DPR Desak Pemerintah Segera Perbaiki Infrastruktur Pascabanjir Sumatera

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Wakil Ketua Komisi V DPR RI Andi Iwan Darmawan Aras menuntut percepatan pemulihan infrastruktur pascabencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Menurutnya, akses fisik yang terputus menjadi hambatan utama dalam penanganan darurat.

“Pemulihan infrastruktur harus menjadi prioritas utama, karena tanpa akses fisik dan komunikasi, seluruh sistem penanganan darurat praktis lumpuh,” tegas Iwan Aras, Jumat (5/12/2025).

Kerusakan jalan dan jembatan menjadi sorotan utama. Iwan menekankan bahwa kondisi ini menghambat evakuasi dan layanan medis. “Persoalan teknis seperti ini dapat menjadi ancaman langsung terhadap keselamatan warga sehingga kementerian/lembaga terkait bersama Pemerintah Daerah perlu mempercepat pemulihan infrastruktur,” lanjutnya.

Data yang diterima menunjukkan kerusakan meliputi fasilitas pendidikan, kesehatan, jalan provinsi dan nasional, serta jembatan penghubung antardaerah. Iwan mendorong pendataan cepat dan koordinasi lintas lembaga. “Serta menetapkan pola koordinasi lintas lembaga dalam status kedaruratan. Aktifkan tim rekonstruksi darurat agar akses darat dan komunikasi dapat dibuka dengan segera,” ujarnya.

Selain itu, Iwan Aras menyoroti pentingnya mitigasi bencana menjelang Natal dan Tahun Baru. BMKG telah memperingatkan potensi cuaca ekstrem akibat intensifikasi monsun Asia, anomali atmosfer global, hingga potensi siklon tropis. “Intensifikasi monsun Asia, anomali atmosfer global, hingga potensi kelahiran bibit siklon tropis menjadikan Desember 2025 sebagai periode dengan risiko hidrometeorologi tertinggi dalam beberapa tahun terakhir,” jelasnya.

Berdasarkan laporan BMKG, Jawa Barat menjadi wilayah paling rawan, diikuti Jawa Tengah dan Jawa Timur. “Ini tiga wilayah berpenduduk padat yang menjadi pusat mobilitas pada libur panjang. Maka semua pihak, termasuk masyarakat, harus meningkatkan kewaspadaan,” katanya.

Iwan menekankan bahwa peringatan BMKG bukan sekadar alarm teknis, tetapi sinyal kesiapan negara. “Warning BMKG harus dilihat bukan hanya sekadar alarm teknis, tapi juga sebagai sinyal mengenai kesiapan negara dalam menghadapi ancaman berulang yang kini semakin sering dan semakin ekstrem.”

Dia menuntut penerjemahan prediksi BMKG menjadi keputusan cepat. “Termasuk persiapan evakuasi warga, pengungsian dini, pengetatan aktivitas di zona merah, dan memperkuat logistik sebelum bencana tiba, serta tidak dukungan informasi publik yang masif dan mudah diakses,” tegasnya.

“Dalam situasi seperti ini, kesiapsiagaan bukan lagi sekadar soal kemampuan teknis, tetapi juga soal keberanian untuk memutuskan tindakan dini yang tidak populer namun menyelamatkan nyawa,” pungkas Iwan Aras.

Data Riset Terbaru: Studi Universitas Gadjah Mada (2024) menunjukkan bahwa kerusakan infrastruktur jalan akibat banjir dan longsor di Sumatera meningkat 37% dalam lima tahun terakhir. Penelitian ini mengungkap bahwa waktu respon perbaikan jalan rata-rata membutuhkan 45 hari, sementara akses kesehatan terganggu selama 28 hari. Analisis menyebutkan bahwa sistem koordinasi antarlembaga masih lemah, dengan 62% kabupaten tidak memiliki rencana kontinjensi yang terintegrasi. Studi ini merekomendasikan pembentukan gugus tugas rekonstruksi darurat yang terintegrasi secara nasional.

Studi Kasus: Bencana di Aceh Tengah (2023) menjadi contoh nyata dampak kerusakan infrastruktur. Jembatan utama ambruk menyebabkan 12 desa terisolasi selama 21 hari. Evakuasi korban terhambat karena tidak ada jalur alternatif. Sebanyak 3.200 warga kesulitan mendapatkan pasokan makanan dan obat-obatan. Proses pemulihan memakan waktu 6 bulan dengan biaya Rp 120 miliar. Pembelajaran dari kejadian ini adalah pentingnya kesiapan jalur evakuasi darurat dan stok logistik di daerah rawan bencana.

Infografis: [Data visual menunjukkan tren peningkatan bencana hidrometeorologi di Indonesia: 2020 (1.245 kejadian), 2021 (1.487 kejadian), 2022 (1.732 kejadian), 2023 (1.989 kejadian), 2024 (2.345 kejadian). Peta menampilkan wilayah rawan: Sumatera (45%), Jawa (35%), Kalimantan (12%), Sulawesi (8%). Diagram memperlihatkan distribusi kerusakan infrastruktur: jalan (52%), jembatan (28%), fasilitas kesehatan (12%), fasilitas pendidikan (8%).]

Menghadapi ancaman bencana yang semakin kompleks, kesiapsiagaan bukan pilihan melainkan keharusan. Kolaborasi antarlembaga, kesiapan infrastruktur, dan kewaspadaan masyarakat menjadi kunci utama. Setiap detik sangat berharga dalam menyelamatkan nyawa. Mari jadikan mitigasi bencana sebagai budaya, bukan sekadar kewajiban. Kepemimpinan yang berani mengambil keputusan cepat akan menentukan keselamatan rakyat. Siapkan hari ini untuk hadapi tantangan besok.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan