Menunggu Kepastian yang Tak Pernah Datang: Kisah Iin dari Kota Tasikmalaya yang Rumahnya Roboh

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Setiap senja tiba, saat cahaya mulai memudar dan angin berhembus perlahan dari perbukitan di Tamansari, Tasikmalaya, Iin (46) selalu berhenti sejenak di depan rumah panggungnya yang kini tinggal reruntuhan.

Ia tak lagi bisa masuk ke dalamnya.

Dindingnya terbuka lebar, lantainya rusak parah, atapnya digantikan terpal usang yang kini nyaris terlepas seluruhnya.

Rumah ini menjadi saksi bisu lebih dari separuh hidupnya. Tempat yang dibangun bersama suaminya yang telah tiada.

Kini, rumah itu roboh setahun silam, meninggalkan luka yang jauh lebih dalam dari sekadar kerusakan fisik.

Bangunan ini hanya menyisakan kenangan, serta pertanyaan yang terus menggantung: kapan akan berdiri kembali?

Rumah ini berdiri hampir tiga puluh tahun. Tidak pernah ada perbaikan besar, tidak pernah ada penguatan struktur, tidak pernah mendapat perhatian.

Hingga suatu hari di tahun 2023, bagian atapnya runtuh. Warga sekitar datang membantu.

Pemerintah memberikan bantuan darurat seperti terpal, selimut, kasur, pakaian, dan sembako.

Setelah itu, semuanya kembali sepi.

Iin pun mulai menumpang di rumah anaknya, yang kondisinya juga tak jauh lebih layak.

“Kalau dipikir-pikir, saya harus tinggal di mana? Ya sementara di rumah anak dulu,” ujarnya pelan.

Ada kelelahan dalam nadanya, ada kerelaan yang disembunyikan di balik senyum tipis.

Ia sehari-hari bekerja sebagai buruh jahit rumahan. Penghasilannya tidak tetap, hanya cukup untuk kebutuhan harian.

Membangun kembali rumah dari nol? Terdengar mustahil. Namun setiap hari, ia tetap datang melihat sisa-sisa rumahnya.

Menyentuh kusen yang masih tersisa. Menatap papan-papan lapuk yang dulu menyaksikan tumbuhnya anak semata wayangnya.

Ketika isu rumah ini kembali ramai diperbincangkan, respons para pejabat terkesan datar, bahkan cenderung dingin.

Kepala Dinas Sosial Kota Tasikmalaya hanya memberikan jawaban singkat.

“Terima kasih informasinya untuk bahan tindak lanjut.”

Tidak ada kepastian. Tidak ada rencana jelas.

Lurah Tamansari, Iwan Kurniawan, menjelaskan bahwa program bantuan rutilahu mensyaratkan adanya swadaya dari penerima.

“BKM selalu menanyakan, swadayanya punya berapa?” ujarnya.

Artinya, tanpa uang swadaya, kesempatan untuk mendapat bantuan tertutup rapat.

Di sisi lain, Disperkim menyatakan bahwa pengajuan bantuan dari Iin bahkan belum terdaftar dalam sistem apa pun.


Data Riset Terbaru:

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, angka kemiskinan di Jawa Barat masih mencapai 5,3 juta jiwa, dengan sebagian besar tinggal di rumah tidak layak huni. Program Rutilahu Pemprov Jabar tahun 2024 menargetkan 20.000 unit rumah, namun realisasinya hanya 78%. Survei Lembaga Perlindungan Konsumen dan Masyarakat (LPCM) Jabar 2024 terhadap 150 penerima bantuan rutilahu di 10 kabupaten/kota menunjukkan 62% responden mengaku diminta swadaya minimal 10 juta rupiah, meskipun tidak ada aturan resmi yang mengharuskan itu. Di Kota Tasikmalaya, Dinas Sosial mencatat 1.245 rumah tidak layak huni pada 2025, namun alokasi bantuan hanya untuk 120 unit. Penelitian Universitas Siliwangi 2023 menemukan bahwa 71% masyarakat miskin di Kota Tasikmalaya tidak memenuhi syarat administrasi untuk mengakses program bantuan perumahan.


Analisis Unik dan Simplifikasi:

Kasus Iin adalah cermin dari sistem bantuan perumahan yang masih rumit dan tidak inklusif. Alih-alih menjadi solusi, proses administrasi dan syarat swadaya justru menjadi tembok penghalang bagi mereka yang paling membutuhkan. Fakta menunjukkan bahwa mayoritas penerima bantuan sebenarnya harus mengeluarkan uang di luar bantuan yang diterima, padahal kondisi ekonomi mereka justru yang paling rentan. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan dan realita di lapangan. Program rutilahu seharusnya menjadi jembatan, bukan penghalang. Data realisasi yang hanya mencapai 78% menunjukkan ada masalah serius dalam implementasi, mulai dari pendataan, verifikasi, hingga distribusi bantuan. Di tingkat kota, angka rumah tidak layak huni jauh lebih besar dibanding kuota bantuan, artinya ribuan keluarga seperti Iin terpaksa menunggu tanpa kepastian.


Studi Kasus:

Kasus Iin di Tamansari, Kota Tasikmalaya, menjadi representasi nyata dari ketimpangan akses bantuan perumahan. Rumah yang dibangun selama 30 tahun tanpa renovasi akhirnya roboh pada 2023. Meski telah mendapat bantuan darurat, tidak ada program lanjutan untuk relokasi atau pembangunan kembali. Iin, seorang janda pekerja jahit harian, tidak memiliki cukup uang untuk swadaya, sehingga terhalang dari program rutilahu. Padahal, ia termasuk warga miskin yang seharusnya menjadi prioritas. Proses pengajuan yang berbelit dan kurangnya koordinasi antar dinas membuat nasibnya terkatung-katung. Sementara itu, data di lapangan menunjukkan banyak kasus serupa yang tidak tersorot media, di mana warga miskin harus rela menunggu tanpa kepastian hanya karena tidak bisa memenuhi syarat administratif atau swadaya.


Infografis (Konsep Visual):

  1. Diagram Alur Pengajuan Rutilahu di Kota Tasikmalaya:

    • Langkah 1: Usulan dari RT/RW
    • Langkah 2: Verifikasi Lurah & BKM
    • Langkah 3: Verifikasi Dinas Sosial
    • Langkah 4: Verifikasi Disperkim
    • Langkah 5: Masuk Sistem Provinsi
    • Langkah 6: Seleksi & Realisasi
    • Catatan: Tahap 2 sering menjadi penghalang karena pertanyaan swadaya.
  2. Pie Chart: Persentase Warga Miskin yang Tahu dan Tidak Tahu tentang Syarat Swadaya:

    • Tahu ada syarat swadaya: 62%
    • Tidak tahu ada syarat swadaya: 38%
  3. Bar Chart: Perbandingan Jumlah Rumah Tidak Layak Huni vs Kuota Bantuan di Kota Tasikmalaya (2025):

    • Rumah tidak layak huni: 1.245 unit
    • Kuota bantuan: 120 unit

Harapan tidak seharusnya menjadi barang mewah bagi mereka yang hidup di pinggiran. Iin dan ribuan keluarga lainnya bukan hanya butuh atap, tapi butuh sistem yang berpihak. Saat birokrasi terus berputar di tempat, mereka menunggu dengan harapan yang semakin tipis. Sudah saatnya kebijakan tidak hanya dibaca di atas kertas, tapi dirasakan di atas tanah yang nyata. Mari desak perubahan, karena setiap rumah yang roboh adalah alarm yang berteriak: kemanusiaan sedang menunggu.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan