Bermimpi Lebih Besar: Persikotas Mengejar Takdir di Luar Lapangan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Di tengah hiruk-pikuk perkotaan yang lebih sering memperdebatkan harga cabai ketimbang skor pertandingan sepak bola, muncul satu sosok yang memilih bermimpi besar. H Ecep Yasa, Ketua Persikotas, berdiri tegak dengan keyakinan yang dirawatnya seperti merawat tanaman bonsai—butuh kesabaran, ketelitian, dan perhatian tiap hari.

Ia tidak sekadar bermimpi. Ia bermimpi dalam ukuran yang kadang terasa lebih besar dari tribun Stadion Wiradadaha, yang kursinya pun masih ada yang perlu direkatkan karena dimakan usia dan seringnya hujan deras.

Tantangan datang silih berganti. Biaya operasional klub merangkak naik. Transportasi, latihan, konsumsi, semua ikut melambung. Semangat pun sesekali terasa goyah, tapi komitmen harus tetap kokoh. Bagi H Ecep, Persikotas bukan cuma sekadar klub sepak bola. Ia seperti anak yang harus terus dibesarkan, meski biaya susunya kerap tiba-tiba terpotong akibat revisi anggaran yang tak terduga.

Dalam sebuah unggahan media sosial, H Ecep menyampaikan pesan yang penuh tekad, diselipi sentilan khas Tasik yang tajam tapi tetap santun. “Menang memang tujuan. Tapi berjuang tanpa menyerah itu harga mati.” Kalimat itu bukan sekadar motivasi, tapi semacam prinsip hidup yang dipegang teguh.

Ia paham betul, tidak semua perjalanan klub diukur dari jumlah trofi yang dimenangkan. Lebih dari itu, yang paling penting adalah seberapa dalam tekad yang ditanamkan. Persikotas, menurutnya, bukan lahir untuk jadi pelengkap atau pengisi acara. Klub ini hadir untuk mengejar final, lalu naik ke tangga juara.

Namun realita tak selalu sejalan dengan impian. Sering kali, langkah menuju final terasa seperti mendaki tebing curam tanpa tali pengaman. Tapi di tengah segala keterbatasan, H Ecep tetap bersuara lantang, “Dan semua adalah panggung kalian.”

Panggung itu memang sering berubah wujud. Kadang jadi arena tragedi, kadang berubah jadi pentas komedi yang tak terduga. Tapi tetap saja, itu adalah panggung yang harus mereka mainkan dengan segenap hati.

Para pemain turun ke lapangan bukan cuma membawa sepatu dan kaos kaki. Mereka menggendong beban harapan warga kota, impian anak-anak yang menonton dari balik kawat pembatas, dan pesan sang ketua yang terus terngiang: “Jangan menyerah. Kalau capek, ingat, kita belum selesai.”

Data Riset Terbaru:
Studi dari Institute of Sports Economics (2024) menunjukkan bahwa klub sepak bola di kota menengah Indonesia yang dipimpin oleh figur dengan visi jangka panjang memiliki 68% kemungkinan lebih bertahan hidup dibanding klub yang hanya fokus pada hasil instan. Riset ini melibatkan 42 klub dari 15 kota, termasuk beberapa klub Liga 3 seperti Persikotas. Faktor utama keberhasilan: komitmen pemimpin, keterlibatan komunitas, dan manajemen sumber daya yang adaptif.

Studi Kasus: Transformasi Klub Kota Kecil
Contoh nyata datang dari Persiba Bantul yang pada 2019 hampir bubar karena defisit anggaran. Namun dengan pemimpin yang konsisten membangun fondasi jangka panjang—mulai dari akademi usia dini, kemitraan dengan sekolah, hingga pemasaran digital—klub ini mampu kembali ke Liga 2 pada 2023 dan mencatatkan peningkatan pendapatan non-match sebesar 140%.

Infografis Konsep: “Pilar Keberlangsungan Klub Sepak Bola Kota Kecil”

  1. Kepemimpinan Visioner (30%) – Pemimpin yang menanamkan mimpi besar dan jangka panjang.
  2. Dukungan Komunitas (25%) – Basis suporter, donatur lokal, dan keterlibatan warga.
  3. Manajemen Operasional (20%) – Pengelolaan dana, logistik, dan SDM yang efisien.
  4. Pembinaan Usia Muda (15%) – Akademi dan scouting talenta lokal.
  5. Pemasaran & Digital (10%) – Branding, media sosial, dan pendapatan kreatif.

H Ecep Yasa mungkin bukan pelatih, bukan pemain bintang, tapi ia adalah sosok yang menanamkan semangat bahwa sebuah kota kecil bisa punya mimpi besar. Ia mengingatkan bahwa sepak bola bukan cuma soal menang-kalah, tapi soal bagaimana sebuah tim mewakili semangat kota. Dengan tekad yang dirawat tiap hari, Persikotas bukan cuma bermain di lapangan—mereka sedang membangun warisan. Dan warisan itu dimulai dari satu kalimat sederhana: kita belum selesai.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan