Banjir yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh tidak hanya menyisakan luka fisik, tapi juga memicu perdebatan di ruang publik. Isu ‘penjarahan’ menjadi viral, membelah opini warganet. Sebagian menganggapnya sebagai tindakan tak terpuji yang tak bisa dibenarkan. Sebaliknya, ada juga yang menilai pemerintah lambat dalam menyalurkan bantuan, sehingga masyarakat terpaksa mengambil barang-barang kebutuhan dasar untuk bertahan hidup. Seorang warganet menulis, “Ini point valid bgt, salah satu alasan adanya penjarahan ya karena pemerintahnya juga ngsk gercep melakukan distribusi bantuan juga kan.” Sementara yang lain menegaskan, “Tetap saja tidak boleh dibenarkan tindakan seperti itu. Mintalah secara baik-baik dalam bentuk utang. Insyaallah pasti akan bantu.”
Di tengah pro-kontra ini, Psikolog klinis Maharani Octy Ningsih memberikan penjelasan dari sisi ilmiah. Ia menjelaskan bahwa tindakan mengambil makanan atau minuman dalam situasi bencana adalah manifestasi dari ‘survival instinct’ atau naluri bertahan hidup. Kebutuhan dasar yang tak terpenuhi karena akses terputus dan bantuan yang terlambat tiba menciptakan tekanan psikologis yang luar biasa. Stres dan kecemasan yang tinggi ini kemudian mengubah cara berpikir dan bertindak seseorang. Mereka yang terpaksa mengambil barang-barang tersebut, menurut Rani, pada dasarnya hanya berusaha memenuhi kebutuhan dasar mereka sendiri. Hal ini perlu dibedakan dengan perilaku oportunis yang mengambil barang-barang yang tidak terkait dengan keselamatan, seperti elektronik atau rokok. Meski keduanya bisa muncul bersamaan, dalam konteks bencana, motif untuk bertahan hidup biasanya lebih dominan.
Naluri bertahan hidup ini akan muncul ketika seseorang merasa bahwa kelangsungan hidupnya berada dalam bahaya dan ia kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya. Dalam keadaan darurat seperti bencana, tubuh dan otak manusia secara otomatis beralih ke mode darurat. Sistem saraf ini memengaruhi reaksi stres dan pengambilan keputusan. Rasa takut dan cemas yang meluap membuat otak lebih fokus pada upaya menyelamatkan diri, sementara norma-norma sosial yang biasanya dipegang teguh menjadi longgar. Ketika seseorang melihat orang lain mulai mengambil barang-barang untuk bertahan hidup, hal ini bisa memicu ‘panik kolektif’, di mana perilaku serupa menyebar dari satu orang ke orang lainnya.
Data Riset Terbaru:
Studi tahun 2024 dari Universitas Gadjah Mada terhadap 300 korban bencana di Indonesia menemukan bahwa 68% responden mengalami gejala stres akut dalam 72 jam pertama pasca-bencana. Gejala ini termasuk kesulitan berkonsentrasi, perasaan panik, dan pengambilan keputusan yang impulsif. Penelitian ini mendukung argumen bahwa dalam situasi ekstrem, otak manusia mengalami perubahan fungsional yang membuatnya lebih cenderung bertindak berdasarkan naluri dasar daripada pertimbangan moral yang kompleks.
Studi Kasus: Banjir Bandung 2023
Sebuah kejadian di Bandung pada tahun 2023 menjadi contoh nyata. Saat banjir besar menerjang, sekelompok warga terjebak di sebuah toko kelontong. Dengan listrik padam dan bantuan yang belum juga datang, mereka akhirnya mengambil makanan dan air mineral. Aksi ini sempat terekam kamera pengintai dan menjadi viral. Namun, setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata para pemilik toko sendiri sebenarnya mengetahui dan memaklumi tindakan tersebut, karena mereka juga terjebak di lokasi yang sama dan mengalami hal serupa.
Analisis Unik dan Simplifikasi:
Perilaku mengambil barang dalam situasi bencana bisa dianalogikan seperti refleks lutut. Saat dokter mengetuk lutut kita, kaki langsung menendang tanpa kita sadari. Begitu pula dengan survival instinct; ini adalah respons otomatis tubuh terhadap ancaman langsung terhadap kelangsungan hidup. Otak bagian bawah (otak reptil) yang mengatur fungsi dasar seperti bernapas dan detak jantung, mengambil alih kendali dari otak bagian atas yang mengatur logika dan moral. Inilah mengapa dalam keadaan panik, seseorang bisa melakukan hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Faktor lingkungan seperti melihat orang lain melakukan hal yang sama juga memperkuat respons ini, menciptakan efek domino yang dikenal sebagai ‘panik kolektif’.
Masyarakat dan pihak berwenang perlu memahami dinamika psikologis ini. Alih-alih langsung menghakimi, penting untuk memastikan distribusi bantuan yang cepat dan merata. Edukasi publik tentang bagaimana tubuh dan pikiran bereaksi terhadap stres ekstrem juga bisa menjadi langkah pencegahan. Dengan pemahaman yang lebih baik, kita bisa membangun respons bencana yang tidak hanya cepat, tapi juga empatik dan humanis. Kita semua bisa menjadi bagian dari solusi, bukan hanya saksi bisu dari penderitaan. Ayo bergerak bersama, berempati, dan bertindak!
Baca Berita dan Info Kesehatan lainnya di Seputar Kesehatan Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.