11 Tewas dan 13 Hilang dalam Bencana Banjir-Longsor di Bener Meriah Aceh

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Banjir bandang dan tanah longsor menerjang wilayah Bener Meriah di Provinsi Aceh, mengakibatkan 11 orang dinyatakan meninggal dunia. Hingga saat ini, tim SAR masih terus mencari 13 orang yang belum ditemukan dan dilaporkan hilang. Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Bener Meriah, Ilham Abdi, menyampaikan data sementara tersebut kepada detikSumut pada Kamis (27/11/2025), menegaskan bahwa korban tersebar di enam kecamatan berbeda di daerah itu.

Sejumlah wilayah masih mengalami isolasi akibat rusaknya infrastruktur. Empat kecamatan yang hingga kini belum bisa dihubungi secara intensif adalah Syiah Utama, Mesidah, Pintu Rime Gayo, dan Gajah Putih. Kondisi ini diperparah dengan terputusnya akses jalan utama dan komunikasi seluler. Menurut Ilham, hujan deras yang sebelumnya mengguyur wilayah tersebut kini telah berhenti, namun dampaknya masih terasa. Listrik di sebagian besar area masih padam, begitu pula dengan jaringan internet yang belum pulih.

Upaya evakuasi dan pencarian korban terus digencarkan oleh tim gabungan yang terdiri dari TNI, Polri, BPBD, dan relawan. Medan yang sulit serta cuaca yang tidak menentu sempat menghambat proses evakuasi. Beberapa desa dilaporkan terendam banjir hingga ketinggian lebih dari dua meter, sementara longsor menimbun permukiman warga di wilayah pegunungan.

Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan ekstrem terjadi selama tiga hari berturut-turut di kawasan pegunungan Gayo, yang menjadi wilayah hulu aliran sungai di Bener Meriah. Kondisi tanah yang labil akibat eksploitasi hutan dan pertanian lereng curam diduga memperparah terjadinya longsor. Studi dari Pusat Studi Bencana Universitas Syiah Kuala (2024) mencatat bahwa Aceh masuk dalam zona rawan longsor tinggi, terutama saat musim hujan, dengan 68% kejadian longsor terkait dengan perubahan penggunaan lahan.

Sebuah infografis dari BNPB menunjukkan bahwa sejak Januari 2025, Aceh telah mengalami 23 kejadian banjir dan 17 longsor, dengan Bener Meriah mencatat angka tertinggi kedua setelah Gayo Lues. Dalam konteks ini, pentingnya sistem peringatan dini berbasis komunitas semakin krusial. Desa-desa di kawasan rawan bencana mulai menerapkan skema tanggap darurat mandiri, termasuk jalur evakuasi cepat dan posko darurat sementara.

Pemulihan pasca-bencana membutuhkan pendekatan komprehensif, tidak hanya dari segi infrastruktur tetapi juga pemulihan psikologis bagi korban. Bantuan kemanusiaan dari berbagai lembaga terus mengalir, mencakup logistik, tenda, obat-obatan, hingga trauma healing untuk anak-anak yang terdampak.

Keterbatasan akses dan komunikasi menjadi pelajaran penting: kesiapsiagaan bencana harus diperkuat di tingkat desa. Setiap komunitas perlu memiliki rencana evakuasi, stok darurat, dan koordinasi yang solid dengan instansi terkait. Bencana alam tidak bisa dicegah, tetapi nyawa bisa diselamatkan dengan kesiapan yang matang. Mari jadikan setiap musibah sebagai momentum untuk membangun ketahanan bersama—karena di balik duka, semangat gotong royong justru menyala paling terang.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan