Tension Pneumoperitoneum: Kasus Pria Meninggal dengan 9 Kg Tinja dalam Perut

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

James Stewart (41), seorang pria dari Ohio, Amerika Serikat, meninggal dunia dengan kondisi medis yang sangat mengkhawatirkan—perutnya dipenuhi 9 kg tinja yang mengeras. Saat tubuhnya diperiksa, terlihat jelas perutnya membengkak, memar, dan terasa sangat keras akibat penumpukan feses dalam jumlah ekstrem. Ia sebelumnya memiliki riwayat sembelit parah dan mengonsumsi obat-obatan yang berdampak buruk pada sistem pencernaannya. Hasil otopsi mengungkap bahwa usus besarnya tersumbat total oleh tinja yang mengeras, yang kemudian memicu terjadinya tension pneumoperitoneum. Apa sebenarnya kondisi tersebut?

Dijelaskan oleh spesialis penyakit dalam dr Aru Ariadno, SpPD-KGEH, tension pneumoperitoneum adalah keadaan darurat medis ketika udara terperangkap di dalam rongga perut sehingga menciptakan tekanan tinggi. Salah satu pemicu utamanya adalah perforasi usus, yaitu robeknya dinding usus yang memungkinkan udara masuk ke rongga perut. Sembelit kronis, seperti yang dialami James, bisa memicu kondisi ini karena tekanan berlebihan saat mengejan berpotensi merobek dinding usus.

Kondisi ini sangat mengancam jiwa. Meski jarang terjadi, tekanan tinggi yang diakibatkan oleh udara terperangkap dapat mengganggu aliran darah ke organ-organ vital dan menghambat fungsi pernapasan. Menurut dr Aru, pasien masih bisa diselamatkan bila segera mendapatkan penanganan medis, terutama melalui operasi darurat. “Ya masih bisa, asal tidak terlambat,” tegasnya dalam wawancara dengan Thecuy.com, Senin (24/11/2025).

Berdasarkan data dari Cureus, tension pneumoperitoneum menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen yang signifikan. Gejala yang muncul antara lain pembengkakan perut secara tiba-tiba, nyeri perut hebat, dan tanda-tanda syok seperti tekanan darah rendah atau hipotensi. Kondisi ini membutuhkan diagnosis cepat dan intervensi segera untuk mencegah kematian.

dr Aru juga menekankan pentingnya mengenali tanda-tanda sembelit kronis sejak dini. Ia menjelaskan bahwa sembelit kronis ditandai dengan buang air besar kurang dari tiga kali dalam seminggu dan sudah berlangsung lebih dari tiga bulan. Feses yang dikeluarkan biasanya sangat keras, dan terasa tidak tuntas saat BAB. “Sebaiknya segera diwaspadai,” tambahnya.

Studi kasus seperti ini menjadi peringatan penting tentang bahaya mengabaikan gangguan pencernaan yang terus-menerus. Data riset terbaru dari Journal of Clinical Gastroenterology (2023) menunjukkan bahwa 16% populasi dewasa mengalami sembelit fungsional, dengan angka kejadian perforasi usus akibat sembelit mencapai 1 dari 10.000 kasus rawat inap. Infografis dari American College of Gastroenterology mencatat bahwa keterlambatan penanganan pada kasus obstruksi usus meningkatkan risiko kematian hingga 35%.

Faktor risiko seperti kurang serat, dehidrasi, penggunaan obat opioid, dan gangguan motilitas usus menjadi penyebab utama penumpukan feses. Dalam kasus ekstrem, seperti yang terjadi pada James Stewart, massa feses dapat mencapai berat puluhan kilogram dan menyebabkan komplikasi fatal. Upaya pencegahan melalui pola makan sehat, asupan cairan cukup, dan deteksi dini gejala pencernaan sangat krusial.

Jangan anggap remeh keluhan pencernaan yang terus-menerus. Tubuh memberi tanda, dan mengabaikannya bisa berujung pada tragedi yang sebenarnya bisa dicegah. Dengarkan setiap isyarat dari dalam, karena kesehatan dimulai dari kesadaran—dan tindakan tepat waktu bisa menjadi penentu antara hidup dan mati.

Baca Berita dan Info Kesehatan lainnya di Seputar Kesehatan Page

Tinggalkan Balasan