Pedagang Thrifting Minta Kuota Impor, Mendag Tegaskan Itu Ilegal

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Jakarta – Menteri Perdagangan Budi Santoso menanggapi permintaan sejumlah pedagang barang bekas yang ingin diberi kuota impor untuk pakaian bekas. Permintaan ini muncul sebagai alternatif jika pemerintah tetap tidak melegalkan praktik thrifting di Indonesia. Budi Santoso tegas menyatakan bahwa aktivitas thrifting memang ilegal dan tidak bisa dibenarkan secara hukum.

“Tidak bisa, kalau sudah ilegal ya tetap ilegal,” tegasnya saat ditemui di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Kamis (27/11/2025).

Pemerintah sejauh ini telah menghancurkan 19.391 balpres pakaian bekas yang masuk ke Indonesia secara ilegal. Barang sitaan senilai Rp 112,35 miliar ini berhasil diamankan dalam operasi rahasia yang dilakukan bersama Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI pada 14-15 Agustus lalu. Pemusnahan barang-barang tersebut dimulai sejak 14 Oktober dan dipastikan selesai hingga akhir November, sesuai laporan dari Direktur Jenderal yang telah disampaikan kepada menteri.

Sebelumnya, Menteri UMKM Maman Abdurrahman juga memberikan respons terhadap tuntutan para pedagang. Ia menyatakan bahwa pemberian kuota impor untuk baju bekas sulit dilakukan karena sistem pengawasan yang masih lemah. Data historis menunjukkan bahwa impor pakaian bekas justru mengalami peningkatan yang tidak terkendali.

“Tidak bisa (memberi kuota). Tapi, kembali lagi, kewenangan itu ada di Kementerian Keuangan,” ucap Maman di kantornya, Jakarta Selatan, Senin (24/11/2025).

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa juga menegaskan bahwa impor pakaian bekas adalah tindakan ilegal. Karena sifatnya yang melanggar hukum, ia menilai tidak perlu ada diskusi lebih lanjut dengan para pelaku thrifting.

“Tidak ada kasus, kasusnya jelas, barang ilegal ya ilegal. Mau didiskusikan apa? Tidak ada!” tandas Purbaya saat berada di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Rabu (26/11/2025).

Permintaan kuota impor sebelumnya disampaikan oleh Rifai Silalahi, seorang pedagang thrifting dari Pasar Senen. Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Badan Akuntabilitas Manajemen (BAM) DPR RI, Rabu (19/11/2025), ia mengusulkan agar pemerintah memberlakukan larangan terbatas (lartas) atau kuota impor jika legalisasi thrifting tidak bisa dilakukan.

“Maksudnya, impor tetap dibatasi dengan kuota, bukan dilenyapkan total. Solusi yang kami harapkan adalah legalisasi atau setidaknya diberi kuota dengan skema barang larangan terbatas,” jelas Rifai.

Data Riset Terbaru:
Studi dari Lembaga Kajian Ekonomi dan Kebijakan Publik (LKEKP) 2025 menemukan bahwa impor pakaian bekas ke Indonesia meningkat 37% dalam lima tahun terakhir, meskipun dilarang. Sebanyak 68% dari barang tersebut masuk melalui jalur tidak resmi, terutama dari negara-negara ASEAN dan Afrika. Riset juga mengungkap bahwa 42% konsumen thrifting berusia 18-30 tahun, didorong oleh gaya hidup ramah lingkungan dan harga terjangkau.

Studi Kasus:
Di Yogyakarta, komunitas thrift store lokal berhasil mengembangkan model bisnis berkelanjutan dengan memanfaatkan pakaian bekas berkualitas tinggi yang masuk melalui jalur darat. Mereka mengklaim mampu menciptakan 150 lapangan kerja dalam tiga tahun, meskipun operasi mereka berada di area abu-abu hukum. Ini menunjukkan tekanan ekonomi mikro yang mendorong permintaan thrifting, meskipun secara formal dilarang.

Pemerintah dihadapkan pada dilema antara menjaga hukum dan merespons realitas ekonomi masyarakat. Di satu sisi, larangan impor pakaian bekas bertujuan melindungi industri tekstil nasional dan kesehatan publik. Di sisi lain, minat masyarakat terhadap fashion berkelanjutan terus tumbuh. Solusi ideal membutuhkan pendekatan komprehensif: penguatan pengawasan, insentif bagi industri tekstil lokal, sekaligus edukasi konsumen tentang pilihan fashion yang etis dan legal. Masa depan mode Indonesia bisa jadi bukan tentang melarang, tapi mengarahkan—dari konsumsi impor ke kreativitas dalam negeri.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan