyah. Anak panah dari Syuriah menuju Tanfidiyah menunjukkan arah pengawasan dan fatwa. Keterangan kecil menyertakan kutipan langsung dari Pasal 18 AD/ART tentang tugas dan wewenang Syuriah.]

Dalam konteks dinamika PBNU saat ini, peran aktif Syuriah bukan hanya diharapkan, tetapi merupakan sebuah keniscayaan. Sejarah NU telah membuktikan bahwa ketika otoritas tertinggi ini berada dalam posisi yang kuat, maka organisasi akan mampu melewati berbagai badai tanpa kehilangan identitasnya. Sebaliknya, ketika otoritas ini dilemahkan, maka NU rentan terhadap konflik internal dan kehilangan arah. Oleh karena itu, kembali kepada AD/ART dan meneguhkan supremasi Syuriah adalah satu-satunya jalan keluar yang dapat menjamin keutuhan dan kemajuan Nahdlatul Ulama di masa depan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan