Prabowo Angkat Bicara Soal Darurat Bencana Nasional di Aceh, Sumbar, dan Sumut

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Presiden Prabowo Subianto memberikan tanggapan mengenai status darurat bencana nasional yang dipicu oleh banjir bandang dan tanah longsor di sejumlah wilayah Sumatera. Saat berbicara di Gedung Bank Indonesia, Jakarta Pusat, pada Jumat (28/11/2025), Prabowo tidak langsung menyatakan penetapan status darurat, tetapi menegaskan bahwa pemerintah terus memantau kondisi di lokasi bencana di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.

Dia menyampaikan bahwa bantuan terus dikirimkan kepada masyarakat terdampak. “Ya kita terus monitor, kita kirim bantuan terus. Nanti kita menilai kondisinya,” ujar Prabowo. Saat ditanya kembali mengenai kemungkinan penetapan darurat bencana nasional, ia kembali menekankan komitmen pemerintah untuk terus mengawasi perkembangan di lapangan. “Oh iya iya, sudah kita kirim terus menerus,” tambahnya, seraya mengatakan bahwa evaluasi akan dilakukan secara terus-menerus.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data terkini mengenai korban bencana di tiga provinsi tersebut. Berdasarkan laporan Kepala BNPB Letjen Suharyanto, jumlah korban meninggal mencapai 174 orang dengan 79 orang masih dinyatakan hilang. Di Aceh, korban tewas tercatat sebanyak 116 orang dan 42 orang masih dalam pencarian. Sementara di Sumatera Barat, terdapat 23 korban meninggal dan 12 orang hilang. Di Sumatera Utara, jumlah korban meninggal tercatat 35 orang dengan 25 orang masih belum ditemukan.

Data ini disampaikan dalam konferensi pers yang ditayangkan langsung melalui kanal YouTube BNPB Indonesia. Pemerintah melalui BNPB terus melakukan upaya pencarian, evakuasi, dan distribusi bantuan logistik kepada masyarakat yang terdampak.

Studi kasus dari bencana ini menunjukkan pentingnya sistem peringatan dini dan kesiapsiagaan daerah rawan bencana. Infografis dari Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada (2025) mencatat bahwa Sumatera termasuk wilayah dengan risiko tinggi longsor dan banjir bandang akibat curah hujan ekstrem dan kerusakan hutan di daerah aliran sungai. Riset terbaru dari BMKG (2025) juga menunjukkan peningkatan frekuensi cuaca ekstrem di Sumatera sebesar 37% dalam dekade terakhir, didorong oleh perubahan iklim dan deforestasi.

Pakar kebencanaan dari Institut Teknologi Bandung menekankan perlunya revitalisasi hutan tangkapan air dan penerapan zonasi tata ruang yang ketat di daerah rawan. Mereka juga merekomendasikan pelibatan komunitas lokal dalam sistem peringatan dini berbasis teknologi sederhana namun efektif.

Situasi di Sumatera menjadi cerminan tantangan penanggulangan bencana di era perubahan iklim. Dengan frekuensi bencana yang semakin tinggi, kesiapsiagaan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Mari jadikan setiap bencana sebagai pelajaran untuk membangun ketahanan komunitas, memperkuat sistem peringatan dini, dan menjaga ekosistem secara berkelanjutan. Nyawa dan masa depan generasi berikutnya bergantung pada tindakan nyata yang kita mulai hari ini.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan