Lestari Moerdijat Dorong Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menegaskan perlunya kesiapsiagaan kolektif masyarakat ditopang mitigasi bencana yang berlandaskan data perubahan iklim untuk menentukan kebijakan nasional. Ia menyatakan langkah tersebut sebagai bentuk penunaian amanat konstitusi dalam melindungi seluruh warga negara.

Menurut Lestari, anomali iklim yang berpotensi memicu kekeringan panjang maupun hujan deras memberi dampak besar terhadap pola cuaca di Indonesia, sehingga perlu direspons dengan kebijakan yang tepat dan terukur. Ia menyampaikan hal tersebut dalam siaran pers, Rabu (26/11/2025).

Ia menjelaskan bahwa frekuensi hujan ekstrem dan gelombang panas yang semakin meningkat di sejumlah wilayah telah mengubah pola cuaca nasional. Ketidakpastian pola hujan ini berimbas langsung pada kalender pertanian dan memicu gagal panen, terutama di wilayah seperti Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat.

Lestari berharap instansi seperti BMKG dapat memberikan data dan prediksi akurat yang menjadi dasar bagi pemerintah daerah dalam merancang strategi mitigasi bencana yang lebih presisi. Selain kebijakan struktural, masyarakat juga didorong untuk lebih peka terhadap informasi cuaca sebagai bagian dari kesiapsiagaan menghadapi dampak perubahan iklim.

Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi tentang mitigasi perubahan iklim yang dipandu oleh Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI, Arimbi Heroepoetri. Diskusi menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Plh. Deputi Bidang Klimatologi – Direktur Informasi Perubahan Iklim BMKG, Fachri Radjab; Direktur Sistem Penanggulangan Bencana BNPB, Agus Wibowo; Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan; serta Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, sebagai penanggap.

Fachri Radjab memaparkan bahwa BMKG terus memantau indikator perubahan iklim. Mengacu pada data World Economic Forum 2025, suhu permukaan bumi diprediksi terus naik dalam dekade mendatang, membuat ancaman gelombang panas semakin nyata.

Data BMKG juga mencatat kenaikan emisi CO₂ di Indonesia dari 373 ppm pada 2004 menjadi 418 ppm pada 2024. Kondisi ini berpotensi memperparah kekurangan air yang dapat mengganggu sektor pertanian dan kesehatan. Fachri menekankan pentingnya data iklim yang akurat sebagai dasar pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan.

Agus Wibowo dari BNPB menyatakan hampir seluruh wilayah Indonesia berada dalam kategori ancaman bencana sedang hingga tinggi. Tren bencana yang terus meningkat dari tahun ke tahun didominasi oleh bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, dan longsor. Ia menekankan perlunya masyarakat yang tangguh dan responsif terhadap bencana agar kerugian materi dan korban jiwa bisa ditekan. Program kesiapsiagaan dari berbagai pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat harus terus diperkuat.

Muhammad Farhan, Wali Kota Bandung, membagikan pengalaman daerahnya dalam membangun kesadaran publik terhadap risiko bencana, khususnya ancaman dari Sesar Lembang. Ia menjelaskan bahwa kondisi geografis Kota Bandung dengan ketinggian bervariasi antara 700-750 mdpl menuntut pemahaman risiko bencana yang lebih dalam dari masyarakat setempat.

Nadia Hadad dari Yayasan Madani Berkelanjutan menilai penanganan dampak perubahan iklim tidak boleh dilakukan secara sporadis. Ia menekankan pentingnya mitigasi yang terencana, sistematis, dan menyeluruh agar respons dari berbagai sektor menjadi lebih efektif. Ia juga mengkritisi pola pembangunan nasional yang masih didominasi oleh ekonomi ekstraktif dan pertanian monokultur berskala besar, yang turut memperparah dampak perubahan iklim.

Data Riset Terbaru: Studi Global Climate Risk Index 2025 menempatkan Indonesia di peringkat 10 besar negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Riset Pusat Studi Perubahan Iklim IPB (2024) menunjukkan peningkatan 35% frekuensi cuaca ekstrem dalam 20 tahun terakhir. Infografis dari BMKG mengungkapkan 8 dari 10 provinsi dengan risiko kekeringan tertinggi berada di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara.

Analisis Unik dan Simplifikasi: Perubahan iklim bukan sekadar isu lingkungan, melainkan ancaman multidimensi yang menyentuh pangan, kesehatan, ekonomi, dan ketahanan nasional. Ketika pola hujan berubah, petani kehilangan acuan tanam; ketika gelombang panas melanda, produktivitas menurun; ketika bencana datang, biaya pemulihan membengkak. Solusi harus holistik: integrasi data ilmiah ke dalam kebijakan, penguatan kapasitas lokal, dan transformasi pola pembangunan yang regeneratif, bukan eksploitatif.

Studi Kasus: Program Kampung Iklim di Bandung menunjukkan penurunan 40% risiko longsor di wilayah permukiman padat setelah penerapan sistem peringatan dini berbasis komunitas dan revitalisasi daerah resapan air. Sementara di NTB, penerapan kalender tanam adaptif berdasarkan prediksi BMKG berhasil meningkatkan hasil panen jagung sebesar 25% meskipun menghadapi musim kemarau yang tidak menentu.

Dunia tidak menunggu kita siap. Perubahan iklim sudah di depan mata, dan setiap detik keterlambatan adalah potensi kerugian yang tak terpulihkan. Mulailah dari data, perkuat kesiapsiagaan, libatkan komunitas, dan ubah pola pikir dari reaktif menjadi preventif. Lindungi bumi bukan hanya untuk generasi depan, tapi untuk kelangsungan hidup kita di hari ini.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan