29 Ribu Anak di Kabupaten Tasikmalaya Tidak Bersekolah, Pemda Sebut Ancaman Sosial Semakin Nyata

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

TASIKMALAYA, Thecuy.com – Kasus anak putus sekolah di Kabupaten Tasikmalaya menjadi sorotan publik. Data terkini mengungkapkan angka Anak Tidak Sekolah (ATS) yang cukup mengkhawatirkan, dengan potensi dampak luas terhadap struktur sosial di masa depan.

Menurut data Dashboard ATS Pusdatin per Oktober 2025, jumlah anak yang tidak menempuh pendidikan formal di Kabupaten Tasikmalaya mencapai lebih dari 29 ribu jiwa. Rincian menunjukkan 9.458 anak belum pernah mengenyam pendidikan (BPB), 8.821 anak dinyatakan putus sekolah, dan 11.670 anak memilih tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan setelah lulus SD.

Temuan ini menjadi peringatan serius bagi otoritas daerah, mengingat banyak anak kehilangan hak dasar atas pendidikan. Dampak jangka panjangnya bisa merembet ke kualitas sumber daya manusia yang akan mengisi roda pembangunan di masa depan.

Edi Ruswandi Hidayatuloh, selaku Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya, menekankan bahwa persoalan ATS bukan hanya ranah pendidikan semata, melainkan cerminan kondisi sosial yang melingkupi masyarakat.

Ia menjelaskan bahwa kurangnya pendidikan karakter dan minimnya bimbingan moral membuat anak-anak yang putus sekolah rentan terpapar pengaruh negatif. Hal ini, kata dia, berpotensi memicu lonjakan kriminalitas, eksploitasi anak dalam bentuk child labor, hingga maraknya pernikahan dini.

Edi menambahkan, sebagian besar kasus putus sekolah bukan berasal dari pilihan sadar si anak, melainkan akibat kurangnya perhatian dan pendampingan dari orang tua. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab pendidikan tidak boleh hanya dibebankan pada sekolah dan pemerintah. Orang tua harus tampil sebagai aktor utama dalam memastikan anak tetap aktif dalam proses belajar mengajar.

Dalam penjelasannya, Edi merinci berbagai faktor pendorong anak menghentikan pendidikan. Di antaranya adalah tekanan ekonomi rumah tangga yang memaksa anak ikut bekerja mencari nafkah. Minat belajar yang rendah akibat kurangnya dukungan dari keluarga maupun lingkungan sekitar juga turut andil.

Selain itu, fenomena pernikahan usia dini, pengaruh pergaulan yang tidak sehat, serta perpindahan anak ke pesantren nonformal yang belum terdaftar dalam sistem EMIS/Dapodik turut menyumbang angka ATS.

Berdasarkan UU No 3 Tahun 2024, pemerintah desa kini diberi kewenangan lebih luas dalam menangani urusan sosial, termasuk di bidang pendidikan. Edi menyampaikan bahwa Pemerintah Desa (Pemdes) wajib melakukan identifikasi dini terhadap anak-anak yang berisiko putus sekolah. Setelah teridentifikasi, perlu dilakukan intervensi dan pendampingan sejak dini, termasuk penyaluran bantuan pendidikan secara tepat sasaran.

Pemdes juga dituntut memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya pendidikan dasar, sekaligus membangun sinergi lintas sektor agar penanganan ATS bisa lebih komprehensif dan berkelanjutan.

Data Riset Terbaru:
Studi dari UNICEF Indonesia (2024) mencatat bahwa daerah dengan angka kemiskinan tinggi cenderung memiliki prevalensi ATS yang lebih besar. Di Jawa Barat, Kabupaten Tasikmalaya masuk dalam 10 besar kabupaten dengan risiko putus sekolah tertinggi, dengan kontribusi utama dari faktor ekonomi (45%), budaya pernikahan dini (30%), dan minimnya akses informasi (25%).

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Masalah ATS sebenarnya adalah masalah sistemik yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan program bantuan sosial semata. Diperlukan pendekatan holistik yang menyentuh aspek ekonomi keluarga, penguatan peran orang tua, serta transformasi mindset masyarakat terhadap nilai pendidikan. Program pendampingan berbasis komunitas terbukti efektif di sejumlah daerah, seperti di Gunung Kidul dan Banten Selatan, di mana keterlibatan tokoh agama dan tokoh adat mampu menekan angka putus sekolah hingga 40% dalam dua tahun.

Studi Kasus:
Di Desa Sukamaju, Kecamatan Salopa, inisiatif “Rumah Belajar” yang digagas oleh pemuda desa bersama tokoh pesantren berhasil menurunkan angka ATS dari 27 anak pada 2023 menjadi hanya 8 anak pada 2025. Program ini menggabungkan pendampingan belajar, penyuluhan kepada orang tua, serta pelatihan keterampilan bagi remaja putus sekolah agar mereka tetap produktif sambil dipersiapkan kembali ke bangku sekolah.

Pendidikan adalah fondasi utama pembentukan masa depan. Setiap anak yang putus sekolah bukan hanya kehilangan kesempatan pribadi, tetapi juga menggerus potensi bangsa. Dengan kolaborasi antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat, setiap anak di Tasikmalaya berhak mendapatkan akses pendidikan yang layak. Gerakan dari desa, didukung kebijakan yang responsif, bisa menjadi kunci mengubah angka menjadi harapan. Mari jadikan pendidikan sebagai investasi bersama, bukan beban yang ditanggung sendiri.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan