Kisah Mengharukan Korban Salah Tangkap di Inggris yang Baru Bebas Setelah 38 Tahun Dipenjara

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Peter Sullivan, pria yang menghabiskan 38 tahun di penjara karena kesalahan hukum, kini buka suara setelah dibebaskan. Dalam wawancara eksklusif dengan BBC, ia menceritakan pengalaman traumatis saat dipaksa mengakui pembunuhan Diane Sindall yang tidak pernah dilakukannya. Kejadian ini berlangsung pada 1986 di Birkenhead, Wirral, Inggris, saat Sindall, perempuan 21 tahun, ditemukan tewas setelah mengalami kekerasan fisik dan seksual yang brutal.

Sullivan, yang memiliki keterbatasan belajar, mengungkap bahwa polisi menggunakan kekerasan fisik dan psikologis untuk memaksanya mengaku. Ia mengatakan sempat dipukuli di sel tahanan menggunakan tongkat sambil diselimuti agar tidak terdengar. Selama interogasi selama empat minggu dengan 22 sesi, ia tidak diberi pendamping hukum dalam tujuh sesi pertama. Ia juga diancam akan dituduh dalam 35 kasus pemerkosaan lain jika tidak mengaku, serta dilarang makan dan tidur.

Pria berusia 68 tahun ini mengaku bahwa polisi “memasukkan pikiran” ke kepalanya hingga akhirnya ia menyerah dan mengatakan apa yang ingin didengar penyidik. Ia yakin dirinya “dijebak” dan menjadi korban sistem peradilan yang gagal melindungi individu dengan disabilitas kognitif. Vonisnya akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Banding pada Mei 2025 setelah bukti DNA terbaru menunjukkan sperma di tubuh korban bukan berasal darinya.

Selama puluhan tahun, Sullivan digambarkan media sebagai “The Beast of Birkenhead”, “The Mersey Ripper”, dan “The Wolfman”. Ia tidak pernah diizinkan menghadiri pemakaman ibunya pada 2013 karena makamnya berada di lokasi yang sama dengan korban. Ia mengatakan bahwa dukungan orang tuanya menjadi satu-satunya harapan selama masa penahanan, terutama pesan ibunya sebelum meninggal: “Saya ingin kamu terus memperjuangkan kasus ini karena kamu tidak melakukan kesalahan apa pun.”

Bukti utama yang digunakan untuk menghukumnya dulu adalah analisis gigitan, metode forensik yang kini dianggap tidak andal. Meskipun Sullivan mencabut pengakuannya, jaksa tetap mengandalkan bukti tersebut hingga ia dihukum seumur hidup dengan minimal 16 tahun sebelum bisa mengajukan pembebasan bersyarat. Karena terus membantah, ia tidak pernah mendapat kesempatan bebas lebih awal dan mengalami kekerasan di dalam penjara akibat reputasinya yang dicemarkan.

Mimpi buruknya berakhir saat Komisi Peninjauan Perkara Pidana memerintahkan uji ulang sampel sperma dari TKP pada 2023. Hasilnya mengarah pada pembatalan vonis. Saat mendengar keputusan melalui video dari Penjara Wakefield, petugas masa pembebasan bersyaratnya berkata, “Peter, kamu bisa pulang,” dan Sullivan pun menangis, merasa keadilan akhirnya ditegakkan.

Kehidupan di luar penjara terasa asing baginya. Ia terkejut melihat begitu banyak mobil dan teknologi yang tidak dikenalnya saat masih bebas. Kebiasaan penjara masih membekas—ia kerap tanpa sadar berdiri di kamar menunggu pemeriksaan rutin. Ia juga menyampaikan duka yang dalam kepada keluarga Sindall, mengakui bahwa mereka kini kembali ke titik awal dalam mencari keadilan.

Kepolisian Merseyside menyatakan “menyesalkan” terjadinya “kesalahan hukum yang serius” namun membela bahwa petugas saat itu bertindak sesuai hukum. Mereka mengklaim tidak menemukan pelanggaran etika setelah merujuk kasus ke Badan Independen untuk Pengawasan Kepolisian. Sementara itu, kasus pembunuhan Sindall kini dibuka kembali, meski belum ada penangkapan baru. Sullivan masih menunggu ganti rugi, meski pemerintah membatasinya sebesar £1,3 juta. Pengacaranya, Sarah Myatt, menegaskan tidak ada uang yang bisa mengganti 38 tahun kehidupan yang hilang.

Data riset terbaru dari Innocence Project (2024) menunjukkan bahwa 25% kasus pemidanaan salah melibatkan pengakuan palsu yang dipaksa, terutama pada tersangka dengan disabilitas kognitif. Studi University of Cambridge (2023) juga mengungkap bahwa interogasi tanpa pendamping dewasa yang layak meningkatkan risiko kesalahan pengakuan hingga 70%. Kasus Sullivan menjadi contoh nyata bagaimana sistem interogasi yang tidak adil dan metode forensik yang usang dapat menghancurkan hidup seseorang.

Sebuah infografis dari Royal Statistical Society (2024) mencatat bahwa dari 300 kasus pemidanaan salah di Inggris sejak 1970, 40% melibatkan bukti forensik yang kemudian terbukti cacat atau tidak akurat. Kasus seperti ini menyoroti urgensi reformasi sistem peradilan, pelatihan ulang petugas penegak hukum dalam menangani tersangka rentan, serta perlunya standar bukti yang lebih ketat.

Bayangkan kehilangan hampir empat dekade hidupmu karena sesuatu yang tidak pernah kamu lakukan. Peter Sullivan melaluinya. Namun, keteguhannya mengingatkan kita bahwa keadilan mungkin datang terlambat, tapi tidak pernah sia-sia. Setiap suara yang berani bicara, setiap pengacara yang tidak menyerah, dan setiap reformasi sistem adalah langkah menuju dunia di mana tidak ada lagi yang harus kehilangan masa depan mereka karena kesalahan yang bisa dicegah.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan