Upaya Revisi Pasal 30 UUD 1945 untuk Mendorong Keamanan Non-Militer

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Dalam pernyataannya, Benny K. Harman, Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, mengungkapkan bahwa Pasal 30 UUD 1945 masih terikat pada pandangan lama yang mengutamakan ancaman fisik, sementara Indonesia kini menghadapi tantangan non-militer yang jauh lebih rumit. Dia menegaskan bahwa diperlukan perubahan dalam konsep pertahanan nasional untuk bisa menanggapi ancaman pada bidang pangan, energi, siber, dan disrupsi internal.

Menurut Benny, tantangan utama saat ini bukan hanya dari aspek militer. Masalah pangan, energi, lingkungan, dan serangan siber menjadi isu penting yang mempengaruhi ketahanan nasional. Jika negara terlalu bergantung pada impor pangan, kondisi ini bisa mengancam stabilitas bangsa.

Pernyataan tersebut disampaikan selama Forum Group Discussion (FGD) Kelompok V Badan Pengkajian MPR RI yang membahas “Pertahanan dan Keamanan Negara” di Bekasi, Jawa Barat, pada Selasa, 18 November 2025.

Benny juga menjelaskan bahwa Pasal 30 UUD 1945 telah menetapkan tiga pilar pertahanan dan keamanan negara, yaitu TNI, Polri, dan rakyat. Namun, perkembangan ancaman modern memerlukan revisi konsep pertahanan yang lebih fleksibel. Dia juga mengungkapkan khawatir terkait kerentanan Indonesia sebagai negara berdiversitas yang dapat dimanfaatkan oleh pihak asing atau kelompok dalam negeri. Ancaman disrupsi internal dianggap lebih mengkhawatirkan daripada ancaman militer terbuka.

Menurut Benny, pihak tertentu bisa melemahkan bangsa dari dalam melalui isu pangan, energi, dan penguasaan sumber daya alam. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini bisa mengancam kedaulatan negara.

Mayjen TNI (Purn.) Puguh Santoso, dalam paparannya, menekankan pentingnya mengembangkan tata kelola ketahanan, pertahanan, dan keamanan nasional sebagai sistem terpadu. Dia mengkritik regulasi saat ini yang dianggap tidak lengkap, beririsan, dan tidak operasional. Beberapa undang-undang seperti Undang-Undang Terorisme dan Undang-Undang Pertahanan belum dirumuskan dengan baik. Misalnya, Operasi Militer Selain Perang (OMSP) tidak berjalan optimal karena kurangnya pedoman operasional jelas.

Puguh juga mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki postur militer, tetapi kurang dalam bidang pangan, energi, kesehatan, dan sektor ketahanan lainnya. Ketahanan pada bidang tersebut merupakan bagian penting dari daya negara. Tanpa postur yang jelas, pemerintah akan kesulitan mengevaluasi kesiapan menghadapi ancaman non-militer atau hybrid.

Dia juga mendorong pembuatan Undang-Undang Keamanan Nasional (Kamnas) sebagai dasar pembentukan Dewan Keamanan Nasional yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden.

Sementara itu, Mayjen TNI (Purn) I Gede Sumertha meminta pembaruan besar-besaran dalam tata kelola pertahanan dan keamanan untuk menghadapi ancaman modern yang semakin kompleks. Meskipun kerangka hukum sudah memisahkan pertahanan dan keamanan, koordinasi di tingkat praktik masih diperlukan. Dengan demikian, strategi keamanan nasional (national security) menjadi penting.

Sumertha juga mengungkapkan kekurangan peraturan tentang tugas TNI selain perang, yang sering menimbulkan tumpang tindih dengan Polri, khususnya dalam operasi di Papua. Tidak ada aturan interaksi yang jelas atau latihan bersama antara keduanya.

Selain itu, Indonesia masih kekurangan doktrin pertahanan non-militer, padahal ancaman saat ini tidak hanya dari bidang militer, tetapi juga kesehatan, ekonomi, digital, hingga genomik. Sumertha menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan strategi keamanan nasional yang terintegrasi, didukung oleh regulasi, komando, dan koordinasi lintas sektor.

Laksda TNI Ivan Yulivan menambahkan bahwa strategi pertahanan Indonesia perlu disesuaikan dengan ancaman hybrid dan teknologi tinggi. Pembaharuannya harus mencakup intelijen, AI, dan kolaborasi riset ilmiah. Ancaman modern tidak lagi berupa serangan langsung, tetapi melalui informasi dan teknologi.

Ivan juga menggarisbawahi pentingnya integrasi lintas lembaga dan peran rakyat dalam pertahanan negara. Koordinasi antara DPN, TNI, Polri, kementerian, lembaga riset, dan industri pertahanan diperlukan untuk menyusun kebijakan terintegrasi. Persiapan teknologi dan industri pertahanan juga sangat penting. Ia mengingatkan bahwa penguatan drone, rudal taktis, kapal patroli, dan sistem AI harus menjadi prioritas.

Diskusi ini dihadiri oleh anggota Badan Pengkajian MPR RI, termasuk Heri Gunawan dari Fraksi Partai Gerindra, Mayjen TNI (Purn) Hasanuddin dari Fraksi PDIP, Jialyka Maharani, Al Hidayat Samsu, dan Jupri Mahmud dari Kelompok DPD.

Indonesia harus segera memperbarui konsep pertahanan nasionalnya untuk menghadapi ancaman modern yang semakin kompleks. Dengan integrasi strategi, modernisasi doktrin, dan penguatan teknologi, negara dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik menghadapi tantangan masa depan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan