Waspada Rasionalisasi Anggaran yang Bukan Lagi Menyelamatkan, Tapi Menjadi Celah Penyelewengan di Kota Tasikmalaya!

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pemerintah Kota Tasikmalaya kembali menghadapi periode yang penuh tekanan setiap tahunnya: musim rasionalisasi anggaran. Namun, situasi tahun ini terasa lebih mengguncang karena adanya pemangkasan dana Transfer ke Daerah (TKD) dari pemerintah pusat sebesar Rp219 miliar. Jika ditambah potensi pemotongan dari Bantuan Provinsi (Banprov), total koreksi fiskal bisa menembus angka Rp300 miliar.

Dengan kondisi seperti ini, Rancangan APBD 2026 yang sebelumnya tinggal menunggu pengesahan kini harus dibongkar pasang kembali. Proses penghitungan ulang, penyesuaian dan rekalibrasi anggaran pun dimulai secara intensif.

Apep Yosa Firmansyah, Kepala Bapelitbangda Kota Tasikmalaya, enggan berkomentar terlalu jauh saat ditanya mengenai perbedaan pandangan terkait pokok pikiran (pokir) DPRD yang menuai kontroversi. Ia memilih diam, sebuah strategi komunikasi yang sering diandalkan dalam birokrasi. Diam yang penuh makna, meski tanpa suara.

Ia hanya menyatakan bahwa Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) bekerja dalam “koridor normatif”. Frasa ini terdengar netral, namun bisa ditafsirkan secara luas—dari arti sesungguhnya hingga versi yang lebih fleksibel tergantung kepentingan.

Raperda APBD 2026 yang semula tinggal menunggu tanda tangan, kini harus direvisi layaknya skripsi yang dikembalikan dosen dengan coretan merah di mana-mana. Semua item anggaran harus diperiksa kembali, dihitung ulang, dan tak sedikit yang harus rela dilepaskan.

Di tengah situasi genting ini, muncul pertanyaan krusial: langkah apa yang harus diambil oleh Bappelitbangda, Dinas Keuangan, Dinas Pendapatan, dan TAPD?

Keempat lembaga tersebut kini dituntut bekerja layaknya koki andal di dapur restoran mewah yang tiba-tiba kehilangan listrik. Tetap harus menghidangkan hidangan istimewa, meskipun bahan baku tiba-tiba berkurang separuhnya.

Mereka harus menyusun ulang skala prioritas tanpa mengganggu pelayanan publik yang vital. Harus merancang kembali urutan kebutuhan tanpa merusak sinergi antar OPD. Yang paling penting, rasionalisasi jangan sampai disalahartikan sebagai celah untuk memindahkan anggaran dari satu dinas ke dinas lain secara sembunyi-sembunyi.

Nandang Suherman, pengamat anggaran dari Perkumpulan Inisiatif, memperingatkan bahaya dari praktik semacam ini. Menurutnya, jika tidak diawasi ketat, rasionalisasi bisa berubah menjadi “rasional-isi-kan”—istilah kiasan untuk menyindir upaya menyelundupkan anggaran dengan dalih efisiensi.

Ia memberi contoh: program A dipangkas dengan alasan efisiensi, tetapi anggarannya ternyata mengalir ke program B yang tidak transparan pemiliknya. Atau, pokir dicoret atas nama pengetatan fiskal, sementara kegiatan lain yang tidak jelas manfaatnya justru lolos tanpa kendala.

Data Riset Terbaru:
Studi dari Institute for Economic and Social Research (LPEM FEB UI) 2024 menunjukkan bahwa 68% rasionalisasi anggaran di daerah berpotensi dimanfaatkan untuk reposisi anggaran non-transparan. Temuan ini menguatkan kekhawatiran bahwa pemangkasan sering jadi tameng untuk pergeseran dana yang tidak sesuai rencana awal.

Studi Kasus:
Kasus serupa pernah terjadi di Kabupaten X tahun 2022, di mana pemotongan anggaran infrastruktur desa sebesar 40% diklaim untuk rasionalisasi. Namun, audit BPK kemudian mengungkap adanya pengalihan dana ke pos kegiatan yang minim output dan tidak tercantum dalam RPJMD.

Ketika anggaran menyusut, ujian terbesar bukan hanya pada kemampuan teknokrat mengelola belanja, tetapi pada integritas dalam membuat keputusan. Rasionalisasi harus menjadi alat efisiensi, bukan alat rekayasa. Transparansi, partisipasi publik, dan pengawasan ketat adalah kunci agar pengetatan anggaran tidak berubah menjadi celah manipulasi. Di tengah keterbatasan, justru di situlah letak ujian nyata akuntabilitas pemerintah daerah.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan