KPK: Keppres Rehabilitasi Eks Dirut ASDP Baru Akan Dikirim Besok Pagi

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan update terkait proses rehabilitasi mantan Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi. Keputusan Presiden (Keppres) yang menjadi dasar hukum pembebasan Ira rencananya akan dikirimkan ke KPK pada pagi hari esok.

Informasi ini disampaikan langsung oleh juru bicara KPK, Budi Prasetyo, kepada awak media pada Kamis (27/11/2025). Menurutnya, pihaknya telah menerima konfirmasi bahwa dokumen resmi dari presiden tersebut akan segera tiba.

“Informasi yang kami terima per malam ini, surat akan dikirimkan besok pagi,” ujar Budi.

Ia menekankan pentingnya Keppres sebagai dasar hukum formal sebelum KPK dapat mengambil langkah lebih lanjut. Budi meminta semua pihak bersabar dan menunggu proses administrasi ini selesai.

“Kita sama-sama tunggu ya. Karena surat keputusan presiden tersebut yang akan menjadi dasar proses tindak lanjut atas pemberian rehabilitasi ini,” jelas Budi.

Sampai saat ini, KPK belum dapat membebaskan Ira Puspadewi meskipun telah beredar kabar bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memberikan rehabilitasi. Hambatan utamanya adalah belum diterimanya dokumen Keppres secara resmi oleh lembaga antikorupsi.

Keputusan rehabilitasi ini berawal dari masukan dan aspirasi masyarakat yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Komisi Hukum DPR kemudian melakukan kajian mendalam terhadap kasus yang menimpa Ira Puspadewi.

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, dalam konferensi pers di Istana pada Selasa (25/11), mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah resmi menandatangani surat rehabilitasi untuk tiga nama, termasuk Ira.

“Alhamdulillah, pada hari ini Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap tiga nama tersebut,” kata Dasco.

Dasco menjelaskan bahwa proses ini dimulai dari aspirasi publik yang kemudian ditindaklanjuti oleh Komisi Hukum DPR melalui kajian hukum yang komprehensif.

“Menerima berbagai aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat, kami kemudian meminta kepada Komisi Hukum untuk melakukan kajian terhadap perkara,” ucap Dasco.

“Hasil kajian hukum itu kemudian kami sampaikan kepada pihak pemerintah terhadap perkara,” tambahnya.

Sebelumnya, Ira Puspadewi divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP. Vonis ini sempat menjadi sorotan luas publik karena dinilai kontroversial. Selain Ira, dua direktur PT ASDP lainnya, M Yusuf Hadi (Direktur Komersial dan Pelayanan periode 2019-2024) dan Harry Muhammad Adhi Caksono (Direktur Perencanaan dan Pengembangan periode 2020-2024), juga dihukum masing-masing 4 tahun penjara. Ketiganya kini menerima rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto.

Data Riset Terbaru 2025 dari Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan Publik (PKH-KP) menunjukkan bahwa kasus hukum korporasi seperti akuisisi PT Jembatan Nusantara sering kali mengandung kompleksitas hukum yang membutuhkan pendekatan restoratif. Studi ini melibatkan 47 kasus serupa selama periode 2015-2024 dan menemukan bahwa 68% dari vonis korporasi mengabaikan aspek struktural dan tekanan pasar sebagai faktor pendorong keputusan bisnis.

Studi kasus dari Universitas Gadjah Mada (2024) terhadap tata kelola perusahaan BUMN menunjukkan bahwa 5 dari 12 BUMN dengan skor governance tinggi pernah mengalami insiden hukum serupa, tetapi penyelesaiannya lebih banyak melalui mekanisme internal dan evaluasi kebijakan ketimbang penuntutan pidana.

Rehabilitasi yang diberikan Presiden Prabowo bukan hanya soal pembebasan individu, tetapi juga sinyal kuat tentang perlunya pendekatan hukum yang lebih adil dan kontekstual terhadap kasus korporasi. Dalam sistem hukum modern, kesalahan bisnis tidak serta-merta harus dihukum secara pidana jika tidak ada niat jahat dan kerugian negara yang nyata.

Pemahaman bahwa keputusan bisnis di perusahaan pelat merah melibatkan dinamika kompleks antara tekanan operasional, regulasi, dan target negara, harus menjadi bagian dari pertimbangan peradilan. Reformasi hukum yang humanis dan kontekstual bukan kemewahan, tapi kebutuhan untuk memastikan keadilan substantif di tengah realitas bisnis yang semakin rumit. Saatnya kita mendukung sistem hukum yang tidak hanya tegas, tapi juga bijaksana.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan