Setelah Perang Dunia II, dunia menjadi saksi patahnya kekuasaan yang polar antara Blok Barat, dipimpin Amerika Serikat, dan Blok Timur di bawah Uni Soviet. Dalam kondisi ini, negara-negara baru merdeka di Asia dan Afrika mencari ruang untuk menentukan nasib sendiri tanpa terperangkap dalam konflik ideologis tersebut. Konferensi Asia Afrika (KAA) yang digelar di Bandung, Indonesia, pada 18-24 April 1955, menjadi titik berbalik sejarah yang penting. KAA bukan hanya pertemuan diplomatik, tetapi juga deklarasi politik kolektif tentang kemandirian, solidaritas, dan anti-kolonialisme.
Menghubungkan KAA 1955 sebagai dasar ideologis Gerakan Non-Blok (GNB) dan kekuatan yang mengubah peta geopolitik global adalah narasi yang tidak hanya akurat secara sejarah, tetapi juga penting untuk memahami dinami kekuasaan dalam tatanan dunia pasca kolonial. Argumen bahwa KAA dan GNB menciptakan “Kekuatan Ketiga” adalah tesis yang kuat, didukung oleh bukti historis tentang pergesekan kekuasaan dari bipolaritas ketat menuju multipolaritas yang lebih fleksibel. KAA dan GNB berhasil membentuk “Kekuatan Ketiga” dalam politik internasional, yang mengakselerasi dekolonisasi dan memiliki dampak mendalam pada geopolitik Asia dan Afrika, bahkan mereformasi struktur tatanan global yang sebelumnya didominasi oleh negara-negara Barat.
Penting untuk melihat KAA bukan sebagai acara diplomatik biasa, tetapi sebagai momen psikologis dan ideologis. Sebelum Bandung, negara-negara baru merdeka sering dianggap sebagai objek atau wilayah perburuan dalam Perang Dingin. KAA membalikkan narasi ini. Pertemuan 29 negara dari Asia dan Afrika, termasuk raksasa seperti India, Tiongkok, Turki, dan Indonesia, serta negara-negara lebih kecil, menjadi proklamasi kolektif: “Kami ada, dan kami berhak untuk bersuara.” Ini menegaskan bahwa KAA 1955 adalah lebih dari sekadar konferensi, tetapi kelahiran semangat baru.
Deklarasi Dasasila Bandung adalah manifestasi semangat tersebut. Prinsip-prinsip seperti menghormati kedaulatan dan integritas teritorial, mengakui kesetaraan semua ras dan bangsa, serta menolak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain, menjadi senjata ideologis melawan kolonialisme dan imperialisme. Ini menjadi fundament ideologis GNB. Gerakan Non-Blok, yang resmi dilahirkan enam tahun kemudian di Beograd (1961), pada intinya adalah institusionalisasi semangat Dasasila Bandung. Para pendiri GNB—Soekarno (Indonesia), Jawaharlal Nehru (India), Gamal Abdul Nasser (Mesir), Kwame Nkrumah (Ghana), dan Josip Broz Tito (Yugoslavia)—adalah tokoh kunci dalam KAA. Mereka menyalakan api Bandung menjadi organisasi global dengan ratusan anggota negara di seluruh dunia hingga saat ini.
Dampak KAA pada geopolitik tidak bisa disangkal. Pertama, dalam aspek akselerasi dekolonisasi, KAA menjadi pengeras suara global untuk perjuangan kemerdekaan. Dukungan moral, politik, dan kadang materiil dari negara-negara peserta KAA kepada negara-negara yang masih di bawah penjajahan menciptakan tekanan internasional yang kuat bagi kekuatan kolonial Eropa. Narasi “Kekuatan Ketiga” menjadi nyata ketika blok-blok yang bertentangan harus menghadapi blok koesif yang menentang penjajahan.
Kedua, dalam pelebaran arena Perang Dingin, sebelum KAA, Perang Dingin sering dikaitkan dengan pertempuran di Eropa. KAA dan GNB memaksa AS dan Uni Soviet untuk memperluas pengaruh mereka ke Dunia Ketiga. Hal ini mengubah diplomasi global dari pertarungan dua kutub menjadi permainan tiga poros, di mana negara non-blok bisa melakukan “balancing act.” Mereka bisa memanfaatkan bantuan dari kedua blok tanpa harus berkomitmen secara ideologis, strategi diplomatik cerdik yang memperluas ruang gerak mereka.
Ketiga, dalam reformasi tata kelola global, Kekuatan Ketiga ini tidak hanya bermain dalam peraturan yang ada, tetapi juga berusaha mengubah aturannya. Tekanan dari negara non-blok memainkan peran penting dalam reformasi PBB dan pembentukan lembaga-lembaga internasional baru. Mereka menjadi pendorong di balik resolusi anti-kolonial dan isu hak menentukan nasib sendiri. Kemandirian kebijakan luar negeri mereka, seperti Mesir dalam Krisis Suez, membuktikan bahwa kedaulatan bisa dipertahankan di tengah tekanan adidaya.
Namun, narasi ini juga perlu dikaji kritis. “Kekuatan Ketiga” tidak selalu monolitik. Perpecahan internal, seperti konflik India-Tiongkok pada 1962, atau perbedaan kepentingan nasional yang tajam, sering melemahkan koesi GNB. Setelah Perang Dingin berakhir, relevansi GNB sempat dipertanyakan. Namun, justru di situ relevansi narasi KAA 1955 kembali bersinar. Dalam dunia yang kembali terpolarisasi, kali ini antara AS dan Tiongkok, prinsip-prinsip Dasasila Bandung, terutama penghormatan pada kedaulatan dan tidak campur tangan, kembali menjadi sangat aktual. Bagi banyak negara di Global South, semangat Bandung bukan lagi tentang anti-kolonialisme klasik, tetapi tentang menolak hegemoni baru dan memastikan hak mereka untuk menentukan jalur pembangunan sendiri tanpa paksaan. Keinginan untuk tidak “memilih blok” dalam persaingan AS-Tiongkok adalah gema langsung dari filosofi non-blok.
Oleh karena itu, menghubungkan KAA 1955 sebagai dasar ideologis GNB dan kekuatan yang mengubah geopolitik global adalah penilaian sejarah yang valid dan kuat. KAA bukan hanya dasar, tetapi juga ruh pembentuk identitas bagi dunia pasca-kolonial. Meskipun GNB sebagai institusi memiliki banyak tantangan, semangat “Kekuatan Ketiga” yang lahir di Bandung telah meninggalkan warisan abadi bahwa negara-negara kecil dan menengah juga memiliki kekuatan, suara mereka penting, dan bahwa dalam sistem internasional yang hierarkis, solidaritas dan prinsip dapat menjadi alat ampuh untuk menantang status quo dan membentuk tatanan dunia yang lebih adil. Narasi ini bukan hanya catatan masa lalu, tetapi juga lensa untuk memahami geopolitik abad ke-21.
Latar belakang KAA 1955 tidak terlepas dari gelombang dekolonisasi pasca-Perang Dunia II. Negara-negara di Asia, seperti India (1947), Indonesia (1945), dan Myanmar (1948), telah memperoleh kemerdekaannya. Di Afrika, gelombang serupa mulai bermunculan. Namun, kemerdekaan politik ini seringkali dibayangi oleh ancaman neo-kolonialisme dan tarikan Perang Dingin. Beberapa faktor kunci yang memicu KAA adalah keinginan untuk tidak terlibat dalam persaingan bipolar yang dianggap dapat mengikis kedaulatan nasional baru diraih. Semangat solidaritas Asia-Afrika, persamaan nasib sebagai bangsa yang pernah dijajah, menciptakan ikatan emosional dan politik yang kuat. Konferensi sebelumnya, seperti Conference of Asian Relations di New Delhi (1947) dan pertemuan para perdana menteri Kolombo (1954), telah meletakkan dasar untuk kerja sama yang lebih luas.
Konflik regional, seperti Perang Korea, krisis Indochina, dan konflik Arab-Israel, menambah urgensi bagi negara-negara Asia-Afrika untuk mencari solusi damai di luar kerangka Blok Barat dan Timur. Inisiatif “Lima Perdana Menteri” mencetuskan KAA dalam Pertemuan Kolombo oleh lima pemimpin: Perdana Menteri Indonesia (Ali Sastroamidjojo), India (Jawaharlal Nehru), Pakistan (Mohammed Ali Bogra), Burma/Myanmar (U Nu), dan Sri Lanka (Sir John Kotelawala). Mereka melihat kebutuhan sebuah forum yang lebih besar untuk menyatukan suara Dunia Ketiga.
KAA dihadiri oleh 29 negara dari dua benua, mewakili lebih dari setengah populasi dunia saat itu. Keberagaman peserta, dari negara republik, monarki, sosialis hingga kapitalis, menunjukkan bahwa persatuan dapat dibangun di atas perbedaan. Tokoh-tokoh legendaris seperti Soekarno, Jawaharlal Nehru, Zhou Enlai (Tiongkok), Gamal Abdel Nasser (Mesir), dan Ho Chi Minh (Vietnam) hadir dan memberikan pidato yang membakar semangat. Pidato pembukaan Presiden Soekarno, “Let a New Asia and a New Africa be Born”, menekankan semangat Dasasila Bandung. Sepuluh prinsip ini menjadi inti KAA dan kemudian diadopsi oleh GNB. Kesepuluh prinsip adalah:
- Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PBB.
- Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
- Mengakui persamaan semua ras dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil.
- Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam negeri negara lain.
- Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri, secara sendirian maupun kolektif, sesuai dengan Piagam PBB.
- Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
- Tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi maupun penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.
- Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan cara damai, sesuai dengan Piagam PBB.
- Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
- Menghormati hukum dan kewajiban kewajiban internasional.
Prinsip-prinsip ini menjadi kompas moral dan politik bagi negara-negara Asia-Afrika. Jadi jelas, KAA 1955 bukan sekadar pertemuan diplomatik biasa, tetapi gerakan politik yang lahir dari penderitaan kolonial dan ketakutan akan keterjeratan dalam penjajahan baru. KAA adalah kristalisasi kesadaran kolektif bahwa bangsa-bangsa baru merdeka harus merajut jalan nasib mereka sendiri, di tengah arena perang global yang dikuasai oleh raksasa ideologis. Dalam pandangan saya, KAA adalah upaya paling awal dan terstruktur untuk mendefinisikan Dunia Ketiga bukan sebagai entitas lemah, tetapi kekuatan moral dan politik yang independen.
Meskipun KAA berhasil membangun solidaritas, ia belum membentuk struktur organisasi permanen. Enam tahun setelah Bandung, semangat yang sama dihidupkan kembali untuk merespons eskalasi Perang Dingin yang semakin menakutkan, seperti pembangunan Tembok Berlin dan Krisis Teluk Babi. Trio baru Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, dan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru melanjutkan obor yang dinyalakan di Bandung. Pada tahun 1961, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pertama Gerakan Non-Blok diselenggarakan di Beograd, Yugoslavia. KTT ini secara resmi mendirikan GNB sebagai organisasi internasional permanen.
Kontinuitas antara KAA dan GNB sangat jelas terlihat dalam ideologi inti gerakan ini. Prinsip non-blok (tidak memihak pada blok mana pun) adalah penyempurnaan semangat independensi KAA. Dalam hal doktrin dasar, Dasa Sila Bandung secara substansial diadopsi menjadi prinsip-prinsip dasar GNB. Keterikatan dua institusi ini juga terlihat dalam tujuan yang sama: melawan kolonialisme (dan kemudian imperialisme dan apartheid), mempromosikan perdamaian dunia, dan mendorong kerja sama ekonomi dan budaya di antara negara anggota. Dari sisi keanggotaan, negara anggota GNB mayoritas berasal dari peserta KAA yang kemudian menjadi anggota pendiri GNB. Dengan demikian, KAA 1955 adalah ruh dan fundament ideologis, sementara GNB 1961 adalah “institusionalisasi” dari ruh tersebut ke dalam wadah pergerakan global yang lebih terstruktur.
KAA dan GNB memberikan pengaruh mendalam pada geopolitik Asia, memerkuat kedaulatan dan identitas regional. Kehadiran Perdana Menteri Zhou Enlai di Bandung adalah kemenangan diplomatik bagi Tiongkok, yang saat itu dikucilkan oleh banyak negara Barat. KAA membuka jalan bagi Tiongkok untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Asia-Afrika lainnya, mematahkan isolasi yang diupayakan oleh AS. Prinsip-prinsip KAA, khususnya penyelesaian sengketa secara damai, mempengaruhi penyelesaian beberapa konflik di Asia, seperti dalam Konferensi Jenewa 1954 mengenai Indochina, meskipun dengan hasil yang beragam.
KAA membantu membentuk identitas politik bersama bagi negara-negara Asia baru merdeka. Mereka tidak lagi dilihat sekadar “mantan jajahan,” tetapi sebagai aktor aktif dalam politik internasional dengan agenda sendiri. Konferensi ini memberikan legitimasi dan dukungan moral serta politik bagi gerakan kemerdekaan yang masih berjuang, seperti di Algeria, Tunisia, dan Vietnam. Pengaruh KAA dan GNB terhadap geopolitik Asia bukan sekadar pengaruh tambahan, melainkan pengaruh yang mendefinisikan ulang dan memberdayakan. Keduanya berhasil memperkuat kedaulatan dengan memberikan negara-negara Asia ruang bernapas dari cengkeraman Perang Dingin, sekaligus memulihkan identitas regional dengan memungkinkan mereka bercermin pada pengalaman dan aspirasi bersama, bukan pada narasi yang dipaksakan oleh kekuatan asing.
Warisan paling abadi mereka adalah keyakinan bahwa negara-negara di “Global South” memiliki hak dan kemampuan untuk menjadi aktor utama dalam panggung dunia, merumuskan kepentingan nasional mereka, dan berkontribusi dalam membentuk tatanan internasional yang lebih adil dan setara. Dalam konteks geopolitik Asia abad ke-21 yang kembali didominasi oleh persaingan kekuatan besar, semangat Bandung tentang solidaritas, independensi, dan agensi kolektif ini justru semakin relevan.
Pengaruh KAA dan GNB terhadap Afrika lebih signifikan, dramatis, dan langsung berimplikasi pada akselerasi dekolonisasi dan pembentukan OAU (Organisasi Kesatuan Afrika). Semangat dan resolusi KAA yang menentang kolonialisme menjadi pendorong moral dan politik yang kuat bagi gerakan kemerdekaan di Afrika. “Tahun Afrika” pada 1960, di mana 17 negara merdeka, tidak dapat dipisahkan dari dorongan internasional yang diciptakan oleh KAA. Tokoh-tokoh seperti Kwame Nkrumah (Ghana) dan Gamal Abdel Nasser (Mesir) sangat terinspirasi oleh KAA. Mereka menggunakan prinsip-prinsip Bandung untuk memperkuat perjuangan mereka melawan kolonialisme dan untuk mempersatukan benua Afrika.
Gagasan tentang solidaritas dan persatuan yang digaungkan di Bandung menjadi katalis bagi pembentukan OAU pada tahun 1963. Piagam OAU banyak mencerminkan semangat dan prinsip Dasa Sila Bandung. KAA dan GNB menjadi platform terkuat dan paling konsisten dalam mendukung perjuangan melawan rezim apartheid di Afrika Selatan, memberikan suara bagi yang tertindas di panggung global. Pengaruh KAA dan GNB terhadap Afrika bersifat transformasional dan konstitutif. Mereka tidak hanya mempengaruhi permainan geopolitik, bahkan mereka menulis ulang aturannya bagi benua Afrika. KAA memberikan suntikan adrenalin yang mempercepat kematian kolonialisme, sementara GNB memberikan kerangka untuk bertindak secara kolektif pasca kemerdekaan. Warisan terbesarnya adalah pemulihan agensi politik Afrika. Dari menjadi objek yang diperebutkan dalam Perang Dingin atau dieksploitasi oleh kekuatan kolonial, Afrika, yang diilhami dan disatukan oleh semangat Bandung, bangkit untuk menentukan nasibnya sendiri. OAU (dan penerusnya, Uni Afrika) adalah monumen hidup bagi warisan ini, pengingat bahwa solidaritas yang lahir di KAA Bandung pada tahun 1955 menjadi fondasi bagi kebangkitan politik sebuah benua.
KAA dan GNB bukan sekadar fenomena geopolitik, tetapi revolusi epistemik, perombakan mendasar terhadap cara dunia memandang dirinya sendiri. Sebelumnya, tata kelola global adalah monopoli kekuatan Barat yang telah matang (the established Powers), yang aturannya ditulis oleh dan untuk Barat. KAA dan GNB, dengan penuh keyakinan, merobek peta mental dunia bipolar dan menorehkan benua baru di atasnya: “Dunia Ketiga,” yang bukan berarti dunia ketiga dalam hierarki, tetapi jalan ketiga secara politik dan moral. Dampak globalnya transformatif karena memaksa sistem internasional yang eksklusif untuk, setidaknya sebagian, menjadi lebih inklusif.
Dampak global KAA dan GNB progresif dan revolusioner, dunia terperangah dengan gejala baru yang muncul. Pertama, KAA dan GNB secara efektif meruntuhkan anggapan bahwa dunia hanya terdiri dari dua kubu. Mereka memperkenalkan dan mengukuhkan adanya “Kekuatan Ketiga” atau “Dunia Ketiga” yang memiliki kepentingan dan agenda sendiri. Ini memaksa kedua blok adidaya untuk memperhitungkan suara negara non-blok. Kedua, dengan menuntut penghormatan atas kedaulatan dan kesetaraan semua bangsa, KAA menantang hierarki tradisional dalam politik internasional yang didominasi oleh kekuatan lama. Suara negara kecil dan menengah mulai didengar.
Ketiga, semangat KAA melahirkan Group of 77 (G77) di PBB pada tahun 1964, yang memperjuangkan tatanan ekonomi internasional yang lebih adil dan setara melalui gagasan New International Economic Order (NIEO). Keempat, dengan jumlah anggota yang besar, negara non-blok menjadi blok voting yang signifikan di PBB, mempengaruhi agenda dan resolusi penting, terutama yang berkaitan dengan dekolonisasi, hak asasi manusia, dan pembangunan. Pengaruh global KAA dan GNB adalah upaya paling ambisius dalam sejarah modern untuk mendesak tata kelola dunia yang hierarkis dan mendemokratisasikan hubungan internasional.
Mereka mungkin tidak sepenuhnya berhasil menciptakan tatanan ekonomi baru yang adil, atau menghentikan Perang Dingin, tetapi berhasil merobohkan tembok monopoli atas wacana global. Warisan paling abadi mereka adalah penciptaan identitas politik kolektif untuk Global South dan pembuktian bahwa solidaritas antar bangsa dapat menjadi kekuatan penyeimbang yang kuat meski tanpa kekuatan militer atau ekonomi yang besar. Dalam dunia abad ke-21 yang kembali ditandai oleh persaingan kekuatan besar (AS vs. Tiongkok), semangat Bandung tentang strategi non-alignment, agensi kolektif, dan perjuangan untuk tatanan yang lebih adil justru menemukan relevansi baru.
KAA dan GNB adalah warisan yang masih berkumandang, mengajarkan bahwa suara yang bersatu dari mereka yang di pinggiran tidak akan pernah bisa diabaikan oleh pusat-pusat kekuasaan lama. Meskipun memiliki pengaruh yang besar, KAA dan GNB juga menghadapi kritik dan tantangan. Keberagaman anggota—dengan sistem politik dan kepentingan nasional yang berbeda—seringkali menyulitkan untuk mencapai konsensus yang kuat. Perebutan pengaruh antara negara condong ke Barat, Timur, atau benar-benar netral melemahkan koesi.
Dengan berakhirnya Perang Dingin, raison d’être utama GNB (non-blok) dipertanyakan. Gerakan ini berjuang untuk menemukan identitas baru di dunia unipolar pasca-1991. GNB sering dikritik karena tidak mampu mencegah atau menyelesaikan konflik di antara negara anggota sendiri (misalnya Perang Iran-Irak). Di era multipolar dan persaingan AS-Tiongkok yang baru, GNB berusaha menemukan relevansinya kembali, tetapi kembali dihadapkan pada tantangan untuk tetap benar-benar “non-blok” dalam konflik strategis baru.
Konferensi Asia Afrika 1955 tidak hanya peristiwa sejarah, tetapi warisan abadi dari momen deklarasi kemandirian kolektif yang mengubah jalannya sejarah. Sebagai inspirasi langsung bagi Gerakan Non-Blok, warisan KAA terkandung dalam tiga hal mendasar. Pertama, KAA dan GNB berhasil memecah monopoli narasi Perang Dingin dan membuka jalan bagi dunia yang lebih multikentris. Kedua, semangat Bandung memberikan kekuatan dan legitimasi yang tak ternilai bagi perjuangan bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk merdeka. Ketiga, prinsip kedaulatan dan kesetaraan yang dikukuhkan di Bandung tetap menjadi piagam moral dalam hubungan internasional, yang terus dijadikan rujukan oleh negara-negara berkembang hingga hari ini. Warisan KAA tetap relevan dalam menghadapi tantangan abad ke-21, seperti ketimpangan global, perubahan iklim, dan polarisasi baru. Semangat solidaritas Selatan-Selatan, kerja sama berdasarkan kesetaraan, dan komitmen pada penyelesaian damai, yang pertama kali dikumandangkan di Bandung, terus menjadi panduan berharga bagi diplomasi global.
Baca juga Berita lainnya di News Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.