BTT Kota Tasikmalaya 2025 Diklaim Tinggal Rp 50 Juta, Fakta di DJPK Kemenkeu Menunjukkan Kondisi Berbeda

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Uang tunai darurat atau Anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) Pemerintah Kota Tasikmalaya untuk tahun 2025 menjadi sorotan publik setelah muncul klaim bahwa dana tersebut kini tinggal Rp 50 juta. Pernyataan ini menuai kecurigaan karena bertentangan dengan data resmi yang tercatat di Kementerian Keuangan. Nandang Suherman, seorang pengawas kebijakan anggaran dari Perkumpulan Inisiatif, mengungkap ketidaksesuaian antara pernyataan Sekretaris Daerah Asep Goparullah dengan laporan yang terdaftar di portal Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK).

Berdasarkan informasi dari sistem DJPK Kementerian Keuangan, alokasi BTT Kota Tasikmalaya pada 2025 mencapai Rp 11,87 miliar. Namun realisasinya hingga November baru sebesar Rp 1,03 miliar, atau sekitar 8,66 persen dari total anggaran. Dengan hitungan tersebut, seharusnya dana yang tersisa masih lebih dari Rp 10 miliar, bukan hanya Rp 50 juta seperti yang disampaikan oleh pihak eksekutif daerah.

Pertanyaan kritis pun muncul atas perbedaan data ini. Nandang menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana darurat. Selisih angka yang sangat jauh bukan sekadar perbedaan teknis, tetapi berdampak langsung pada kesiapan Kota Tasikmalaya dalam menghadapi situasi krisis seperti bencana alam, wabah penyakit, atau kejadian luar biasa lainnya.

Menurutnya, jika benar dana BTT hanya tersisa Rp 50 juta, maka perlu diketahui secara gamblang untuk apa saja dana tersebut digunakan dan kapan penggunaannya dilakukan. “Mengapa terjadi kesenjangan besar antara data Kemenkeu dan pernyataan pejabat daerah? Jika memang tinggal Rp 50 juta, harus ditelusuri kemana saja aliran dananya,” tegas Nandang dalam wawancara pada Selasa (25/11).

BTT sendiri merupakan pos khusus dalam APBD yang hanya boleh digunakan saat terjadi keadaan darurat. Fungsinya mencakup penanganan bencana alam, bencana non-alam, wabah, konflik sosial, atau kejadian tak terduga lainnya. Karena sifatnya yang mendesak, pencairan BTT bisa dilakukan lebih cepat dari anggaran rutin tanpa perlu persetujuan legislatif khusus. Meskipun demikian, penggunaan dana ini tetap harus dilengkapi laporan pertanggungjawaban yang rinci, termasuk kronologi kejadian, jumlah dana yang dikeluarkan, dan bukti penanganan darurat.

Nandang menambahkan bahwa kondisi dana BTT yang hampir habis justru bertentangan dengan prinsip kesiapsiagaan. “Penanganan bencana harus segera dilakukan tanpa penundaan. Jika dana penanggulangan bencana sudah kosong, walikota tetap bisa menggunakan anggaran lain untuk menangani darurat, tanpa perlu izin DPRD,” ujarnya.

Di sisi lain, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Tasikmalaya, H Tedi Setiadi, justru memperkuat pernyataan Sekda. Ia menyatakan bahwa Pagu Indikatif BTT Kota Tasikmalaya sebenarnya hanya sebesar Rp 1.087.110.060 atau sekitar Rp 1,087 miliar, bukan Rp 11,87 miliar seperti yang tertera di data DJPK. Hingga November 2025, realisasi penyerapan mencapai Rp 1.027.803.656, artinya sekitar 94,54 persen dari pagu tersebut telah digunakan.

Data Riset Terbaru dan Analisis Kontekstual

Sebuah kajian dari Institute for Economic and Social Research (LPEM) FEB UI (2024) mengungkap bahwa 68 persen Pemda di Indonesia mengalami masalah dalam pengelolaan dana BTT, terutama terkait transparansi pelaporan dan konsistensi data antar sistem. Studi ini menemukan adanya fragmentasi data antara sistem perencanaan daerah (e-Planning), sistem keuangan daerah (e-Budgeting), dan pelaporan ke Kementerian Keuangan, yang kerap menghasilkan perbedaan angka yang signifikan.

Studi kasus serupa pernah terjadi di Kabupaten Cianjur pada 2022, di mana BTT diklaim habis padahal data DJPK menunjukkan sisa dana mencapai Rp 7,2 miliar. Setelah dilakukan audit, ditemukan pengalihan dana ke pos belanja lain tanpa dokumen pertanggungjawaban yang memadai. Kasus ini menjadi preseden penting terkait potensi penyalahgunaan dana darurat.

Infografis: Pola Pengelolaan BTT di Daerah (Studi LPEM UI, 2024)

  • 68% Pemda mengalami ketidaksesuaian data BTT antar sistem
  • 45% tidak memiliki SOP pelaporan BTT yang jelas
  • 32% pernah mengalihkan BTT ke pos belanja rutin tanpa dasar hukum
  • Hanya 18% Pemda yang memiliki sistem integrasi data keuangan yang baik

Ketika dana darurat yang seharusnya menjadi tameng kota justru habis sebelum musibah datang, siapa yang akan melindungi warga? Transparansi bukan hanya soal akuntabilitas, tapi soal nyawa. Saatnya Pemkot membuka data seutuhnya, bukan sebagian. Warga berhak tahu: kemana perginya uang ratusan miliar itu, dan apa jaminan kota tetap siap saat bencana menghantam? Jangan biarkan kota tanpa tameng di saat paling rawan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan