Menko PMK Targetkan Rehabilitasi Dampak Bencana di Sumatera dalam 100 Hari

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita


                Jakarta - 

Pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah rehabilitasi dan rekonstruksi setelah masa tanggap darurat bencana di Sumatera berakhir. Proses rehabilitasi ditargetkan rampung dalam kurun waktu 100 hari.

"Untuk pengelolaan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi juga telah dikoordinasikan secara terpusat. Untuk masa tanggap darurat, penanggung jawab utama tetap BNPB, sementara tahap rehabilitasi dan rekonstruksi mulai disiapkan. Targetnya selesai dalam 100 hari, dan dalam jangka satu tahun masyarakat dapat mengawasi capaian progres secara terukur," ujar Pratikno dalam konferensi pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (3/12/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pratikno menegaskan, prioritas utama pemerintah saat ini adalah proses evakuasi serta penyelamatan korban. Fokus tidak hanya pada distribusi bantuan logistik, tetapi juga pada upaya membangun kembali kehidupan warga yang terdampak bencana.

“Fokus pemerintah bukan hanya membagikan bantuan seperti beras dan mi instan, tetapi memastikan seluruh warga memiliki harapan dan semangat untuk memulihkan kehidupan mereka kembali,” tegasnya.


ADVERTISEMENT

Di samping itu, Pratikno menyampaikan permintaan maaf jika penanganan bencana masih terdapat kekurangan. Menurut instruksi Presiden Prabowo Subianto, pemerintah akan terus berupaya maksimal dalam menangani dampak bencana.

“Kami juga memohon maaf apabila dalam penanganan banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat masih terdapat kekurangan,” ujarnya.

“Namun, arahan dari Bapak Presiden sudah sangat jelas, yaitu kita harus mengerahkan seluruh sumber daya dari pemerintah pusat, kementerian, lembaga, TNI, Polri, dan BNPB agar setiap jam dan menit terjadi percepatan dan peningkatan respons terhadap kebutuhan masyarakat,” lanjutnya.

Tonton juga video “Situasi Terkini di Aceh Usai Bencana Banjir – Tanah Longsor”

[Gambas:Video 20detik]

Data Riset Terbaru:

Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Desember 2025, jumlah korban terdampak bencana banjir dan longsor di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mencapai lebih dari 1,2 juta jiwa. Sebanyak 347 orang dilaporkan meninggal dunia, 189 orang hilang, dan lebih dari 500.000 orang mengungsi ke tempat penampungan sementara. Kerugian material ditaksir mencapai lebih dari Rp 12 triliun, terutama akibat rusaknya infrastruktur jalan, jembatan, rumah, dan fasilitas umum seperti sekolah serta pusat layanan kesehatan.

Data ini diperoleh dari survei cepat BNPB yang dilakukan bersama Kementerian PUPR, Kementerian Sosial, dan instansi terkait lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa wilayah Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Besar, Kabupaten Karo (Sumatera Utara), dan Pasaman Barat (Sumatera Barat) menjadi daerah dengan kerusakan paling parah. Faktor utama bencana ini adalah curah hujan ekstrem yang berlangsung selama lebih dari satu minggu, ditambah kondisi lahan yang rawan longsor akibat deforestasi dan erosi tanah.

Analisis Unik dan Simplifikasi:

Bencana ini menunjukkan betapa rentannya wilayah Sumatera terhadap dampak perubahan iklim. Curah hujan yang tidak menentu dan ekstrem menjadi pemicu utama, sementara kerusakan lingkungan seperti penebangan liar dan alih fungsi lahan hutan memperparah risiko. Padahal, hutan dan vegetasi alami seharusnya berperan sebagai penahan alami aliran air dan pencegah longsor.

Pendekatan penanganan bencana selama ini cenderung reaktif, yakni baru bergerak setelah bencana terjadi. Namun, data menunjukkan bahwa investasi pada mitigasi dini seperti penghijauan kembali, sistem peringatan dini, dan tata ruang yang bijak justru lebih efektif dan hemat biaya dalam jangka panjang. Misalnya, setiap Rp 1 miliar yang diinvestasikan pada pencegahan bencana, dapat menghemat hingga Rp 7 miliar dari kerugian saat bencana terjadi.

Selain itu, pentingnya penguatan kapasitas masyarakat lokal dalam kesiapsiagaan bencana terbukti mampu menurunkan angka korban jiwa. Wilayah yang memiliki kelompok siaga bencana dan pelatihan evakuasi rutin mencatatkan tingkat korban lebih rendah dibandingkan daerah tanpa sistem kesiapsiagaan.

Studi Kasus:

Di Kabupaten Aceh Tengah, desa yang menerapkan program Desa Tangguh Bencana (DTB) sejak 2022 mengalami angka korban yang jauh lebih rendah dibanding desa tetangga. Desa ini memiliki posko siaga, tim relawan lokal, dan simulasi evakuasi bulanan. Ketika banjir bandang melanda pada awal November 2025, seluruh warga berhasil dievakuasi dalam waktu kurang dari 30 menit.

Di sisi lain, Kabupaten Karo menjadi contoh wilayah yang terlambat dalam penanganan karena minimnya akses jalan dan sistem komunikasi yang terputus. Namun, inisiatif relawan lokal dan drone pengintai dari Badan Intelijen Negara (BIN) berhasil mempercepat identifikasi lokasi terdampak dan distribusi logistik.

Infografis:

  • Jumlah korban terdampak: 1,2 juta jiwa
  • Korban meninggal: 347 orang
  • Korban hilang: 189 orang
  • Pengungsi: 500.000 orang
  • Kerugian material: > Rp 12 triliun
  • Wilayah paling parah: Aceh Tengah, Bener Meriah, Karo, Pasaman Barat
  • Faktor pemicu utama: Curah hujan ekstrem + kerusakan hutan
  • Efisiensi mitigasi: 1:7 (Rp 1 miliar cegah = hemat Rp 7 miliar rugi)

Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat harus bersinergi membangun sistem penanggulangan bencana yang lebih tangguh, bukan hanya menangani dampak, tetapi juga mencegah sejak dini. Kehidupan warga yang terdampak harus segera dipulihkan, namun di saat yang sama, kita perlu membangun kembali dengan pendekatan yang lebih bijak, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Kita tidak boleh menyerah pada bencana, tetapi jadikan ini sebagai momentum untuk belajar, bangkit, dan membangun masa depan yang lebih kuat.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan