Keluarga di Kota Tasikmalaya Digugat ke Pengadilan atas Laporan Kasus Kekerasan terhadap Anak Disabilitas

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Di Kota Tasikmalaya, tepatnya di Kecamatan Bungursari, sebuah kasus hukum yang melibatkan kekerasan terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) berbalik arah ketika pihak pelapor justru digugat secara hukum. Maria Ulfah (29), ibu dari korban berinisial F (9), melaporkan tindak kekerasan yang menimpa anaknya ke pihak kepolisian, namun kini justru harus menghadapi gugatan dari pelaku yang dilaporkannya.

Kejadian bermula pada 4 Desember 2024 sekitar pukul 06.30 WIB di Kampung Bantar, Kelurahan Bantarsari. Saat itu, F sedang bermain sepeda di gang ketika diduga menjadi korban kekerasan fisik oleh tetangganya, Yuyus Rosidin (55). Korban mengalami memar di paha kiri akibat tendangan yang dilakukan pelaku. F yang merupakan anak berkebutuhan khusus, tidak mampu membela diri saat kejadian berlangsung.

Usai kejadian, Maria Ulfah menemui pelaku di rumah ketua RT setempat. Namun, dalam pertemuan tersebut tidak ada upaya permintaan maaf atau perdamaian yang tulus dari pihak pelaku. “Pertemuan itu tidak membahas permintaan maaf kepada saya maupun anak saya. Saya merasa ini sangat tidak adil, apalagi anak saya sampai mengalami lebam di kaki,” ujarnya saat ditemui di rumahnya pada Rabu (19/11).

Karena merasa tidak mendapat keadilan dalam proses mediasi, Maria langsung melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Bungursari dan dirujuk ke Unit PPA Polres Tasikmalaya Kota. Namun, selama berbulan-bulan menunggu proses hukum berjalan, tidak ada perkembangan signifikan yang disampaikan pihak kepolisian. Justru di tengah penantian itu, Maria menerima pesan WhatsApp dari seorang pengacara yang memintanya hadir di pengadilan.

Ternyata, Yuyus Rosidin selaku pelaku justru mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap keluarga Maria. Dalam berkas gugatan disebutkan bahwa tindakan menendang F dilakukan karena korban mengolok-olok pelaku dengan sebutan “orang gila”. Selain itu, penggugat menyatakan bahwa kedua belah pihak telah sepakat menyelesaikan masalah secara kekeluargaan dalam pertemuan di rumah RT, sehingga laporan polisi dianggap melanggar kesepakatan tersebut.

Atas dasar gugatan itu, Yuyus menuntut dua hal: pertama, keluarga Maria harus membayar ganti rugi sebesar Rp 150 ribu untuk kerugian materil dan Rp 150 ribu untuk kerugian imateril. Kedua, pihak tergugat wajib mencabut laporan polisi yang telah dilayangkan terhadap Yuyus Rosidin.

Kasus ini memperlihatkan kompleksitas penanganan kekerasan terhadap anak berkebutuhan khusus, di mana korban dan keluarga justru berada dalam posisi terancam secara hukum meskipun awalnya menjadi pelapor. Banyak pihak menilai bahwa situasi seperti ini dapat memberi dampak psikologis yang mendalam bagi korban dan keluarga, terlebih ketika proses hukum justru terasa memihak pada pelaku.

Studi kasus serupa di Jawa Barat menunjukkan bahwa 68% kasus kekerasan terhadap ABK mengalami hambatan dalam proses hukum, baik karena kurangnya pemahaman hukum dari keluarga, maupun tekanan sosial dan balik gugatan seperti yang terjadi di Tasikmalaya. Data dari Komnas Perlindungan Anak 2024 mencatat setidaknya 1.200 kasus kekerasan terhadap ABK dilaporkan setiap tahun di Indonesia, namun hanya 23% yang berakhir pada vonis hukuman.

Infografis sederhana menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus memiliki risiko 3 kali lebih besar mengalami kekerasan dibanding anak pada umumnya, namun akses terhadap keadilan masih sangat terbatas. Dukungan psikologis, pendampingan hukum, dan kesadaran masyarakat menjadi kunci penting dalam melindungi hak-hak mereka.

Ketika sistem hukum terasa memihak pada pelaku, semangat untuk terus berjuang bagi keadilan tidak boleh padam. Setiap suara yang dibangkitkan, setiap langkah yang diambil, adalah benteng pertahanan bagi anak-anak yang rentan. Lindungi yang lemah, perjuangkan yang benar, karena keadilan sejati lahir dari keteguhan hati yang tak kenal menyerah.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan