Keresahan Masyarakat Kota Tasikmalaya atas Kebijakan Parkir Gratis Tanpa Karcis Menuai Polemik di Media Sosial Dishub

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Kebijakan terbaru mengenai tarif dan karcis parkir yang diterapkan oleh Dinas Perhubungan Kota Tasikmalaya menuai gelombang protes dari masyarakat, terutama di media sosial. Sosialisasi kebijakan yang dipublikasikan melalui platform seperti Instagram dan TikTok justru memicu banjir komentar kritis dari warganet yang merasa kecewa dengan penerapan di lapangan.

Unggahan tersebut menjadi magnet bagi keluhan warga yang merasa terzalimi dalam praktik perparkiran sehari-hari. Banyak komentar yang muncul justru mengungkap kompleksitas masalah parkir yang selama ini belum terpecahkan secara tuntas.

Isu-isu yang paling sering disorot antara lain ketidaksesuaian tarif, sulitnya memperoleh karcis resmi dari juru parkir (jukir), hingga usulan ekstrem agar sistem parkir dihapuskan sama sekali. Mayoritas kritik berfokus pada minimnya akuntabilitas di lapangan, meskipun Dishub telah menginstruksikan jukir untuk memberikan karcis sebelum memungut biaya.

Salah satu warganet, akun @mbiif*, membagikan pengalaman pahit saat menggunakan jasa parkir. Ia mengaku telah membayar sesuai tarif yang berlaku, namun jukir tidak mengembalikan uang kembalian dan justru meminta biaya tambahan. “Gimana mau minta karcis min, pas parkir aja gak diparkirin, malah parkir sendiri. Pas mau pulang aja baru prat prit prat prit, udah dikasih Rp 5.000 sesuai tarif tp, diminta Rp 6.000 padahal cuma parkir 1/2 jam kemudian dikasih Rp 5.000 tp gak dikembalian, dan itu tukang parkir pake baju oren loh,” tulisnya, menggambarkan praktik pungli yang masih marak.

Resistensi masyarakat terhadap penegakan karcis juga terlihat dari komentar sinis akun @sonysendjaja dan @imanrism yang menyebut, “Sarua jeung ngajak gelut ka tukang parkir” (Sama saja dengan mengajak berkelahi ke tukang parkir) dan “Mun tukang parkirna ngamuk ngajak gelut kumaha min??” (Kalau tukang parkir mengamuk dan mengajak berkelahi bagaimana, Min??). Komentar ini mencerminkan ketegangan sosial yang bisa muncul ketika masyarakat berusaha menuntut haknya atas karcis resmi.

Kritik lain datang dari @egallzzzer yang meminta Dishub memperlihatkan contoh bentuk “tiket legal” yang asli. Pasalnya, saat ini jukir ilegal pun sudah memiliki karcis sendiri, sehingga mempersulit masyarakat dalam membedakan mana tiket yang sah dan mana yang palsu.

Selain persoalan karcis, warganet juga mengkritik penataan zona parkir yang dinilai semrawut dan berpotensi mengancam keselamatan lalu lintas. Tatanan parkir yang tidak teratur dinilai memperparah kemacetan dan mengganggu kelancaran arus kendaraan.

Data Riset Terbaru: Studi dari Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) 2024 menunjukkan bahwa 78% kota di Indonesia mengalami ketidakpatuhan dalam sistem parkir resmi, dengan 65% kasus pungli terjadi di area parkir non-formal. Riset ini menegaskan bahwa integrasi teknologi digital seperti QR code dan aplikasi pembayaran non-tunai mampu menurunkan pelanggaran hingga 40%.

Studi Kasus: Kota Bandung menerapkan sistem parkir berbasis aplikasi mobile sejak 2023. Hasilnya, jumlah pengaduan pungli turun 52% dalam dua tahun, sementara penerimaan parkir naik 30% karena transparansi pencatatan.

Tertib berlalu lintas dan tertib parkir adalah cerminan peradaban kota. Saatnya kita bersama menuntut sistem yang adil, transparan, dan manusiawi. Dari tarif yang jelas hingga karcis yang bisa dipertanggungjawabkan, setiap rupiah yang dibayar harus memberi nilai, bukan rasa waswas. Mari jadikan kota kita lebih tertib, mulai dari hal terkecil yang sering kita lewatkan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan