Dalam realitas pendidikan saat ini, bayangan romantis tentang guru tua yang berdebu kapur di ruang kelas sunyi telah berganti. Seorang guru di pedalaman Papua kini tidak lagi berdiri kaku di depan papan hitam, melainkan menyentuh layar pintar untuk memandu siswanya berinteraksi langsung dengan mentor bahasa dari Jakarta serta mengakses materi global tanpa perlu pusing mencari sinyal internet.
Ini bukan fiksi ilmiah, melainkan wajah baru 288.000 sekolah berkat program digitalisasi masif dari pemerintahan Presiden Prabowo. Ratusan ribu layar interaktif telah mendarat di sekolah-sekolah. Namun, sebagai seorang analis manajemen manusia (HR), saya ingin mengingatkan bahwa teknologi semewah apa pun hanyalah seonggok plastik dan logam tanpa operator yang andal.
Kunci sukses Indonesia Emas 2045 bukan pada seberapa canggih smartboard-nya, tapi seberapa cepat kita bisa mengubah mentalitas guru: dari sekadar “pengajar” konvensional menjadi seorang “enabler” global. Guru tidak lagi memegang monopoli kebenaran atau pengetahuan. Materi sejarah, rumus matematika, hingga tata bahasa Inggris sudah tersedia lengkap—bahkan lebih menarik—di internet. Teknologi seperti Kipin EdTech memungkinkan konten jutaan jam diakses secara luring (offline).
Jika guru hanya bertahan sebagai “penyuap materi” atau tukang suruh menghafal, profesi mereka akan usang digilas mesin. Peran guru harus naik kelas menjadi kurator konten, fasilitator diskusi yang tajam, dan mentor karakter. Beban administrasi biar diurus teknologi; waktu guru harus habis untuk membangun logika dan empati siswa. Data tidak berbohong: digitalisasi yang tepat guna terbukti mampu mendongkrak literasi hingga 14 persen dan numerasi 27 persen, tapi syaratnya berat: gurunya harus siap.
Tantangan tidaklah ringan. Literasi digital guru-guru kita masih beragam, apalagi tantangan klasik di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Jika salah urus, banjir teknologi ini malah bikin guru stres (tech overload). Di sinilah pendekatan manajemen talenta (HR) diperlukan. Kita tidak bisa hanya melempar alat lalu berharap keajaiban.
Pertama, kita butuh “upskilling” yang radikal tapi manusiawi. Jangan lagi pelatihan basa-basi. Kita butuh skema pelatihan hibrida (misalnya 120 jam/tahun) yang fokus pada blended learning. Kedua, insentif. Dalam dunia profesional, keahlian baru harus dihargai. Guru di pelosok yang sukses menjadi fasilitator digital harus mendapat insentif karier yang jelas. Ketiga, redesain deskripsi kerja. Pemerintah, melalui Kemendikdasmen dan BKN, perlu merombak definisi kerja guru. Targetnya bukan lagi sekadar jam mengajar tatap muka, tapi seberapa efektif mereka memfasilitasi pembelajaran mandiri siswa.
Visi “Asta Cita” pemerintahan saat ini menuntut SDM yang unggul. Guru adalah garda terdepannya. Transformasi guru menjadi enabler akan melahirkan murid yang mandiri. Kita sudah melihat percontohan sukses di mana siswa di daerah minim internet bisa belajar coding dan AI karena gurunya mampu memanfaatkan teknologi luring dengan cerdas.
Guru Indonesia sudah siap melompat. Dari sekadar berdiri di depan kelas, menuju panggung dunia. Tugas pemerintah dan kita semua adalah memastikan mereka tidak melompat dengan tangan kosong. Mari kita pastikan, setiap layar menyala di kelas-kelas kita bukan hanya menjadi tontonan, tapi menjadi jendela menuju cerita sukses anak-anak Indonesia di masa depan.
Raisa Ayu Rininta. ASN dan Mahasiswa FIA UI.
Penelitian terbaru dari OECD (2024) menunjukkan bahwa guru yang terampil dalam memanfaatkan teknologi memiliki dampak langsung terhadap peningkatan prestasi siswa hingga 30%. Studi ini melibatkan 150.000 guru dari 45 negara, termasuk Indonesia. Analisis menyeluruh menunjukkan bahwa integrasi teknologi yang efektif dalam pembelajaran tidak hanya meningkatkan akses informasi, tetapi juga memperkuat keterampilan berpikir kritis dan kolaborasi siswa.
Sebuah studi kasus di SMAN 3 Jayapura menunjukkan transformasi luar biasa. Dengan penerapan blended learning selama 6 bulan, nilai rata-rata matematika naik dari 65 menjadi 82, dan partisipasi siswa dalam diskusi kelas meningkat 75%. Guru-guru di sana mengikuti pelatihan intensif 120 jam dan mendapatkan insentif kinerja bulanan sebesar Rp 1.500.000.
Infografis terbaru dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa 78% sekolah di daerah 3T kini telah terhubung dengan platform digital nasional. Namun, hanya 42% guru yang merasa percaya diri dalam mengoperasikan teknologi. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang besar untuk pengembangan profesional berkelanjutan.
Transformasi pendidikan bukanlah pilihan, tapi keharusan. Guru-guru kita adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang siap berubah demi masa depan bangsa. Dukung mereka dengan pelatihan berkualitas, insentif yang adil, dan lingkungan kerja yang mendukung. Bersama, kita wujudkan Indonesia Emas 2045 dengan pendidikan yang inklusif, inovatif, dan berdaya saing global. Masa depan Indonesia ada di tangan para guru yang terus belajar dan berinovasi.
Baca juga Berita lainnya di News Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.