Kesempatan Kerja Datang bagi Wahyu, Penyandang Disabilitas di Tasikmalaya

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Di sebuah kedai kopi di Tasikmalaya, Wahyu Fajar Mukti (31) berdiri dengan penuh konsentrasi, membagi tubuhnya agar tetap seimbang di balik meja racikan. Telapak tangannya yang tidak memiliki jari-jari terlihat cekatan saat mengangkat nampan berisi minuman. Pada hari itu, ia sedang menjalani uji coba kerja—sebuah kesempatan langka yang jarang datang dalam hidupnya.

Bagi Wahyu, momen tersebut bukan sekadar ujian keterampilan mengantar pesanan, melainkan sebuah pencapaian besar. Sejak lahir tanpa jari tangan dan kaki, ia harus menemukan cara-cara adaptasi sendiri: bagaimana berjalan, menggenggam, dan menjaga keseimbangan tubuh. Semua itu ia pelajari melalui proses panjang yang penuh ketekunan.

Di tengah suasana kedai yang ramai, Wahyu memperlihatkan keterampilan yang ia latih bertahun-tahun. Dengan telapak tangan yang datar, ia memisahkan biji kopi satu per satu, lalu memindahkannya ke wadah lain tanpa ada yang terjatuh. Gerakannya terlihat hati-hati namun pasti, menunjukkan penguasaan tubuh yang luar biasa.

Kehidupan Wahyu selama ini dipenuhi tantangan dalam mencari pekerjaan. Peluang formal nyaris tidak pernah datang. Ia terpaksa mengandalkan pekerjaan non-formal, seperti membantu pemasaran burung secara daring, hanya untuk bertahan hidup.

Saat berbicara tentang pengalaman hidupnya, Wahyu menyampaikan dengan nada tenang, namun jujur. “Buat orang seperti saya, pilihan kerja itu sedikit sekali. Yang non-disabilitas saja sulit, apalagi saya. Kadang orang sudah ragu sebelum melihat saya mencoba,” ujarnya.

Kalimat itu mencerminkan realitas yang sering dialami penyandang disabilitas: stigma sosial yang melekat dan akses terbatas terhadap kesempatan kerja. Meskipun UU No 8 Tahun 2016 mengamanatkan instansi pemerintah dan swasta untuk menyediakan lapangan kerja bagi penyandang disabilitas, kenyataannya masih jauh dari ideal. Kesempatan seperti yang dirasakan Wahyu masih tergolong pengecualian.

Selama ini, bantuan yang diterima lebih banyak bersifat sosial—berupa alat bantu seperti kaki palsu, tangan palsu, atau sembako. Wahyu tidak menolak bantuan tersebut, tetapi menekankan bahwa yang lebih ia butuhkan adalah akses nyata terhadap pekerjaan dan ruang untuk berkembang.

Di tengah keterbatasan, Wahyu tidak pernah berhenti mengasah kemampuan. Ia bahkan berhasil menguasai kendaraan ATV, yang memberinya kemandirian dalam mobilitas. Prosesnya tidak instan. Hampir satu tahun ia belajar, jatuh bangun, hingga akhirnya bisa mengendarainya tanpa bantuan siapa pun.

Studi kasus Wahyu menjadi gambaran nyata bagaimana disabilitas bukanlah halangan untuk berkarya, asalkan ada kesempatan dan dukungan yang memadai. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan 2023 mencatat bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja penyandang disabilitas di Indonesia baru mencapai 38,7%, jauh di bawah rata-rata global yang mencapai 50%. Ini menunjukkan betapa masih minimnya inklusi dunia kerja bagi kelompok ini.

Infografis dari BPS 2024 juga mencatat bahwa dari 2,3 juta penyandang disabilitas usia kerja di Indonesia, hanya 840 ribu yang tercatat sebagai pekerja. Sisanya menganggur atau tidak tercatat dalam statistik ketenagakerjaan. Faktor utama penyebabnya bukan hanya keterbatasan fisik, tetapi lebih karena diskriminasi, kurangnya akses pelatihan, dan lingkungan kerja yang belum ramah disabilitas.

Kisah Wahyu mengingatkan kita bahwa setiap manusia punya potensi, terlepas dari kondisi fisiknya. Yang dibutuhkan bukan belas kasihan, melainkan kesempatan yang adil dan lingkungan yang mendukung. Saat masyarakat mulai membuka pintu dengan hati yang sama, bukan mustahil banyak Wahyu lainnya akan muncul, menorehkan prestasi di berbagai bidang. Mari bergerak dari pity menuju partnership, dari bantuan menuju pemberdayaan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan