Terungkap Aksi Keji Ayah Tiri di Bogor Aniaya Anak hingga Kepala Bocor

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Kasus kekerasan terhadap anak kembali menggemparkan masyarakat. Kali ini, sebuah peristiwa tragis terjadi di Tajurhalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Seorang pria bernama Ifani (26) tega menganiaya anak tirinya yang masih berusia 3 tahun secara sadis. Dampak kekejian tersebut sungguh mengerikan: korban mengalami patah tulang dan bahkan mengalami kebocoran pada kepalanya.

Pengungkapan kejadian ini bermula dari laporan seorang kakek, sang kakek dari korban, ke kantor desa Kalisuren pada Selasa (2/12). Ia didampingi oleh Kepala Desa Jampang, Wawan Hermawan, untuk membuat laporan resmi kepada pihak kepolisian. Dari keterangan Wawan kepada wartawan pada Rabu (3/12), kondisi korban sangat memprihatinkan. Hasil visum menunjukkan adanya penggumpalan darah di kepala korban, yang mengharuskan tindakan operasi. Selain itu, kakinya dibalut perban karena diduga mengalami patah atau remuk. Tidak hanya itu, tangan korban juga terdapat memar, yang menjadi indikasi kuat adanya tindak penganiayaan.

Korban yang malang tinggal serumah dengan ibu kandung dan ayah tirinya, Ifani. Dalam menghadapi tuduhan, orang tua korban mencoba memberi alasan bahwa kondisi anak tersebut sudah penuh luka ketika mereka bangun tidur, sebuah dalih yang jelas tidak masuk akal mengingat parahnya luka yang dialami.

Tidak butuh waktu lama, Polres Metro Depok langsung bertindak cepat. Berdasarkan penyelidikan yang mendalam, pelaku berhasil diidentifikasi sebagai ayah tiri korban, dan Ifani pun mengakui perbuatannya. Korban sendiri masih menjalani perawatan intensif di RSUD Kota Bogor.

Kepala Satuan Reserse Krimimal Polres Metro Depok, Kompol Made Gede Oka, mengungkap detail mengerikan dari aksi Ifani. Motifnya ternyata sangat sepele: pelaku merasa kesal dan emosi karena korban tidak segera melaksanakan perintahnya. Namun, kemarahannya itu berubah menjadi kekejaman fisik yang tidak terbayangkan. Ifani menyentil mata korban, menekan tangan korban hingga patah dan menginjaknya, menendang paha korban hingga patah, mengangkat korban lalu melepaskannya sehingga kepalanya membentur lantai, dan bahkan menyentuhkan rokok yang menyala ke area kemaluan korban.

Aksi biadab ini ternyata tidak dilakukan sekali. Kompol Made menjelaskan bahwa penyiksaan pertama terjadi pada Rabu, 26 November. Saat itu, pelaku meminta korban berjemur di bawah sinar matahari. Korban yang duduk di bangku tiba-tiba terjatuh, dan Ifani pun menggendongnya ke kamar, tempat penganiayaan pertama terjadi. Penganiayaan kedua terjadi pada Minggu, 30 November, siang hari. Pemicunya adalah ketika korban menjatuhkan piring bekas makan di dapur. Melihat korban terjatuh dengan posisi duduk, Ifani kembali emosi. Sore harinya, sekitar pukul 16.30 WIB, ketika korban tertidur, Ifani mencoba membangunkannya. Karena korban tidak kunjung bangun, kemarahan Ifani kembali memuncak, dan korban kembali dianiaya secara sadis. Akibat peristiwa ini, korban mengalami memar di bawah mata dan menjadi sangat rewel saat dimandikan, yang justru membuat pelaku semakin marah dan kembali melakukan kekejaman.

Atas perbuatannya, Ifani resmi ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jika terbukti bersalah, Ifani terancam hukuman penjara paling lama sepuluh tahun atau denda paling banyak tiga puluh juta rupiah.

Data Riset Terbaru: Studi oleh UNICEF pada 2024 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak di Indonesia masih menjadi masalah serius. Laporan menyebutkan bahwa satu dari tiga anak pernah mengalami kekerasan fisik, dan kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak cenderung meningkat setiap tahunnya, dengan mayoritas pelaku adalah orang terdekat korban, seperti anggota keluarga atau pengasuh.

Studi Kasus: Kasus Ifani di Bogor menjadi contoh nyata bagaimana kekerasan dalam rumah tangga dapat menyasar anak-anak yang paling rentan. Studi kasus ini menunjukkan bahwa pelaku sering kali menggunakan alasan sepele, seperti ketidaktaatan atau kesalahan kecil, sebagai pemicu kekerasan. Pola ini perlu diwaspadai oleh masyarakat dan aparat penegak hukum untuk mencegah kejadian serupa.

Kasus ini menjadi tamparan keras bagi kita semua tentang pentingnya perlindungan terhadap anak. Tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk melakukan kekerasan terhadap makhluk tak berdosa. Kita perlu bersatu, saling mengawasi, dan segera melapor jika melihat tanda-tanda kekerasan. Diam bukanlah pilihan; suara kita bisa menjadi penyelamat bagi anak-anak yang tidak bersalah. Mari jadikan lingkungan kita sebagai tempat yang aman bagi mereka tumbuh dan bermimpi.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan