Jakarta – Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej atau yang akrab disapa Eddy Hiariej, menjelaskan bahwa dalam KUHP yang baru, pelaku kejahatan dengan hukuman di bawah lima tahun penjara akan diberikan kesempatan reintegrasi sosial. Langkah ini dimaksudkan sebagai upaya pembinaan ringan, di mana pelaku dikembalikan ke lingkungan masyarakat dengan tetap dalam pengawasan.
Eddy menekankan bahwa hakim sebisa mungkin harus menghindari vonis penjara, terutama untuk tindak pidana ringan. Hal ini bagian dari perubahan paradigma hukum yang lebih mengutamakan pemulihan daripada hukuman fisik. “Reintegrasi sosial itu artinya pelaku dikoreksi, kemudian dikembalikan ke masyarakat agar bisa diterima, tidak mengulangi perbuatan, dan memberi manfaat bagi lingkungan sekitar. Ini adalah kesempatan kedua bagi pelaku tindak pidana,” ujarnya dalam diskusi publik di Peradi Tower, Jakarta Timur, Jumat (28/11/2025).
Meski begitu, Eddy mengakui bahwa penerimaan masyarakat terhadap mantan narapidana masih menjadi tantangan besar. Stigma negatif yang melekat pada pelaku kejahatan cenderung abadi, meskipun mereka sudah menjalani hukuman. “Masyarakat cenderung terus menganggap mereka buruk, seolah-olah hukuman yang sudah dijalani tidak pernah cukup,” katanya.
Ia menilai bahwa keberadaan stigma justru kontraproduktif. Alih-alih mencegah ulah kriminal, stigma justru mendorong pelaku kembali ke dunia kejahatan karena tidak diterima secara sosial. “Ketika seseorang keluar dari penjara, seharusnya dia bertobat. Tapi justru dia mendapat ‘ilmu’ baru untuk berbuat kriminal lagi, karena masyarakat menolaknya. Yang salah bukan hanya si pelaku, tapi juga kita semua yang menciptakan stigma,” ucapnya.
Eddy mencontohkan bagaimana seorang mantan pencuri atau penipu sulit diterima kembali dalam lingkungan. “Coba bayangkan, ada narapidana yang sudah bebas, lalu kembali ke kampung halaman. Masyarakat, terutama ibu-ibu, langsung memperingatkan, ‘Jangan bergaul sama dia, dia mantan pencuri, mantan penipu.’ Stigma seperti ini seakan melekat seumur hidup,” ujarnya.
Menurutnya, masyarakat seharusnya turut membantu proses pembinaan dan pemulihan para mantan narapidana. Dukungan sosial sangat penting agar mereka tidak kembali ke jeruji besi. “Kita harus berusaha membina mereka, bukan menjauhi. Karena tanpa dukungan, mereka akan terus terperangkap dalam lingkaran kejahatan,” tambahnya.
Dalam sistem peradilan yang baru, fokus tidak hanya pada hukuman, tetapi juga pada pemulihan dan pencegahan kejahatan berulang. Reintegrasi sosial menjadi kunci utama dalam mewujudkan sistem peradilan yang lebih manusiawi dan efektif.
Studi kasus dari Norwegia menunjukkan bahwa program reintegrasi yang kuat, seperti yang diterapkan di Penjara Bastøy, berhasil menekan angka residivisme hingga di bawah 20%, jauh lebih rendah dibanding negara-negara yang mengandalkan hukuman penjara murni. Pendekatan ini menekankan kemanusiaan, keterampilan hidup, dan penerimaan sosial sebagai fondasi pemulihan.
Data Riset Terbaru: Studi dari Kementerian Hukum dan HAM tahun 2024 menemukan bahwa 68% narapidana di Indonesia mengalami kesulitan mencari pekerjaan setelah bebas, dan 55% mengaku ditolak oleh lingkungan tempat tinggalnya. Angka residivisme tercatat sebesar 32% dalam kurun waktu 3 tahun pasca pembebasan. Sementara, program reintegrasi pilot project di Yogyakarta dan Bandung yang melibatkan pelatihan keterampilan dan pendampingan sosial berhasil menurunkan angka pengulangan kejahatan menjadi 14%.
Dari perspektif kriminologi, pendekatan reintegrasi sosial selaras dengan teori labeling (pemberian cap), yang menyatakan bahwa stigma negatif justru memperkuat identitas kriminal seseorang. Ketika masyarakat terus memberi cap “penjahat”, individu tersebut cenderung menginternalisasi label itu dan kembali ke perilaku kriminal. Sebaliknya, penerimaan dan dukungan sosial memperkuat identitas baru sebagai anggota masyarakat yang produktif.
Infografis sederhana menunjukkan perbandingan: sistem hukum konvensional fokus pada hukuman (penjara → bebas → stigma → kembali ke kejahatan), sedangkan sistem berbasis reintegrasi mengedepankan pembinaan (penjara → pembinaan → pendampingan → penerimaan sosial → produktif). Perbedaan mendasar terletak pada peran masyarakat: bukan sebagai penjaga stigma, tetapi sebagai mitra dalam pemulihan.
Setiap mantan narapidana berhak atas kesempatan kedua. Sistem hukum bukan hanya soal memenjarakan, tapi memperbaiki. Kita semua punya peran: bukan sekadar menghakimi, tapi membina. Karena masyarakat yang inklusif bukanlah impian, melainkan pilihan bersama untuk mewujudkan keadilan yang sesungguhnya.
Baca juga Berita lainnya di News Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.